Bandarlampung (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah mengkaji fatwa haram atau tidak permainan game online PlayerUnknown's Battlegrounds layer (PUBG) yang sedang tren saat ini. Game yang kebanyakan dimainkan oleh kalangan anak muda ini terus menjadi kontroversi di kalangan masyarakat.
Meskipun ada yang dipastikan akan menerima game PUBG difatwakan haram, lebih banyak yang menolak diharamkan game tersebut, khususnya bagi para pecandu PUBG, mengingat PUBG bagi mereka adalah game online yang sangat menyenangkan.
Hampir tak pernah absen bagi mereka untuk memainkan game tersebut. Bahkan, ada yang rela begadang demi mencapai kepuasan bermain game secara online bersama lawan atau pun kawan.
Game tersebut telah merambah ke kalangan mereka yang belum bekerja tetap (pengangguran). Bahkan, saat ini PUBG telah sukses menggaet hati para gamers di kalangan pekerja. Game yang mengandung unsur tindakan kekerasan (tembakan) itu terlihat menyasar juga di kalangan pemuda tanggung (remaja) maupun anak yang masih di bawah umur.
Tidak bisa bermain melalui sebuah telepon pintar, anak di bawah umur memainkan game itu melalui warung internet (warnet). Seluruh warnet siap menyajikan berbagai game, khususnya yang sedang tren saat ini, PUBG.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung Dr K.H. Khairuddin Tahmid M.H. mengatakan seseorang yang telah kecanduan game, maka akan merusak jiwa dan perkembangan akal serta akhlaknya. Dalam hal ini peran orang tua juga sangat dibutuhkan untuk mengarahkan anak-anaknya dalam bermain game maupun menggunakan telepon pintarnya.
"Semuanya tergantung orang tuanya bagaimana mengarahkan anak-anaknya," kata dia saat ditemui di Bandarlampung, Rabu (27/3)
Khairuddin tidak mempermasalahkan jika bermain game dalam satu minggu satu kali. Namun, kalau sudah "maniak", sehingga bermain game setiap hari, maka hal itu bisa dikategorikan haram karena bisa merusak jiwa, akal, akhlak, dan menimbulkan dampak buruk lainnya.
Haram, menurutnya, tentang bagaimana diri sendiri yang menafsirkan. Jika hal itu merusak perkembangan jiwa, akal, akhlak serta aktivitas positifnya, maka bisa dikatakan haram.
"Jika hampir setiap hari memainkan game itu dan menghabiskan waktu, itu yang tergolong haram. Lihat sekarang perkembangan anak-anak sampai-sampai jika 'handphone'-nya diambil bisa marah sama orang tuanya," kata dia.
Oleh karena terpengaruh bermain game, dampaknya anak akan menganggap dirinya sebagai pahlawan yang mampu mengatasi semua masalah. Contoh dampak buruk yang lainnya, seperti kejadian di Selandia Baru yang terobsesi akibat bermain game, sehingga melakukan tindakan melanggar hukum atau sampai melakukan teror.
MUI Lampung, menurutnya, akan melihat perkembangan dari sisi manakah MUI Pusat menetapkan fatwa haram terkait dengan permainan itu.
Jika itu lebih banyak maslahat untuk umat maka akan mendukung fatwa haram, namun jika mudaratnya lebih banyak maka dirinya tidak mendukung.
"Sebenarnya yang perlu dikeluarkan fatwa untuk orang tuanya dalam rangka mengantarkan anak untuk menjadi manusia yang utuh. Karena sekarang ini banyak manusia tidak utuh, punya harga diri tapi tidak tahu diri, sehingga sekarang saja sulit membedakan mana pejabat dan mana penjahat," kata dia menegaskan.
Khairuddin menganjurkan agar anak-anak bermain game yang bermanfaat. Gunakan game untuk kepentingan belajar, karena belajar tidak hanya dilakukan di sekolah saja.
"Anjuran agar belajar seumur hidup tidak harus di sekolah, melalui game juga bisa belajar tinggal game model apa dulu. Kalau gamenya merusak buat mainnya saja harus menebus sekian ribu mengeluarkan uang itu sama saja sudah mengajarkan anak-anak berbohong," kata dia.
Kecanduan
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Lampung Dra Renyep Proborini M.Ed. mengatakan bermain game bisa berdampak kecanduan jika dilakukan dalam porsi yang berlebihan karena akan membawa kerusakan terhadap fungsi-fungsi saraf dan motorik. Fungsi motorik yang bermasalah, seperti tangan menjadi kaku dan masalah pada gerakan.
Dampak lainnya, seperti mengalami kerusakan pada otak yang sifatnya permanen dilihat dari perilaku anak-anak yang kesulitan membedakan mana yang sekadar mainan dan mana yang bersifat nyata.
"Nanti dia mengira kehidupan yang benar ini dianggap seperti mainan dalam situasi yang bermain," kata dia.
Dia mengutarakan ketika menganggap dunia nyata adalah sebagai mainan, maka pelaku game sendiri bisa saja melakukan tindakan melanggar hukum, seperti menembak. Mereka bisa melihat orang di sekelilingnya seperti musuh yang patut disingkirkan.
Selain itu, pelaku game akan terpapar dengan kekerasan, sedangkan empatinya akan berkurang. Pada akhirnya mereka lebih mudah melakukan tindakan-tindakan agresif kepada orang di sekelilingnya.
"Prinsipnya pada orang tua semestinya sejak awal mereka perlu melakukan kontrol terhadap penggunaan gawai (gadget) dan mereka secara konsisten melakukan itu pada semua anggota keluarga tanpa kecuali. Jadi orang tuanya tidak hanya menyuruh anak untuk membatasi, tapi mereka juga harus memberikan contoh untuk membatasi," kata dia.
Saat anak-anak bermain game, perlunya ada pendampingan sehingga mereka bisa mengetahui mana yang tidak boleh dilakukan.
Menurut dia, lebih baik anak diberikan telepon pintar dalam pengawasan. Jika tidak maka anak akan mencuri kesempatan bersama temannya, sehingga nantinya justru tidak ada pengawasan sama sekali.
"Tidak mungkin juga zaman sekarang orang tua tidak mempunyai 'handphone'. Ketika orang tua ada 'handphone' pasti anak akan pinjam dan itu juga termasuk kesulitan. Yang ada adalah menggunakan disertai kontrol, kemudian semuanya dalam paparan yang sesuai seperti pembatasan waktu," kata dia.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung ini juga sangat mendukung adanya fatwa haram yang sedang dikaji oleh MUI.
"Lebih tepatnya kapan pemerintah membatasi situs-situs yang membahayakan bagi anak-anak bangsa. Tidak perlu ada hiburan semacam itu, justru mudaratnya lebih banyak. Saya lebih suka diblokir game yang isinya tindak kekerasan dan seksualitas," kata dia.
Namun, salah satu pecinta game PUBG Dewansyah mengatakan dirinya tidak setuju jika game PUBG yang sering ia mainkan masuk dalam kategori haram karena sekadar hiburan untuk mengisi waktu jika merasa jenuh.
"Ya, tidak setuju saja," kata dia.
Jika game tersebut masuk dalam kategori haram, dia lebih memilih pemerintah untuk segera menghapusnya agar tidak ada lagi yang bermain dan menambah dosa saat game tersebut dinyatakan haram.
"Kenapa tidak dihapus saja, kan lebih jelas. Jadi tidak ada lagi yang berbuat dosa," kata dia.
Dia mengaku hampir selama 24 jam memainkam game tersebut bersama temannya. Tidak ada aktivitas tetap yang dilakukannya kecuali bermain game hingga larut malam.
Pekerja serabutan ini mengungkapkan telah bermain game itu selama kurang lebih dua bulan. Awalnya, ia hanya mencoba-coba setelah diberitahukan temannya soal game tersebut.
"Eh lama kelamaan jadi keterusan. Sekarang susah kayaknya ngilangin, soalnya hampir tiap hari main," kata pria berusia 20 tahunan ini.
Pada era teknologi serba gawai saat ini, terutama bagi generasi milenial, bermain game di telepon genggam suatu kenikmatan tersendiri.
Namun, mengingat adanya dampak buruk bagi pengguna permainan serupa yang sudah melampaui batas, apalagi maniak memainkan game PUBG yang dinilai akan berdampak buruk, semestinya perlu ada intervensi yang tepat untuk mengendalikannya.
Game PUBG picu kontroversi halal-haram
Rabu, 27 Maret 2019 6:56 WIB