Banda Aceh (ANTARA) - Tsunami Aceh 26 Desember 2004, cukup menjadi pengalaman dan guru paling berharga bagi mitigasi kebencanaan di Tanah Air, mengingat hampir seluruh wilayah di Indonesia adalah rawan bencana alam.
Terdapat sederet kisah gempa besar yang melanda daerah di Indonesia. Tiga bulan beranjak dari gempa disertai tsunami Aceh, tepat pada 28 Maret 2005 gempa berkekuatan 8,7 skala richter (SR) mengguncang Pulau Nias, mengakibatkan seribuan penduduk meninggal dunia, dan ribuan orang luka-luka serta banyak bangunan rusak parah.
Tahun berikutnya, gempa dengan kekuatan 5,9 SR kembali meluluhlantakkan Indonesia. Lalu, di wilayah Bantul Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006, seribuan orang tewas dan juga ribuan orang luka-luka serta banyak bangunan rusak.
Tiga tahun berselang, Indonesia kembali “menangis”. Tercatat lebih dari seribu orang meninggal akibat gempa yang berkekuatan 7,6 SR mengguncang wilayah Kota Padang, Sumatera Barat. Akibatnya ribuan masyarakat bumi minang itu luka parah dan perkiraan kerugian triliunan rupiah.
Beberapa peristiwa itu cukup menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki daerah-daerah dengan segala ancaman bencana. Belum lagi peristiwa gempa, tsunami dan bencana lain yang terjadi pada tahun-tahun berikutnya, yang korbannya juga tidak sedikit.
“Saya ingin mengatakan bahwa bencana tsunami yang diawali dengan gempa itu adalah peristiwa yang berulang,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, di Aceh Besar, akhir pekan lalu.
Pernyataan itu tepat untuk mengingatkan masyarakat Indonesia untuk harus selalu waspada terhadap segala ancaman bencana untuk terus membangun kesiapsiagaan dan mitigasi bencana dalam keluarga.
Terdapat beberapa peninggalan sejarah masa lalu menjadi bukti bahwa gempa dan tsunami merupakan peristiwa yang berulang. Baik bukti yang tercatat di lembaran negara maupun hasil penelitian para ahli yang dikumpulkan BNPB.
Salah satunya, kata Doni, situs bencana Gua Ek Lentie di Desa Pasie Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, yang menjadi bukti gempa dan tsunami peristiwa yang berulang.
Tentu bencana itu tidak hanya pernah terjadi di wilayah Aceh, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya. Terutama di wilayah barat pulau Sumatera, kemudian bagian Selatan Pulau Jawa serta hampir sebagian besar wilayah Timur Indonesia.
"Di gua (Ek Leuntie) itu terdapat sedimen-sedimen, lapisan dari material yang mayoritas adalah pasir yang berupa endapan," katanya.
Lebih lanjut, tambahnya, setelah diteliti oleh beberapa para ahli baik dari dalam dan luar negeri bahwa ternyata di Gua Ek Leuntie itu tidak hanya terdapat satu lapisan, tetapi ada sekitar 14 lapisan yang masing-masingnya memiliki umur bervariasi.
Lapisan tersebut oleh ahli menjadi salah satu alasan bahwa Aceh pernah dilanda tsunami purba. Menurut ahli, kata Doni, usia tertua lapisan itu yakni 7.400 tahun lalu, kemudian peristiwa itu kembali terjadi pada 5.400 tahun lalu, selanjutnya pada 3.300 tahun lalu dan juga pernah terjadi pada 2.800 tahun lalu.
"Artinya di Aceh pernah terjadi gempa dan tsunami seperti yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu, yang menimbulkan korban jiwa lebih 170 ribu orang di Aceh dan ditambah puluhan ribu di berbagai dunia. Artinya tsunami 2004 bukan yang pertama, tetapi sudah pernah berulang terjadi," katanya.
Belajar dari peristiwa gempa dan tsunami Aceh 15 tahun silam, pemerintah dituntut hadir dalam mengedukasi masyarakat tentang kebencanaan, mitigasi bencana, sehingga masyarakat tahu berbagai ancaman bencana sekaligus menyelamatkan diri.
“Kalau lah waktu itu (tsunami Aceh 2004) penduduk wilayah Aceh ini tahu kalau ada gempa segera mencari tempat lebih tinggi, mungkin korbannya tidak sebanyak ini,” katanya.
Luncurkan Program Katana di Aceh
BNPB memilih Aceh menjadi tempat peluncuran program keluarga tangguh bencana (Katana). Bagaimana tidak, Aceh menjadi daerah pertama paling banyak korban yang diakibatkan dari peristiwa tsunami di Indonesia.
Program ini bertujuan untuk membangun mitigasi kebencanaan kepada seluruh keluarga di Indonesia. Sehingga setiap keluarga ke depan memiliki rencana kontijensi saat bencana.
Menurut Doni, dampak dari peristiwa gempa dan tsunami yang paling tinggi terkena dampak adalah lingkungan keluarga, yang mayortitas para ibu-ibu dan anak-anak.
Sejumlah hasil penelitian dari dalam dan luar negeri membuktikan bahwa pertama sekali yang dapat menyelamat diri saat sedang terjadi peristiwa bencana ialah diri sendiri, kemudian baru diikuti oleh bantuan keluarga, selanjutnya bantuan lingkungan.
"Hanya dua persen orang lain yang datang untuk memberi bantuan. Berarti 98 persen (penyelamatan) itu adalah karena kemandirian, orang perorang, keluarga dan juga lingkungan,” katanya.
Jenderal TNI bintang tiga ini menyampaikan bahwa Katana merupakan salah satu program yang terdapat dalam program desa tangguh bencana (Destana). Program ini lahir beranjak dari data BNPB bahwa 54 ribu desa di Indonesia memiliki potensi bencana dengan kerawanan bervariasi, mulai dari sedang hingga paling tinggi.
“Program ini akan berjalan mulai tahun depan. Kita harapkan selama lima tahun yang akan datang seluruh keluarga di Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program keluarga tangguh bencana,” katanya.
Ancaman bencana di Indonesia
Program Katana tersebut tentu tidak hanya mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami, tetapi berbagai jenis ancaman bencana lainnya di Indonesia.
“Kita ingin mempersiapkan keluarga di seluruh Indonesia tangguh terhadap bencana. Tanpa kita memahami apa potensi ancaman (bencana) maka tidak bisa kita melakukan rencana kontijensi, karena itu kenali ancaman dan siapkan strateginya,” katanya.
Melalui program Katana keluarga-keluarga di Indonesia akan mendapatkan pelatihan tentang mitigasi bencana dan ancaman bencana yang berbeda-beda di setiap daerah penjuru Indonesia
Ancaman bencana bisa berupa gunung merapi, gempa yang diikuti tsunami, bahkan likuefaksi. Begitu juga ancaman hidrometerologi seperti angin puting beliung, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta yang sedang menunjukkan grafik naik yaitu abrasi di sejumlah pantai, terutama di bagian Timur Indonesia.
Maka dalam pelaksanaan program ini nantinya, kata dia, akan dilakukan pembahasan dengan kementerian terkait serta para pakar kebencanaan menyangkut para kader-kader provinsi hingga ke kabupaten/kota dan desa agar mampu meningkatkan keselamatan dan ketangguhan keluarga dalam menghadapi potensi bahaya.
"Jadi ujung tombak program ini adalah Juru Keluarga Tangguh Bencana (Juragan) yang berada di tingkat desa, sehingga mereka bisa menilai mana masyarakat yang sudah mengikuti program ini dan mana yang belum mengikutinya," katanya.
Perintah Gubernur
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah memerintahkan
Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) untuk segera menindak lanjuti program Katana yang telah resmi diluncurkan BNPB di tanah Serambi Mekkah itu.
Dia menyebutkan bencana merupakan suatu yang universal. Pemerintah Aceh sangat mendukung peluncuran program Katana dengan tujuan meningkatkan keselamatan dan mitigasi bencana terhadap keluarga di seluruh Indonesia tersebut.
"Untuk BPBA, saya mengharapkan setelah peluncuran program ini dapat menindaklanjuti titik-titik rawan bencana di desa dan kecamatan seluruh Aceh," katanya.
Menurutnya, yang paling penting bagi masyarakat Aceh bahwa keberlanjutan program tersebut. Modul pencegahan resiko bencana telah dapat dilanjutkan yang akhirnya bermuara pada kurikulum pendidikan kebencanaan di sekolah, guna melatih para siswa dalam mengurangi dan menghindari risiko bencana.
Dia berharap ini menjadi modul pada kurikulum sekolah, kalau bisa dari TK dan akhirnya tercipta budaya siaga bencana, budaya menjaga alam dan alam akan menjaga makhluk sekitarnya.*
Menyiapkan generasi tangguh bencana belajar dari tsunami Aceh
Minggu, 22 Desember 2019 11:22 WIB