Empat bocah Muslim Rohingya meninggal dunia akibat ranjau darat meledak di negara bagian Rakhine, kawasan barat Myanmar, pada Selasa, yang mana pihak militer dan pemberontak saling melempar tanggung jawab.
Sementara lima bocah lainnya serta seorang guru mengalami luka-luka ketika sekelompok anak-anak itu menginjak ranjau darat saat sedang mengumpulkan kayu bakar di Desa Kyauk Yan, kata juru bicara pihak militer, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun.
Saat ini, para korban luka tengah mendapat perawatan di rumah sakit setempat. Tiga di antara mereka dalam keadaan terluka serius.
Menurut Min Tun, ranjau darat itu dipasang oleh para petempur Pasukan Arakan, kelompok pemberontak yang merekrut anggota kebanyakan dari warga mayoritas Budha Rakhine.
Sebaliknya, juru bicara Pasukan Arakan, yang menuntut otonomi lebih untuk negara bagian Rakhine, menyalahkan pihak militer atas terjadinya peristiwa ledakan itu.
"Satu anak yang meninggal dunia hanya bisa ditemukan bagian badannya saja. Kami sudah membawa jenazah mereka dan menyerahkannya kepada keluarga masing-masing untuk dimakamkan nanti malam," ucap salah satu warga yang tidak ingin disebut namanya.
Menurut data dari lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurus persoalan anak, UNICEF, pada tahun lalu ada 143 anak yang terbunuh atau terluka dalam sejumlah pertempuran sipil di sepanjang wilayah perbatasan Myanmar.
Tercatat puluhan ribu orang mengungsi dari wilayah negara bagian Rakhine sejak pertempuran kembali pecah pada Desember lalu.
Wilayah itu mulai mendapat sorotan dunia pada tahun 2017 ketika lebih dari 730 ribu orang etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari tindakan keras dari pasukan militer yang disebut penyidik PBB dilakukan dengan "tujuan genosida".
Sekian ratus ribu orang kini masih bertahan di Myanmar, namun hidup dalam kondisi terdiskriminasi, terbatas di tenda-tenda dan pedesaan, serta tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.
Pemerintah Myanmar sendiri mendorong para pengungsi untuk kembali dari Bangladesh, namun para pengungsi menolak karena khawatir akan persekusi dan konflik yang masih berlanjut.
Sementara itu, kelompok pemberontak etnis di negara bagian Rakhine, yang diyakini mempunyai ribuan orang petempur, menjadi ancaman bagi pemerintahan Myanmar saat ini di bawah Aung San Suu Kyi.
Pemberontak itu melakukan penculikan terhadap warga desa, pegawai pemerintahan, serta penjabat setempat.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Sementara lima bocah lainnya serta seorang guru mengalami luka-luka ketika sekelompok anak-anak itu menginjak ranjau darat saat sedang mengumpulkan kayu bakar di Desa Kyauk Yan, kata juru bicara pihak militer, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun.
Saat ini, para korban luka tengah mendapat perawatan di rumah sakit setempat. Tiga di antara mereka dalam keadaan terluka serius.
Menurut Min Tun, ranjau darat itu dipasang oleh para petempur Pasukan Arakan, kelompok pemberontak yang merekrut anggota kebanyakan dari warga mayoritas Budha Rakhine.
Sebaliknya, juru bicara Pasukan Arakan, yang menuntut otonomi lebih untuk negara bagian Rakhine, menyalahkan pihak militer atas terjadinya peristiwa ledakan itu.
"Satu anak yang meninggal dunia hanya bisa ditemukan bagian badannya saja. Kami sudah membawa jenazah mereka dan menyerahkannya kepada keluarga masing-masing untuk dimakamkan nanti malam," ucap salah satu warga yang tidak ingin disebut namanya.
Menurut data dari lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurus persoalan anak, UNICEF, pada tahun lalu ada 143 anak yang terbunuh atau terluka dalam sejumlah pertempuran sipil di sepanjang wilayah perbatasan Myanmar.
Tercatat puluhan ribu orang mengungsi dari wilayah negara bagian Rakhine sejak pertempuran kembali pecah pada Desember lalu.
Wilayah itu mulai mendapat sorotan dunia pada tahun 2017 ketika lebih dari 730 ribu orang etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari tindakan keras dari pasukan militer yang disebut penyidik PBB dilakukan dengan "tujuan genosida".
Sekian ratus ribu orang kini masih bertahan di Myanmar, namun hidup dalam kondisi terdiskriminasi, terbatas di tenda-tenda dan pedesaan, serta tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.
Pemerintah Myanmar sendiri mendorong para pengungsi untuk kembali dari Bangladesh, namun para pengungsi menolak karena khawatir akan persekusi dan konflik yang masih berlanjut.
Sementara itu, kelompok pemberontak etnis di negara bagian Rakhine, yang diyakini mempunyai ribuan orang petempur, menjadi ancaman bagi pemerintahan Myanmar saat ini di bawah Aung San Suu Kyi.
Pemberontak itu melakukan penculikan terhadap warga desa, pegawai pemerintahan, serta penjabat setempat.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020