Banda Aceh (Antaranews Aceh) - Ekonomi dalam Islam merupakan satu landasan pokok dalam ajaran Islam dan merupakan pintu masuk utama tegaknya syariat di tengah. Ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan aturan shalat, puasa, berumah tangga, dan aturan ibadah lainnya.

Jika umat Islam yang menganggap dirinya muslim, maka tentu ia harus patuh dan tidak boleh menolak aturan ekonomi Islam yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan di tengah umat.

Karenanya, Islam mengatur tingkah laku umat‎ agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang haram pada pekerjaan dan aktivitas sehari-hari dalam upaya mencari ‎rezeki  dan transaksi yang dilarang oleh Allah seperti riba, spekulasi, penipuan.

Demikian antara lain disampaikan Tgk H Masrul Aidi Lc, Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keu'eung, Kuta Baro, Aceh Besar saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (5/12) malam.

"Salah satu bentuk muamalah sesama dalam Islam adalah menjalankan aktivitas ekonomi yang halal sesuai perintah Allah dengan menjauhi riba. Ekonomi syariah ini adalah pintu masuk syariat Islam. Penerapan syariat Islam hanya akan jalan ketika dimulai dari‎ aktivitas ekonomi yang halal," ujar Ustaz Masrul Aidi.

Menurutnya, di Aceh yang tengah berupaya menjalankan syariat Islam secara kaffah, ekonomi Islam haruslah dijaga dan ditegakkan. Karena dampak ekonomi Islam bukan hanya satu pihak melainkan seluruh umat.

"Jangan kita sibuk memperkaya diri tapi juga harus terdistribusi kekayaan khususnya sesama muslim sekitar‎. Karena kalau kita kaya sendirian di tengah ‎orang miskin/melarat, hanya akan jadi sasaran kriminal seperti perampokan‎ dan pencurian," terangnya.

Demi tercapainya tujuan besar itu, beberapa hal sudah harus dilakukan sejak saat ini. Seperti membiasakan aktivitas transaksi kepada sesama muslim. “Mulai sekarang kita hidupkan sektor riil ekonomi Islam, caranya kita membiasakan belanja ke sesama muslim,” katanya.

Selain itu, hal lain yang bisa membangkitkan kesejahteraan umat Islam lainnya, adalah infak. Dampak dari infak dan sedekah luar biasa.‎
“Infak ini akan menambah kuat izzah muslim. Oleh karena itu jangan ragu untuk mengeluarkannya,” tandasnya.‎

Dijelaskan Masrul Aidi, dalam Islam dikenal prinsip memperbesar pengeluaran di jalan Allah seperti infak dan sedekah, maka akan memperbanyak pemasukan. "Itu prinsip harta akhirat, bukan harta dunia.‎ Berapa banyak yang disumbangkan di jalan Allah, itulah sebenarnya milik kita. Tidak pernah jatuh miskin orang yang banyak sedekah dan infaq," terangnya.

‎Disebutkannya, kendala perekonomian Islam saat ini sehingga belum berkembang, adalah sikap umat Islam sendiri. Sikap itu diantaranya masih banyaknya orang Islam yang lebih suka berbelanja pada tempat-tempat yang bukan milik orang Islam hanya karena lebih murah sedikit.

"Jika pun ada yang beli di tempat orang Islam, terkadang ada yang tega menawar dengan harga rendah kepada pedagang muslim terutama di pasar-pasar tradisional. Padahal kalau di tempat lain seperti mall, tidak menawar harga,” ucapnya.

Menurutnya, ini merupakan salah satu bentuk rintangan dalam penerapan syariat Islam khususnya dalam bidang ekonomi syariah, yang justru lebih banyak datang dari sesama muslim.

"Ketika ada persatuan umat seperti aksi 212 banyak yang lecehkan dan kritik itu justru ‎datang dari umat Islam sendiri. Begitu juga dengan ekonomi syariah seperti usaha umat Islam dengan 212 Mart banyak yang tidak saling membantu‎ untuk memperkuat," jelasnya.

Begitu juga dengan kehadiran bank-bank syariah di Aceh saat ini, yang belum sepenuhnya mendapat dukungan penuh dari umat Islam, bahkan ada yang masih ragu dengan terus mempersoalkan apakah sudah syariah atau belum.

"Di sinilah pentingnya kita perlu berjamaah untuk terus memperkuat jalannya ekonomi syariah. Bukan hanya shalat berjamaah saja, ekonomi syariah juga harus kita hidupkan dengan berjamaah," katanya.

Pada kesempatan tersebut, Ustaz Masrul Aidi juga menyampaikan masih banyaknya ditemukan transaksi gadai melanggar ketentuan Islam. Terutama dalam hal memanfaatkan barang gadai, semisal sawah yang digadai digunakan untuk bercocok tanam oleh si pemberi utang.

Pemanfaatan ini termasuk riba, karena setiap utang piutang yang diambil manfaat (keuntungan) adalah riba. Padahal itu sebagai jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan sebagian atau seharga harta tersebut ketika gagal melunasi utang tadi.‎

"Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang," ungkapnya.‎

Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.

Pewarta: Humas KWPSI

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018