Virus corona atau COVID-19 yang awalnya ditemukan dan memapar ribuan penduduk di Kota Wuhan, China, pada Desember 2019, begitu cepat mewabah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sejak serangan COVID-19 mendera Indonesia, sekitar awal Maret 2020 dan hingga kini belum mereda, tidak hanya "melumpuhkan" aktivitas ekonomi, sosial, tetapi juga rutinitas keagamaan di Tanah Air, termasuk di Aceh.
Pesta perkawinan, arisan, dan beberapa tradisi masyarakat Aceh khususnya dalam menyambut Ramadhan, antara lain "minggu habeh" (makan-makan di pantai), serta mandi balimao di wilayah barat selatan Aceh juga ditiadakan di tengah pandemi COVID-19.
Selanjutnya, kebiasaan masyarakat Aceh yang mayoritas muslim
mengadakan kenduri (jamuan makan), dan pawai tarhib itu setiap menjelang puasa Ramadhan juga tidak dilakukan pada tahun ini sebagai dampak wabah corona.
Tradisi yang cukup kental dan hingga kini masih berdenyut di tengah-tengah masyarakat Aceh menjelang tibanya pelaksanaan puasa Ramadhan adalah "meugang" (penyembelihan hewan ternak) sapi atau kerbau.
Tidak heran, jika harga daging sapi atau kerbau di Aceh "melangit" dan klimaksnya terkadang mencapai Rp200 ribu per kilogram, padahal jumlah ternak yang disembelih oleh pedagang bisa naik 1.000 persen dari hari biasanya.
Sementara harga daging segar pada hari-hari biasa berkisar Rp120.000 sampai Rp130.000 per kilogram, dan penjualnya juga terbatas di pasar resmi dan beberapa di pinggir jalan.
Pada hari "meugang"(sehari atau dua hari) menjelang puasa Ramadhan, pasar-pasar kaget menjamur di pinggir jalan, dan dipadati warga untuk membeli daging sapi atau daging kerbau.
Namun, sedikit berbeda dengan "meugang" menyambut Puasa Ramdhan 1441 Hijriah atau 2020 Masehi, dari jumlah ternak yang disembelih hingga daya beli masyarakat juga menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Azis Awee, pedagang daging di Pasar Tradisional Lambaro, Aceh Besar, mengaku daya beli masyarakat pada hari "meugang" tahun ini menurun berkisar 50 persen dibandingkan menjelang puasa tahun-tahun sebelumnya.
Ia juga menjelaskan, jumlah sapi yang disembelih untuk dijual dagingnya pada tahun ini hanya enam ekor, sementara pada hari "meugang" tahun-tahun sebelumnya mencapai 12 ekor.
"Wabah corona membuat lemahnya daya beli masyarakat, dan sebagai akibat dari pendapatan yang berkurang. Harapan saya agar wabah COVID-19 bisa berakhir," kata Azis.
Sementara itu, pemerhati sejarah Aceh, Tarmizi A Hamid, menilai wabah corona tidak menyurutkan kebiasaan masyarakat Aceh merayakan tradisi "meugang" bersama keluarga di kampung-kampung.
"Masyarakat tetap melaksanakan tradisi 'meugang' menyambut puasa, namun mungkin agak terbatas dikarenakan faktor ekonomi yang terganggu akibat COVID-19," katanya menjelaskan.
Kemudian, masyarakat Aceh terutama Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai BUMN dan TNI/Polri tidak diperbolehkan mudik ke kampung halaman di tengah pandemi COVID-19.
"Artinya, makna hakiki dari 'meugang' itu adalah menyantap atau makan bersama keluarga besar. Bagi warga di perantauan yang masih memiliki orang tua, maka dipastikan pulang kampung di hari 'meugang' seraya saling maaf memaafkan diantara mereka," kata dia.
Jadi, Tarmizi menjelaskan bisa dipahami jika kondisi "meugang" menjelang puasa tahun ini kesannya kurang meriah. Sebab dunia sedang dilanda masalah akibat wabah virus corona.
Kondisi ekonomi masyarakat sebagai dampak pandemi COVID-19 ini juga menjadi salah satu penyebab kurang meriahnya tradisi "meugang" di tengah-tengah masyarakat Aceh dalam menyambut bulan puasa tahun ini, kata dia.
Meski masih dalam zona "hijau" COVID-19, namun masyarakat diimbau untuk tetap mendukung upaya pemerintah dalam menekan penyebaran virus corona di provinsi berjuluk Serambi Mekah itu.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah selalu mengimbau agar masyarakat tetap menerapkan pola hidup bersih dan sehat, kurangi aktivitas fisik di luar rumah, tetap bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Kemudian, Nova meminta warga di provinsi berpenduduk sekitar 5,2 juta jiwa tersebut untuk menghindari pusat keramaian, fasilitas umum, termasuk aktivitas keagamaan yang melibatkan orang banyak.
Data dari website COVID-19 Pemerintah Aceh, sekitar pukul 15.00 WIB (22 April 2020), disebutkan positif corona tujuh orang, satu meninggal dunia, empat sembuh dan dua dalam perawatan.
Selanjutnya, total Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 1.671 jiwa dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) tercatat 67 orang.
Imbauan ulama
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh meminta seluruh masyarakat di provinsi itu untuk tetap menjalankan ibadah Ramadhan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19.
"MPU Aceh meminta kepada setiap komponen masyarakat untuk senantiasa bertaubat dan meningkatkan ibadah dengan sungguh-sungguh baik di masjid, meunasah maupun di rumah-rumah dengan tetap waspada dan memperhatikan protokol kesehatan dan arahan pemerintah," imbauan ulama dalam tausiahnya.
Tausiah tersebut dikeluarkan MPU Aceh terkait tata cara pelaksanaan ibadah bulan Ramadhan bagi warga muslim di provinsi itu.
Tausiah yang ditandatangai langsung Ketua MPU Aceh Tgk H M Daud Zamzamy juga mengajak seluruh masyarakat untuk menyongsong dan menyambut datangnya bulan puasa dengan penuh syukur, gembira, suka cita serta menghidupkan berbagai aktivitas amal shaleh seraya mengharap ampunan Allah, agar dijauhkan dari marabahaya.
"Masyarakat harus selalu meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap kebersihan diri, keluarga dan lingkungan serta menjaga kesehatan dengan mengonsomsi makanan halal, baik dan bergizi," katanya.
Dalam tausiah tersebut juga meminta kepada pemerintah untuk menetapkan status kawasan penularan COVID-19, sesuai dengan tingkat dan klasifikasi daruratnya, sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan yang kondisi penularan wabah masih terkendali, segala ibadah baik shalat fardhu, tarawih, witir serta salat Idul Fitri dapat dilakukan di masjid maupun meunasah dengan membatasi waktu pelaksanaannya.
Kemudian, khusus untuk masyarakat yang berdomisili di kawasan yang kondisi penularan wabah penyakit COVID-19 tidak terkendali agar tidak menyelenggarakan semua aktivitas ibadah yang melibatkan banyak orang.
Pihaknya juga berharap kepada semua muslim untuk menunaikan zakat, infaq dan sadaqah guna mengoptimalisasi kepedulian dan perhatian terhadap kaum dhuafa/fakir miskin yang berdampak penularan COVID-19.
Dalam tausiah tersebut MPU juga meminta kepada setiap komponen masyarakat tidak melaksanakan kegiatan seperti buka puasa bersama, kenduri Nuzulul Quran, safari ramadan, tadarus keliling, qiyamullail keliling, sahur bersama, subuh keliling, pawai takbiran, serta halal bi halal.
MPU juga mengajak masyarakat untuk melaksanakan itikaf di sepuluh akhir Ramadhan dan saat bersilaturrahim hari raya, masyarakat tetap memperhatikan protokol kesehatan seperti menggunakan masker.
Kepada MPU kabupaten dan kota di seluruh Aceh, diminta untuk merumuskan pelaksanaan ibadah dengan Forkopimda sesuai dengan penetapan status kawasan penularan COVID-19.
Dalam tausiah itu, MPU meminta masyarakat untuk tidak menolak orang dengan status ODP, PDP, jenazah COVID-19 serta tenaga medis, karena penolakan terhadap mereka bertentangan dengan hukum agama, hukum negara dan hukum adat.
MPU juga meminta pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota untuk membatasi terhadap keluar masuknya orang dan barang ke Aceh, kecuali alat dan kebutuhan medis serta bahan pokok lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Sejak serangan COVID-19 mendera Indonesia, sekitar awal Maret 2020 dan hingga kini belum mereda, tidak hanya "melumpuhkan" aktivitas ekonomi, sosial, tetapi juga rutinitas keagamaan di Tanah Air, termasuk di Aceh.
Pesta perkawinan, arisan, dan beberapa tradisi masyarakat Aceh khususnya dalam menyambut Ramadhan, antara lain "minggu habeh" (makan-makan di pantai), serta mandi balimao di wilayah barat selatan Aceh juga ditiadakan di tengah pandemi COVID-19.
Selanjutnya, kebiasaan masyarakat Aceh yang mayoritas muslim
mengadakan kenduri (jamuan makan), dan pawai tarhib itu setiap menjelang puasa Ramadhan juga tidak dilakukan pada tahun ini sebagai dampak wabah corona.
Tradisi yang cukup kental dan hingga kini masih berdenyut di tengah-tengah masyarakat Aceh menjelang tibanya pelaksanaan puasa Ramadhan adalah "meugang" (penyembelihan hewan ternak) sapi atau kerbau.
Tidak heran, jika harga daging sapi atau kerbau di Aceh "melangit" dan klimaksnya terkadang mencapai Rp200 ribu per kilogram, padahal jumlah ternak yang disembelih oleh pedagang bisa naik 1.000 persen dari hari biasanya.
Sementara harga daging segar pada hari-hari biasa berkisar Rp120.000 sampai Rp130.000 per kilogram, dan penjualnya juga terbatas di pasar resmi dan beberapa di pinggir jalan.
Pada hari "meugang"(sehari atau dua hari) menjelang puasa Ramadhan, pasar-pasar kaget menjamur di pinggir jalan, dan dipadati warga untuk membeli daging sapi atau daging kerbau.
Namun, sedikit berbeda dengan "meugang" menyambut Puasa Ramdhan 1441 Hijriah atau 2020 Masehi, dari jumlah ternak yang disembelih hingga daya beli masyarakat juga menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Azis Awee, pedagang daging di Pasar Tradisional Lambaro, Aceh Besar, mengaku daya beli masyarakat pada hari "meugang" tahun ini menurun berkisar 50 persen dibandingkan menjelang puasa tahun-tahun sebelumnya.
Ia juga menjelaskan, jumlah sapi yang disembelih untuk dijual dagingnya pada tahun ini hanya enam ekor, sementara pada hari "meugang" tahun-tahun sebelumnya mencapai 12 ekor.
"Wabah corona membuat lemahnya daya beli masyarakat, dan sebagai akibat dari pendapatan yang berkurang. Harapan saya agar wabah COVID-19 bisa berakhir," kata Azis.
Sementara itu, pemerhati sejarah Aceh, Tarmizi A Hamid, menilai wabah corona tidak menyurutkan kebiasaan masyarakat Aceh merayakan tradisi "meugang" bersama keluarga di kampung-kampung.
"Masyarakat tetap melaksanakan tradisi 'meugang' menyambut puasa, namun mungkin agak terbatas dikarenakan faktor ekonomi yang terganggu akibat COVID-19," katanya menjelaskan.
Kemudian, masyarakat Aceh terutama Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai BUMN dan TNI/Polri tidak diperbolehkan mudik ke kampung halaman di tengah pandemi COVID-19.
"Artinya, makna hakiki dari 'meugang' itu adalah menyantap atau makan bersama keluarga besar. Bagi warga di perantauan yang masih memiliki orang tua, maka dipastikan pulang kampung di hari 'meugang' seraya saling maaf memaafkan diantara mereka," kata dia.
Jadi, Tarmizi menjelaskan bisa dipahami jika kondisi "meugang" menjelang puasa tahun ini kesannya kurang meriah. Sebab dunia sedang dilanda masalah akibat wabah virus corona.
Kondisi ekonomi masyarakat sebagai dampak pandemi COVID-19 ini juga menjadi salah satu penyebab kurang meriahnya tradisi "meugang" di tengah-tengah masyarakat Aceh dalam menyambut bulan puasa tahun ini, kata dia.
Meski masih dalam zona "hijau" COVID-19, namun masyarakat diimbau untuk tetap mendukung upaya pemerintah dalam menekan penyebaran virus corona di provinsi berjuluk Serambi Mekah itu.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah selalu mengimbau agar masyarakat tetap menerapkan pola hidup bersih dan sehat, kurangi aktivitas fisik di luar rumah, tetap bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Kemudian, Nova meminta warga di provinsi berpenduduk sekitar 5,2 juta jiwa tersebut untuk menghindari pusat keramaian, fasilitas umum, termasuk aktivitas keagamaan yang melibatkan orang banyak.
Data dari website COVID-19 Pemerintah Aceh, sekitar pukul 15.00 WIB (22 April 2020), disebutkan positif corona tujuh orang, satu meninggal dunia, empat sembuh dan dua dalam perawatan.
Selanjutnya, total Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 1.671 jiwa dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) tercatat 67 orang.
Imbauan ulama
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh meminta seluruh masyarakat di provinsi itu untuk tetap menjalankan ibadah Ramadhan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19.
"MPU Aceh meminta kepada setiap komponen masyarakat untuk senantiasa bertaubat dan meningkatkan ibadah dengan sungguh-sungguh baik di masjid, meunasah maupun di rumah-rumah dengan tetap waspada dan memperhatikan protokol kesehatan dan arahan pemerintah," imbauan ulama dalam tausiahnya.
Tausiah tersebut dikeluarkan MPU Aceh terkait tata cara pelaksanaan ibadah bulan Ramadhan bagi warga muslim di provinsi itu.
Tausiah yang ditandatangai langsung Ketua MPU Aceh Tgk H M Daud Zamzamy juga mengajak seluruh masyarakat untuk menyongsong dan menyambut datangnya bulan puasa dengan penuh syukur, gembira, suka cita serta menghidupkan berbagai aktivitas amal shaleh seraya mengharap ampunan Allah, agar dijauhkan dari marabahaya.
"Masyarakat harus selalu meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap kebersihan diri, keluarga dan lingkungan serta menjaga kesehatan dengan mengonsomsi makanan halal, baik dan bergizi," katanya.
Dalam tausiah tersebut juga meminta kepada pemerintah untuk menetapkan status kawasan penularan COVID-19, sesuai dengan tingkat dan klasifikasi daruratnya, sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan yang kondisi penularan wabah masih terkendali, segala ibadah baik shalat fardhu, tarawih, witir serta salat Idul Fitri dapat dilakukan di masjid maupun meunasah dengan membatasi waktu pelaksanaannya.
Kemudian, khusus untuk masyarakat yang berdomisili di kawasan yang kondisi penularan wabah penyakit COVID-19 tidak terkendali agar tidak menyelenggarakan semua aktivitas ibadah yang melibatkan banyak orang.
Pihaknya juga berharap kepada semua muslim untuk menunaikan zakat, infaq dan sadaqah guna mengoptimalisasi kepedulian dan perhatian terhadap kaum dhuafa/fakir miskin yang berdampak penularan COVID-19.
Dalam tausiah tersebut MPU juga meminta kepada setiap komponen masyarakat tidak melaksanakan kegiatan seperti buka puasa bersama, kenduri Nuzulul Quran, safari ramadan, tadarus keliling, qiyamullail keliling, sahur bersama, subuh keliling, pawai takbiran, serta halal bi halal.
MPU juga mengajak masyarakat untuk melaksanakan itikaf di sepuluh akhir Ramadhan dan saat bersilaturrahim hari raya, masyarakat tetap memperhatikan protokol kesehatan seperti menggunakan masker.
Kepada MPU kabupaten dan kota di seluruh Aceh, diminta untuk merumuskan pelaksanaan ibadah dengan Forkopimda sesuai dengan penetapan status kawasan penularan COVID-19.
Dalam tausiah itu, MPU meminta masyarakat untuk tidak menolak orang dengan status ODP, PDP, jenazah COVID-19 serta tenaga medis, karena penolakan terhadap mereka bertentangan dengan hukum agama, hukum negara dan hukum adat.
MPU juga meminta pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota untuk membatasi terhadap keluar masuknya orang dan barang ke Aceh, kecuali alat dan kebutuhan medis serta bahan pokok lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020