Hanoi, Vietnam (ANTARA) - Cabang olahraga pencak silat Indonesia gagal mencapai target empat medali emas pada SEA Games 2021 di Vietnam setelah hanya mampu mengemas satu medali emas, empat perak dan tiga perunggu selama pertandingan yang berlangsung 12-16 Mei 2022.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia Bayu Syahjohan di Hanoi, Senin, mengatakan kegagalan tim pencak silat ini menjadi bahan evaluasi karena sudah terjadi dua kali SEA Games terakhir.
Pada SEA Games Filipina tahun 2019, Indonesia meraih dua medali emas atau gagal memenuhi target tiga medali emas.
Baca juga: SEA Games Vietnam - Gagal dalam estafet, Zohri bertekad rebut emas 100m
“Evaluasi harus dilakukan mulai dari pesilat, pelatih hingga delegasi SEA Games-nya sendiri,” kata Bayu yang dijumpai setelah upacara penyerahan medali di Bac Tu Liem Gymnasium.
Ia juga mengamati ada persoalan baru di arena yakni banyaknya wasit yang tidak memahami aturan baru kompetisi, yang sudah dikeluarkan dalam satu tahun terakhir.
Faktor adanya pandemi COVID-19 membuat kegiatan sosialisasi tidak maksimal sehingga wasit masih terbawa pada aturan lama.
Baca juga: SEA Games Vietnam - Senam artistik sumbang tiga medali
“Ini terlihat dari tim Indonesia, karena di SEA Games ini banyak mengalami kekalahan,” kata dia.
Selain itu, ada faktor nonteknis terkait fairplay karena Tim Indonesia merasa terjadi kolaborasi antarnegara peserta untuk menjegal atlet Indonesia.
Ia memberikan istilah sebagai ‘musuh’ bersama, apalagi setelah Indonesia digdaya di arena Asian Games tahun 2018 yang menggondol 14 medali emas.
Padahal, ia melanjutkan, Indonesia sebagai tuan rumah menerapkan fairplay di ajang Asian Games itu sehingga kemenangan yang terjadi itu murni karena melejitnya performa atlet.
Baca juga: SEA Games Vietnam - Indonesia hadapi Thailand di semifinal sepak bola
“Ada yang wasit yang berbicara ke saya, dan meminta saya untuk tenang karena mereka memastikan bersikap netral terhadap Indonesia. Ini artinya memang ada komunikasi itu untuk menjegal Indonesia,” kata dia.
Keberpihakan itu, menurutnya sangat terasa di nomor seni seperti yang dialami oleh Puspa Arum Sari yang turun di nomor seni tunggal putri.
“Puspa itu nyata-nyatanya tidak ada lawan di tunggal putri. Lawan Filipina di final jika dilihat videonya jelas kalau lawan itu tidak ada power. Dia seperti anak TK lawan anak SMA. Tapi ini subjektifitas penilaian saya,” kata dia.
Demikian pula untuk laga babak penyisihan, yang mana atlet andalan Indonesia peraih medali emas Asian Games, Hanifan Yudani Kusumah menelan kekalahan karena dirugikan keputusan juri.
Begitu juga yang dialami Iqbal Chandra Pratama yang merupakan peraih medali emas Asian Games 2018 dan PON XX Papua 2021.
Pada pertandingan itu, Iqbal yang sudah memimpin 20 angka malah dapat dikejar lawan yang justru tanpa membuat gerakan berarti.
“Terkait pertandingan Iqbal ini kami protes dan sudah membayar protes, tapi ternyata hasilnya tak dapat dianulir,” kata dia.
Sementara untuk tiga final pada hari terakhir ini, ia menilai terdapat dua pertandingan yang terindikasi adanya keberpihakan. Sementara untuk Ronaldo memang diakui atlet tuan rumah tampil lebih baik.
Ia menyoroti keputusan mengejutkan wasit yang memberikan pengurangan 10 poin kepada Mustakim yang turun di kelas B putra. Pelanggaran yang terjadi dinilai tidak terlalu berat, setidaknya diberikan pengurangan 5 poin.
“Karena sisa waktu tinggal 4 menit, jadi susah untuk mengejar lagi,” kata dia.
Sedangkan, laga pesilat andalan Indonesia Muhamad Yachser Arafa gagal menyumbangkan medali emas setelah didiskualifikasi pada laga final kelas C putra 50-60 Kg SEA Games Vietnam 2021 di Bac Tu Liem Stadium, Hanoi, Vietnam, Senin.
“Ada tendangan yang masuk tapi tidak dimasukkan juri, lalu lawan tidak bangun lagi karena terkena hantaman di wajah,” kata dia.