Suara derap kaki kuda terdengar dari kejauhan ketika tim juri mulai melepas kuda dari garis start, sebagai pertanda saling beradu kecepatan dengan berlari sekencang-kencangnya hewan yang memiliki tenaga kuat tersebut.
Tak kurang enam orang joki cilik tanpa pelana berusia belasan tahun menunggangi masing-masing satu ekor kuda untuk setiap race atau perlombaan dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI ke-74.
"Ada 371 ekor kuda yang mengikuti pacuan kuda tradisional Gayo dengan 15 joki cilik dari Aceh Tengah," ucap Ketua Panitia Pacuan Kuda Tradisional Gayo HUT Kemerdekaan RI ke-74, Irwandi.
Setiap harinya sampai babak penyisihan, tak kurang dari 20 perlombaan yang bakal digelar oleh tim panitia dan juri. Lomba tersebut diikuti enam ekor kuda terbaik di setiap kelas yang diperlombakan.
Untuk joki atau penunggang kudanya juga berasal dari kabupaten atau provinsi yang mengirim kuda menjadi peserta di kegiatan pacuan kali ini dengan usia mulai 15 tahun hingga 35 tahun.
Kegiatan kali ini digelar selama satu pekan penuh, yakni mulai dari tanggal 26 Agustus hingga 1 September 2019. Lazimnya selama kegiatan ini, peserta berasal dari kabupaten serumpun Suku Gayo, yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Namun di pacuan kali ini ada juga peserta dari Aceh Tenggara, Aceh Besar, dan bahkan dari luar Provinsi Aceh, yakni Sumatera Barat yang mengirimkan dua ekor kuda serta satu orang joki.
Tercatat ratusan kuda pacuan tradisional ikut diperlombakan, tapi masih didominasi tiga kabupaten serumpun, yakni Aceh Tengah 196 ekor, Bener Meriah 106 ekor, Gayo Lues 62 ekor, dan sisanya berasal dari tiga daerah lainnya.
Ada 15 kelas pacuan kuda diperlombakan di Takengon, ibu kota Aceh Tengah. Paling banyak diikuti Kelas Gayo Muda, dan Kelas E Muda dengan tinggi ukuran kuda mulai 125 sampai 131,9 centimeter yang masing-masing ada 55 peserta.
"Yang paling menantang adalah pacuan kuda di Kelas AB Perdana, karena jarak pacuan 800 meter dan diikuti cuma empat ekor kuda tuan rumah," kata Irwandi juga menjabat Sekretaris Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Aceh Tengah.
"Kalau kuda dari Sumbar (Sumatera Barat), bertanding hari terakhir yakni Minggu. Sumbar turun di Kelas A Muda bersama lima peserta dari Aceh Tengah, dan dua peserta masing-masing dari Bener Meriah dan Gayo Lues untuk persiapan kejuaraan tingkat nasional di Sawahlunto pada Desember 2019," terangnya.
Seperti pasar malam
Semakin mendekati babak final, maka jumlah pengunjung semakin banyak memadati Arena Pacuan Kuda Haji Muhammad Hasan Gayo, Blang Bebangka, Kecamatan Pengasing, Aceh Tengah.
Petugas parkir pun menyebar di setiap pintu masuk ke arena pacuan kuda ini. Bahkan sampai jalan tikus pun turut dijaga, seperti Simpang Kalaping di Jalan KL Yos Sudarso dengan petugas parkir ditemani aparat keamanan yang berpakaian dinas untuk mencegah hal tidak diinginkan.
Sudah barang tentu ramainya pengunjung di arena pacuan kuda tersebut dimanfaatkan para pedagang mencari keuntungan dengan berjualan, seperti makanan dan minuman, hasil pertanian, dan lain sebagainya.
"Saya jualan air kelapa muda, dan berbagai makanan ringan. Itu saya lakukan, sejak satu pekan sebelum pacuan kuda digelar," kata Ridwan (33), di sekitar arena pacuan.
Budayawan dari Majelis Adat Gayo, Joni (49), menuturkan, pacuan kuda ini telah dikenal oleh masyarakat yang tinggal di daerah perbukitan dengan cuaca sejuk berselimut kabut sebelum pejajah Belanda hadir di wilayah tengah Aceh.
"Pacuan kuda ini kan, hiburan rakyat. Berasal dari rakyat, dan untuk rakyat. Jadi pada dasarnya kembali ke awal, sebelum Belanda masuk ke dataran tinggi Gayo di tahun 1903 ketika ekspansi Overstee van Daelan ke Gayo Lues," ujarnya.
Sejak dahulu, terang dia, masyarakat di tanah Gayo gemar memelihara kerbau dan kuda. Kerbau digunakan untuk membajak sawah, dan kuda membawa hasil dari sawah dan pertanian.
Kuda menjadi sarana transportasi barang, dan manusia ketika menyusuri wilayah perbukitan, seperti lereng-lereng pegunungan, kemudian jalan yang berkelok-kelok disertai dengan jurang cukup terjal dan curam.
Namun kebudayaan memelihara kuda belakangan telah menjadi simbol harga diri, gengsi, dan silaturrahim. Sebab untuk menyalurkan hobi berkuda, orang-orang di Tanah Gayo menggelar lomba pacuan kuda dan menjadikannya sebagai pesta rakyat.
Di dalam budaya pacuan kuda Gayo ini, terkandung makna bahwa sebagai pemersatu semua lapisan masyarakat. "Yang di sini, bisa bertemu di sana untuk berkenalan. Kalau perekonomiannya, ya itu kan sudah jelas hidup dan makin meningkat," katanya.
Penonton di ajang pacuan kuda ini juga tidak dibatasi, seperti anak-anak, remaja, orang dewasa, pria dan wanita yang bertujuan sebagai ajang silaturrahim penduduk di dataran 1.200 meter di atas pemukaan laut (mdpl)
"Kalau dulu, ada jualan tebu yang dari satu kampung itu. Dari kampung ini, menjual hasil pertaniannya. Tetapi intinya adalah memupuk rasa persatuan, dan kesatuan," ungkap Joni yang merupakan dosen di perguruan tinggi setempat.
Kini pacuan kuda tradisonal Gayo telah digelar sebanyak dua kali setiap tahun di Aceh Tengah, yakni saat HUT RI di bulan Agustus, dan hari jadi Kota Takengon di bulan Februari.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir kedua daerah pemekaran dari kabupaten induk Aceh Tengah, yakni Bener Meriah dan kabupaten induk Aceh Tenggara, yaitu Gayo Lues juga ikut menggelar lomba pacuan kuda satu kali setahun.
Gaet wisatawan
Salah satunya atraksi pacuan kuda tradisional ikut menghiasi daya tarik wisata bagi orang yang berkunjung ke Tanah Gayo, karena salah satu di antaranya ingin menyaksikan joki cilik memacu kuda yang merupakan tradisi turun temurun.
Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Rahmadhani mengatakan, pacuan kuda tradisional telah lama menjadi salah satu destinasi wisata olah raga di daerah dataran tinggi Gayo.
Melalui olah raga tersebut diyakini dapat mengundang minat wisatawan baik tingkat lokal, nusantara maupun asing untuk terus berkunjung ke kawasan yang dikaruniai Tuhan dengan bentangan panorama alam memikat.
"Gayo sangat kaya budaya, lokasi wisatanya, dan hasil alam, seperti kopi yang kini sudah mendunia. Danau Laut Tawar, Pantan Terong, dan Burni Terong juga merupakan modal utama destinasi wisata di sini," katanya.
Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar mengklaim, daerahnya dewasa ini telah menempati urutan nomor tiga dalam tingkat kunjungan wisatawan seluruh Aceh.
"Aceh Tengah tempati urutan tiga, setelah Sabang dan Banda Aceh dalam hal kunjungan wisatawan. Daerah ini, merupakan destinasi wisata utama di wilayah tengah Aceh," katanya.
Ada dua daya tarik destinasi wisata unggulan paling terkenal, jelas dia, yakni Danau Laut Tawar dengan hamparan seluas 55 kilometer per segi pada ketinggian 1.200 mdpl, dan agrowisata kopi Gayo yang sudah dipasarkan baik di dalam maupun luar negeri.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Aceh Tengah tahun 2017 menyebut, luas areal tanaman perkebunan kopi jenis Arabika kini seluas 49.251 hektare dengan angka produksi 31.358 ton, sedangkan kopi Robusta 1.022 hektare yang sanggup memproduksi 433 ton.
Terdapat 35.000 orang kepala keluarga yang menggantung hidup di bawah koperasi kopi di Aceh Tengah, dan belum lagi sekitar 60 ribu kepala keluarga dari individu tercatat sebagai petani kopi tersebar di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
"Kalau biji kopi dari petani, telah diekspor ke-17 negara. Terbanyak dalam beberapa tahun terakhir diekspor ke Amerika Serikat, tetapi kalau dulu ke Kanada dan menyebar berbagai negara," katanya.
Secara umum Aceh Tengah miliki beberapa potensi objek wisata menarik untuk anda kunjungi, yakni wisata alam dikarenakan wilayahnya perbukitan, lalu wisata budaya, dan wisata non alami atau buatan dengan total sebanyak 62 objek daya tarik wisata.
Dari total 62 daya tarik bagi wisatawan yang ingin berlibur, ada 40 objek atau 64 persen di antaranya merupakan wisata alam, lalu 13 objek atau 21 persen wisata budaya dan peninggalan sejarah, dan sisanya 9 objek atau 15 persen merupakan wisata buatan.
"Tapi, baru lima objek yang sudah mempunyai retribusi ke pemerintah daerah. Sedangkan sebagian besar baru miliki catatan kunjungan, namun tanpa retribusi ke pemerintah daerah," tuturnya.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah menyakini, pacuan kuda tradisional Gayo digelar setiap tahun yang kali ini selama satu pekan dapat mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan ke Takengon dan sekitarnya.
"Kita ingin melestarikan budaya Gayo dalam hal pacuan kuda, dan juga mendatangkan wisatawan. Mungkin mereka para eksportir kopi atau pedagang hasil pertanian," ungkap Bupati Shabela.
Iwan Setiawan (35), pengunjung di Arena Pacuan Kuda Haji Muhammad Hasan Gayo mengatakan, dirinya telah lama ingin menyaksikan pacuan kuda tradisional Gayo di Takengon.
"Kebetulan ada tugas dari kantor di Medan, selama beberapa hari di Takengon. Karena ada pacuan kuda, maka saya langsung datang kemari menyaksikan usai melakukan kerja di lapangan," katanya.
Para pemangku kepentingan pacuan kuda tradisional Gayo perlu memperhatikan faktor pengaman bagi joki cilik, karena mereka harus memacu kudanya yang sangat rentan terjatuh dan terinjak demi faktor keselamatan.
Ada keinginan dari berbagai kalangan supaya mengembalikan pacuan ini dengan memakai kuda lokal milik masyarakat, dan bukan kuda pejabat dari hasil perkawinan silang dengan pejantan Australia. Sehingga ada nilai historis didapat wisatawan, ketika menyaksikan lomba pacuan kuda tradisional Gayo ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
Tak kurang enam orang joki cilik tanpa pelana berusia belasan tahun menunggangi masing-masing satu ekor kuda untuk setiap race atau perlombaan dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI ke-74.
"Ada 371 ekor kuda yang mengikuti pacuan kuda tradisional Gayo dengan 15 joki cilik dari Aceh Tengah," ucap Ketua Panitia Pacuan Kuda Tradisional Gayo HUT Kemerdekaan RI ke-74, Irwandi.
Setiap harinya sampai babak penyisihan, tak kurang dari 20 perlombaan yang bakal digelar oleh tim panitia dan juri. Lomba tersebut diikuti enam ekor kuda terbaik di setiap kelas yang diperlombakan.
Untuk joki atau penunggang kudanya juga berasal dari kabupaten atau provinsi yang mengirim kuda menjadi peserta di kegiatan pacuan kali ini dengan usia mulai 15 tahun hingga 35 tahun.
Kegiatan kali ini digelar selama satu pekan penuh, yakni mulai dari tanggal 26 Agustus hingga 1 September 2019. Lazimnya selama kegiatan ini, peserta berasal dari kabupaten serumpun Suku Gayo, yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Namun di pacuan kali ini ada juga peserta dari Aceh Tenggara, Aceh Besar, dan bahkan dari luar Provinsi Aceh, yakni Sumatera Barat yang mengirimkan dua ekor kuda serta satu orang joki.
Tercatat ratusan kuda pacuan tradisional ikut diperlombakan, tapi masih didominasi tiga kabupaten serumpun, yakni Aceh Tengah 196 ekor, Bener Meriah 106 ekor, Gayo Lues 62 ekor, dan sisanya berasal dari tiga daerah lainnya.
Ada 15 kelas pacuan kuda diperlombakan di Takengon, ibu kota Aceh Tengah. Paling banyak diikuti Kelas Gayo Muda, dan Kelas E Muda dengan tinggi ukuran kuda mulai 125 sampai 131,9 centimeter yang masing-masing ada 55 peserta.
"Yang paling menantang adalah pacuan kuda di Kelas AB Perdana, karena jarak pacuan 800 meter dan diikuti cuma empat ekor kuda tuan rumah," kata Irwandi juga menjabat Sekretaris Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Aceh Tengah.
"Kalau kuda dari Sumbar (Sumatera Barat), bertanding hari terakhir yakni Minggu. Sumbar turun di Kelas A Muda bersama lima peserta dari Aceh Tengah, dan dua peserta masing-masing dari Bener Meriah dan Gayo Lues untuk persiapan kejuaraan tingkat nasional di Sawahlunto pada Desember 2019," terangnya.
Seperti pasar malam
Semakin mendekati babak final, maka jumlah pengunjung semakin banyak memadati Arena Pacuan Kuda Haji Muhammad Hasan Gayo, Blang Bebangka, Kecamatan Pengasing, Aceh Tengah.
Petugas parkir pun menyebar di setiap pintu masuk ke arena pacuan kuda ini. Bahkan sampai jalan tikus pun turut dijaga, seperti Simpang Kalaping di Jalan KL Yos Sudarso dengan petugas parkir ditemani aparat keamanan yang berpakaian dinas untuk mencegah hal tidak diinginkan.
Sudah barang tentu ramainya pengunjung di arena pacuan kuda tersebut dimanfaatkan para pedagang mencari keuntungan dengan berjualan, seperti makanan dan minuman, hasil pertanian, dan lain sebagainya.
"Saya jualan air kelapa muda, dan berbagai makanan ringan. Itu saya lakukan, sejak satu pekan sebelum pacuan kuda digelar," kata Ridwan (33), di sekitar arena pacuan.
Budayawan dari Majelis Adat Gayo, Joni (49), menuturkan, pacuan kuda ini telah dikenal oleh masyarakat yang tinggal di daerah perbukitan dengan cuaca sejuk berselimut kabut sebelum pejajah Belanda hadir di wilayah tengah Aceh.
"Pacuan kuda ini kan, hiburan rakyat. Berasal dari rakyat, dan untuk rakyat. Jadi pada dasarnya kembali ke awal, sebelum Belanda masuk ke dataran tinggi Gayo di tahun 1903 ketika ekspansi Overstee van Daelan ke Gayo Lues," ujarnya.
Sejak dahulu, terang dia, masyarakat di tanah Gayo gemar memelihara kerbau dan kuda. Kerbau digunakan untuk membajak sawah, dan kuda membawa hasil dari sawah dan pertanian.
Kuda menjadi sarana transportasi barang, dan manusia ketika menyusuri wilayah perbukitan, seperti lereng-lereng pegunungan, kemudian jalan yang berkelok-kelok disertai dengan jurang cukup terjal dan curam.
Namun kebudayaan memelihara kuda belakangan telah menjadi simbol harga diri, gengsi, dan silaturrahim. Sebab untuk menyalurkan hobi berkuda, orang-orang di Tanah Gayo menggelar lomba pacuan kuda dan menjadikannya sebagai pesta rakyat.
Di dalam budaya pacuan kuda Gayo ini, terkandung makna bahwa sebagai pemersatu semua lapisan masyarakat. "Yang di sini, bisa bertemu di sana untuk berkenalan. Kalau perekonomiannya, ya itu kan sudah jelas hidup dan makin meningkat," katanya.
Penonton di ajang pacuan kuda ini juga tidak dibatasi, seperti anak-anak, remaja, orang dewasa, pria dan wanita yang bertujuan sebagai ajang silaturrahim penduduk di dataran 1.200 meter di atas pemukaan laut (mdpl)
"Kalau dulu, ada jualan tebu yang dari satu kampung itu. Dari kampung ini, menjual hasil pertaniannya. Tetapi intinya adalah memupuk rasa persatuan, dan kesatuan," ungkap Joni yang merupakan dosen di perguruan tinggi setempat.
Kini pacuan kuda tradisonal Gayo telah digelar sebanyak dua kali setiap tahun di Aceh Tengah, yakni saat HUT RI di bulan Agustus, dan hari jadi Kota Takengon di bulan Februari.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir kedua daerah pemekaran dari kabupaten induk Aceh Tengah, yakni Bener Meriah dan kabupaten induk Aceh Tenggara, yaitu Gayo Lues juga ikut menggelar lomba pacuan kuda satu kali setahun.
Gaet wisatawan
Salah satunya atraksi pacuan kuda tradisional ikut menghiasi daya tarik wisata bagi orang yang berkunjung ke Tanah Gayo, karena salah satu di antaranya ingin menyaksikan joki cilik memacu kuda yang merupakan tradisi turun temurun.
Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Rahmadhani mengatakan, pacuan kuda tradisional telah lama menjadi salah satu destinasi wisata olah raga di daerah dataran tinggi Gayo.
Melalui olah raga tersebut diyakini dapat mengundang minat wisatawan baik tingkat lokal, nusantara maupun asing untuk terus berkunjung ke kawasan yang dikaruniai Tuhan dengan bentangan panorama alam memikat.
"Gayo sangat kaya budaya, lokasi wisatanya, dan hasil alam, seperti kopi yang kini sudah mendunia. Danau Laut Tawar, Pantan Terong, dan Burni Terong juga merupakan modal utama destinasi wisata di sini," katanya.
Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar mengklaim, daerahnya dewasa ini telah menempati urutan nomor tiga dalam tingkat kunjungan wisatawan seluruh Aceh.
"Aceh Tengah tempati urutan tiga, setelah Sabang dan Banda Aceh dalam hal kunjungan wisatawan. Daerah ini, merupakan destinasi wisata utama di wilayah tengah Aceh," katanya.
Ada dua daya tarik destinasi wisata unggulan paling terkenal, jelas dia, yakni Danau Laut Tawar dengan hamparan seluas 55 kilometer per segi pada ketinggian 1.200 mdpl, dan agrowisata kopi Gayo yang sudah dipasarkan baik di dalam maupun luar negeri.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Aceh Tengah tahun 2017 menyebut, luas areal tanaman perkebunan kopi jenis Arabika kini seluas 49.251 hektare dengan angka produksi 31.358 ton, sedangkan kopi Robusta 1.022 hektare yang sanggup memproduksi 433 ton.
Terdapat 35.000 orang kepala keluarga yang menggantung hidup di bawah koperasi kopi di Aceh Tengah, dan belum lagi sekitar 60 ribu kepala keluarga dari individu tercatat sebagai petani kopi tersebar di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
"Kalau biji kopi dari petani, telah diekspor ke-17 negara. Terbanyak dalam beberapa tahun terakhir diekspor ke Amerika Serikat, tetapi kalau dulu ke Kanada dan menyebar berbagai negara," katanya.
Secara umum Aceh Tengah miliki beberapa potensi objek wisata menarik untuk anda kunjungi, yakni wisata alam dikarenakan wilayahnya perbukitan, lalu wisata budaya, dan wisata non alami atau buatan dengan total sebanyak 62 objek daya tarik wisata.
Dari total 62 daya tarik bagi wisatawan yang ingin berlibur, ada 40 objek atau 64 persen di antaranya merupakan wisata alam, lalu 13 objek atau 21 persen wisata budaya dan peninggalan sejarah, dan sisanya 9 objek atau 15 persen merupakan wisata buatan.
"Tapi, baru lima objek yang sudah mempunyai retribusi ke pemerintah daerah. Sedangkan sebagian besar baru miliki catatan kunjungan, namun tanpa retribusi ke pemerintah daerah," tuturnya.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah menyakini, pacuan kuda tradisional Gayo digelar setiap tahun yang kali ini selama satu pekan dapat mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan ke Takengon dan sekitarnya.
"Kita ingin melestarikan budaya Gayo dalam hal pacuan kuda, dan juga mendatangkan wisatawan. Mungkin mereka para eksportir kopi atau pedagang hasil pertanian," ungkap Bupati Shabela.
Iwan Setiawan (35), pengunjung di Arena Pacuan Kuda Haji Muhammad Hasan Gayo mengatakan, dirinya telah lama ingin menyaksikan pacuan kuda tradisional Gayo di Takengon.
"Kebetulan ada tugas dari kantor di Medan, selama beberapa hari di Takengon. Karena ada pacuan kuda, maka saya langsung datang kemari menyaksikan usai melakukan kerja di lapangan," katanya.
Para pemangku kepentingan pacuan kuda tradisional Gayo perlu memperhatikan faktor pengaman bagi joki cilik, karena mereka harus memacu kudanya yang sangat rentan terjatuh dan terinjak demi faktor keselamatan.
Ada keinginan dari berbagai kalangan supaya mengembalikan pacuan ini dengan memakai kuda lokal milik masyarakat, dan bukan kuda pejabat dari hasil perkawinan silang dengan pejantan Australia. Sehingga ada nilai historis didapat wisatawan, ketika menyaksikan lomba pacuan kuda tradisional Gayo ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019