Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar menyebutkan upaya perluasan lahan perkebunan kopi Arabica Gayo di daerah itu sangat terbatas karena kebanyakan lahan disana merupakan kawasan hutan negara.

Shabela Abubakar dihadapan Dirjen Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto dalam acara Deklarasi Desember Kopi Gayo sekaligus peluncuran kawasan wisata Bur Telege dan Bur Mulo Forest Park di Kampung Hakim Bale Bujang, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah, Minggu, mengatakan bahwa sebagian kawasan hutan negara di daerah itu seharusnya bisa dilepas untuk perluasan perkebunan kopi rakyat.

Baca juga: Dirjen KLHK hadiri peluncuran kawasan wisata Forest Park di Aceh Tengah

"Saat ini perluasan lahan perkebunan kopi terkendala kawasan hutan lindung dan hutan negara, padahal di kawasan ini memiliki ketinggian yang ideal untuk kopi Arabika Gayo, rata-rata memiliki ketinggian di atas 1000 dpl dan pada umumnya masih berupa hutan. Sehingga perkembangan dan perluasan kebun kopi cukup terbatas," kata Shabela Abubakar.

Shabela juga menjelaskan bahwa luas perkebunan kopi rakyat di daerah itu saat ini hanya sekitar 49 ribu hektare, sedangkan mayoritas masyarakat disana adalah petani kopi.

Baca juga: Takengon dideklarasikan sebagai Kota Kopi dan pusat riset Kopi Gayo

Menurutnya luas tersebut masih sangat kecil dibandingkan lahan perkebunan kopi daerah-daerah lainnya di Indonesia.

"Produksi kopi Aceh Tengah sekitar 720 kilogram per hektare per tahun. Luas lahan ini sangat kecil jika dibandingkan dengan luas lahan perkebunan kopi Indonesia yang mencapai 1,2 juta hektare," tutur Shabela.

Selain itu Shabela Abubakar juga meminta Kementerian LHK untuk bisa mengembalikan wilayah hutan adat masyarakat Gayo yang saat ini statusnya juga tercatat sebagai kawasan hutan negara.

"Kami mohon juga kembalikan hutan adat kami kepada adat. Ada satu negeri di Linge dan di Serule, itu negeri asal. Dan dulu ada bekas kerajaan disana, sekarang hilang wilayahnya, mereka meminta mengembalikan negerinya," sebut Shabela.

Dalam hal ini kata Shabela ada sebagian desa di daerah itu yang dari dulu sampai sekarang masyarakatnya tinggal dan hidup disana, namun wilayah desanya saat ini juga termasuk ke dalam kawasan hutan negara.

"Ini aneh, bantuan desanya tetap jalan, perangkat desa ada, tapi wilayah tidak ada. Ini yang kami sampaikan surat ke Kementerian yang dinyatakan kami akan mengambil lahan Pak Prabowo, ini keliru," ujarnya.

Sementara Dirjen Perhutanan Sosial Bambang Supriyanto menanggapi hal itu meminta Pemkab Aceh Tengah untuk segera memetakan wilayah hutan dimaksud agar proses pengembaliannya kepada masyarakat dapat dilakukan.

"Caranya adalah dipetakan itu, kebun-kebun tadi yang ada di kawasan hutan, kemudian pilih. Pilih ada lima skema, pertama adalah hutan desa, yang kedua skemanya adalah hutan kemasyarakatan, ketiga KPH, yang keempat hutan tanaman rakyat, kemudian yang terakhir itu adalah pengakuan hutan adat," kata Bambang Supriyanto.

Bambang juga menjelaskan bahwa untuk pengusulan penetapan kawasan hutan adat, Pemkab setempat juga harus menerbitkan Perbub untuk lebih memperjelas regulasinya di daerah dan menguatkan pengajuannya ke pemerintah pusat.

"Saya sudah menerima usulannya, persoalannya satu pak, kalau Perdanya belum cukup bapak bikin Perbubnya.  Kemudian masyarakat adatnya, subjeknya disampaikan, kemudian wilayah adatnya juga disampaikan, sehingga itu bisa ditunjuk dulu, ditunjuk oleh negara menjadi hutan adat," tutur Bambang.


 

Pewarta: Kurnia Muhadi

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019