Banda Aceh, 11/8 (Antaraaceh) - Pekan lalu atau akhir Juli 2014, masyarakat Kecamatan Pasie Raya Kabupaten Aceh Jaya, dihebohkan berita tentang ribuan ikan mati mendadak di sungai (Krueng) Teunom.
Tidak hanya itu, sebagian warga seperti di Gampong Sarah Raya, dan Alue Jang mengaku pusing dan gatal-gatal terutama setelah mereka mengonsumsi ikan kerling hasil tangkapan nelayan di Krueng Teunom tersebut.
Masyarakat pun resah, terutama mereka yang mengantungkan hidupnya dari sumber air Krueng Teunom. Sungai itu bertahun-tahun dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air bersih, dan sumber pendapatan dari tangkapan ikan kerling.
Kemudian, Pemerintah Aceh merespon keresahan masyarakat Pasie Raya dengan mengirim tim untuk melakukan penelitian guna mencari penyebab matinya ikan di sungai yang berhulu di Geumpang, Kabupaten Pidie.
Bahkan, ada warga Sarah Raya yang mencoba mengait-ngaitkan kematian ribuan ikan itu sebagai tanda-tanda alam yakni berupa akan meletusnya gunung berapi di daerah pedalaman di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
"Masyarakat ada yang berpikir, adanya belerang di dalam tanah dan keluar sebagai isyarat akan meletusnya gunung berapi," kata Fadli, pemuda Gampong Sarah Raya.
Di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie itu memang terdapat gunung berapi aktif yakni "Peuet Sago". Gunung itu memiliki ketinggian 2780 mdpl dengan posisi geografis berada pada 4 0- 5 1/2 0 Lintang Selatan dan 96 0 - 20 0 Bujur Timur.
Kendati demikian, juga ada yang berkayakinan pencemaran sungai oleh merkuri yang digunakan para penambang emas tradisional itu menjadi penyebab matinya ikan dan tercemarnya air Krueng Teunom.
"Di atas sana (kawasan hutan) ada warga yang mencari emas. Penambang emas tradisional itu tidak hanya penduduk Sarah Raya, tapi juga ada yang datang dari berbagai daerah," kata Fadli menambahkan.
Untuk mengantisipasi jangan sampai masyarakat terkena dampak serius dari pencemaran itu maka pihak kepolisian bekerja sama dengan Pemkab Aceh Jaya telah memasang spanduk di sejumlah lokasi di DAS Krueng Teunom.
Spanduk itu berisi imbauan agar warga tidak konsumsi air, menangkap ikan dan melakukan aktivitas lainnya di sungai tersebut sambil menunggu adanya pemberitahuan secara resmi dari pemerintah.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Raihannah menjelaskan ribuan ikan yang mati di sepanjang sungai Meriam di Kabupaten Pidie hingga Krueng Teunom, Aceh Jaya itu positif karena keracunan.
Penjelasan itu disampaikan sampel ikan-ikan tersebut diuji di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala (Unsyiah) Darussalam. Ciri-ciri ikan yang mati itu antara lain hatinya bengkak, jaringan kulit mengalami pendarahan.
Kepala DKP Aceh Jaya Ridwan Yusuf, menjelaskan bahwa pihaknya telah mengimbau warga untuk sementara waktu menghentikan kegiatan di sungai, disebabkan beberapa warga yang mengonsumsi ikan kerling mengalami mual, pusing hingga muntah.
Ikan kerling hanya hidup di sungai-sungai air tawar yang deras itu dalam bahasa Indonesia disebut dengan ikan jurung. Ikan itu termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang paling digemari oleh sebagian masyarakat Aceh, sehingga hanya bisa mencapai Rp70 ribu/kilogram.
Kasus keracunan warga setelah mengonsumsi ikan kerling tangkapan di Krueng Teunom itu kini telah berdampak terhentinya aktivitas masyarakat di sungai tersebut. "Tidak ada lagi warga yang mandi, menangkap ikan dan aktivitas lainnya sejak pencemaran di Krueng Teunom," kata warga lainnya, Hamid.
"Biasanya, kami mengambil air sungai untuk dimasak. Kemudian mandi dan mencuci pakaian dan membuang air besar (berak), tapi kini tidak berani lagi, sebab sudah gatal-gatal," kata Nurhayati, warga Sarah Raya.
Ramli (33), warga Sarah Raya, menduga pencemaran yang berdampak matinya ikan di Krueng Teunom itu terjadi pada tanggal 30 Juli 2014. "Saat itu, saya mencari ikan jenis Kerlieng di sungai dan merasa heran karena ketika mengangkat jaring, ikannya cukup banyak, tidak seperti biasanya," kata dia menjelaskan.
Namun, ketika itu ikan hasil tangkapan dalam jumlah banyak tersebut dibawa pulang, dan terlihat sebagiannya dalam kondisi mengeluarkan darah dari sisik, dan matanya agak putih.
"Saya tidak merasakan apa-apa, dan sebagian saya masak dan sebagian lainnya sudah direncanakan untuk dijual esok harinya," kata Ramli menjelaskan.
Akan tetapi, kata dia, saat ikan itu akan dijual, timbul kecurigaan dikerenakan dari kondisi fisiknya yang mati dan mengeluarkan dari dari sisik ikan tersebut.
" Akhirnya saya memutuskan untuk membuang ikan itu. Saat itu juga saya merasakan pusing-pusing dan mengantuk setelah mengonsumsinya," katanya menambahkan.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh Taqwallah menyebutkan dugaan beberapa jenis penyakit ringan yang diderita masyarakat di daerah aliran Krueng Teunom akibat dari keracunan ikan.
"Beberapa jenis penyakit ringan yang diderita masyarakat Desa Sarah Raya dan Alue Jang, Kecamatan Teunom, itu terindikasi dampak dari keracunan ikan yang mereka makan," katanya menjelaskan.
Tim dokter umum dan berbagai spesialis dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh diturunkan ke desa pedalaman Aceh Jaya untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan massal kepada masyarakat pada Sabtu (9/8).
Didampingi Direktur Utama RSUDZA Dr dr Syahrul, ia menyeebutkan dari sebanyak 82 kasus penyakit yang ditemukan masing-masing 21 kasus gangguan mata, 24 masalah kulit, 18 kasus penyakit dalam, dan tercatat 19 kasus anak.
"Semua pengunjung posko kesehatan yang dibentuk Dinas Kesehatan Aceh dan Aceh Jaya terlayani dengan baik," katanya menambahkan.
Para medis yang dikerahkan sebanyak 121 orang, terdiri dari 14 dokter ahli dari penyakit dalam, saraf, anak, THT, mata, kulit, paru, obsgyn, gigi dan dokter umum tercatat 31 orang dengan jumlah penduduk yang berobat 1.060 jiwa.Ancam lingkungan hidup
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai pencemaran yang semakin marak terjadi mengancam lingkungan hidup di provinsi itu.
"Pencemaran ini terjadi karena penambangan emas liar maupun mengubah fungsi hutan dan pencemaran ini sudah menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup di daerah ini," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh M Nur.
Menurut dia, Walhi sudah mengingatkan Pemerintah Aceh sejak 2009. Peringatan tersebut terkait tidak mengubah fungsi hutan, baik hutan lindung, maupun hutan lainnya untuk pertambangan maupun konvensi penggunaan lainnya.
"Namun, peringatan ini sepertinya tidak mendapat respons, sehingga apa yang menjadi kekhawatiran Walhi Aceh beberapa tahun lalui dapat dibuktikan hari ini. Pencemaran dan kekeringan sudah terjadi sekarang ini di Aceh," kata dia.
Sejumlah kasus pencemaran sungai, perairan laut, maupun kekeringan, kata dia, kini sudah melanda Aceh. Kasus-kasus menjadi warisan bagi generasi Aceh berikutnya.
Selain itu, 15 dari 23 kabupaten/kota di Aceh dapat dipastikan menjadi sumber utama bencana ekologis. Hal ini terjadi karena fungsi hutan diubah untuk peruntukan lain.
"Walhi Aceh sudah berulang kali mengingatkan Pemerintah Aceh adanya bencana ekologis akan dampak mengubah fungsi hutan serta penggunaan zat kimia berbahaya di pertambangan. Dan hari ini sudah terbukti," ungkap M Nur.
Aceh, lanjut dia, merupakan daerah kaya sumber daya mineral dan pertambangan. Namun, karena pengelolaan yang salah, kekayaan tersebut menjadi bumerang bagi rakyat Aceh.
Pemerintah Aceh, kata dia, hanya peduli dengan meraup pendapatan sebanyak mungkin dari sumber daya mineral, tetapi mengabaikan hak masyarakat mendapatkan hidup yang sehat dan bersih.
"Satu hal yang patut dipertanyakan, apakah perusahaan tambang di Aceh memiliki amdal dalam melaksanakan aktivitas penambangannya" Kalau ada, tentu pencemaran tidak terjadi," ketus M Nur.
Oleh karena itu, kata dia, Walhi Aceh mendesak Gubernur Aceh berani dan tegas merespons banyaknya kasus pencemaran akibat pertambangan dan perubahan fungsi hutan.
"Respons ini untuk menyelamatkan lingkungan hidup Aceh. Kerugian akibat bencana ekologis lebih besar ketimbang pemasukan yang didapat. Karena itu, segeralah bertindak demi generasi Aceh selanjutnya," kata M Nur.
Bahkan, Lembaga swadaya masyarakat Gerakan Antikorupsi (GeRAK) menilai Pemerintah Aceh tidak berani mengevaluasi seluruh izin pertambangan.
"Kami menilai Pemerintah Aceh tidak berani mengevaluasi izin-izin tambang yang bermasalah di lapangan," kata Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh Hayatudin Tanjung.
Berdasarkan data dan catatan GeRAK, kata dia, ada 134 izin pertambangan yang sudah dikeluarkan pemerintah daerah di Aceh. Izin tersebut tidak semuanya tidak semua melakukan operasi produksi di lapangan.
Kebanyakan izin, lanjut dia, yang dikeluarkan hanya untuk melakukan penelitian atau eksplorasi. Namun, pemegang izin eksplorasi malah sudah melakukan penambangan atau eksploitasi.
"Seharusnya, izin eksplorasi ini segera dievaluasi oleh Pemerintah Aceh maupun pemerintah daerah di Aceh. Sebab, izin eksplorasi tidak memberikan kontribusi pendapatan saerah dari sektor pertambangan," kata Hayatudin Tanjung.
Selama ini, sebut dia, dari 134 perusahaan yang memiliki izin hanya 25 perusahaan yang sudah memiliki izin usaha produksi.
Ironinya, kata Hayatudin Tanjung, dari 25 perusahaan pemegang izin usaha produksi tersebut hanya tiga perusahaan yang memberikan pemasukan untuk Aceh.
"Kami sudah melakukan pemantauan ke setiap daerah dan hanya tiga perusahaan yang selama ini memberikan pemasukan untuk Aceh," ungkap Hayatudin Tanjung.
Oleh karena itu, lanjut dia, GeRAK Aceh mendesak Gubernur Aceh selaku kepala daerah segera mengevaluasi semua izin pertambangan, baik eksplorasi maupun eksploitasi.
"Gubernur janga hanya berani bicara di media, tetapi harus mengambil langkah konkret mengevaluasi izin-izin pertambangan. Kalau yang tidak memberikan kontribusi, langsung dicabut izinnya," kata Hayatudin Tanjung.
Untuk menjawab tudingan itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menegaskan pihaknya hingga kini masih memberlakukan penghentian sementara (moratorium) pertambangan terutama bidang galian emas dan bijih besi sebagai upaya menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
"Moratorium pertambangan sudah menjadi komitmen kita dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Dan Sumberdaya alam ini akan kita warisi untuk dimanfaatkan oleh generasi Aceh dimasa mendatang," katanya menegaskan.
Gubernur juga menyatakan pihaknya terus mencarikan jalan keluar terkait penanganan pencemaran limbah logam berat yang mengakibatkan matinya ikan dan tercemarnya air sungai di Krueng Teunom dan Krueng Meriam di Pidie.
Zaini Abdullah menyatakan prihatin disebabkan warga tidak melihat dampak negatif dari aksi penambangan emas dengan menggunakan bahan kimia berbahaya yakni merkuri (Hg) dan sianida.
"Penggunaan merkuri secara bebas dan tanpa pengawasan pihak berwenang menyebabkan pencemaran air sungai dan tanah. Ini sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup serta harus dilakukan langkah-langkah penanganan segera," katanya menjelaskan.
Merkuri (Hg) atau air raksa adalah logam berwujud cair, bila dipanaskan pada suhu 37 derajat celsius akan menguap. Para penambang emas tradisional menggunakan merkuri untuk menangkap dan memisahkan butir-butir emas dari bebatuan kecil.
Gubernur juga meminta masyarakat tidak lagi melakukan penambangan emas tanpa izin karena di beberapa lokasi sudah mulai terjadi kerusakan lingkungan, pencemaran air, hutan rusak, udara tercemar dan kerusakan sarana jalan.
"Ini sesuatu yang sudah dalam kategori darurat dan tidak bisa dibiarkan, itu merupakan masalah serius yang diperlukan penanganan sesegera," demikian Gubernur Aceh Zaini Abdullah menjelaskan.
Oleh Azhari
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014
Tidak hanya itu, sebagian warga seperti di Gampong Sarah Raya, dan Alue Jang mengaku pusing dan gatal-gatal terutama setelah mereka mengonsumsi ikan kerling hasil tangkapan nelayan di Krueng Teunom tersebut.
Masyarakat pun resah, terutama mereka yang mengantungkan hidupnya dari sumber air Krueng Teunom. Sungai itu bertahun-tahun dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air bersih, dan sumber pendapatan dari tangkapan ikan kerling.
Kemudian, Pemerintah Aceh merespon keresahan masyarakat Pasie Raya dengan mengirim tim untuk melakukan penelitian guna mencari penyebab matinya ikan di sungai yang berhulu di Geumpang, Kabupaten Pidie.
Bahkan, ada warga Sarah Raya yang mencoba mengait-ngaitkan kematian ribuan ikan itu sebagai tanda-tanda alam yakni berupa akan meletusnya gunung berapi di daerah pedalaman di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
"Masyarakat ada yang berpikir, adanya belerang di dalam tanah dan keluar sebagai isyarat akan meletusnya gunung berapi," kata Fadli, pemuda Gampong Sarah Raya.
Di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie itu memang terdapat gunung berapi aktif yakni "Peuet Sago". Gunung itu memiliki ketinggian 2780 mdpl dengan posisi geografis berada pada 4 0- 5 1/2 0 Lintang Selatan dan 96 0 - 20 0 Bujur Timur.
Kendati demikian, juga ada yang berkayakinan pencemaran sungai oleh merkuri yang digunakan para penambang emas tradisional itu menjadi penyebab matinya ikan dan tercemarnya air Krueng Teunom.
"Di atas sana (kawasan hutan) ada warga yang mencari emas. Penambang emas tradisional itu tidak hanya penduduk Sarah Raya, tapi juga ada yang datang dari berbagai daerah," kata Fadli menambahkan.
Untuk mengantisipasi jangan sampai masyarakat terkena dampak serius dari pencemaran itu maka pihak kepolisian bekerja sama dengan Pemkab Aceh Jaya telah memasang spanduk di sejumlah lokasi di DAS Krueng Teunom.
Spanduk itu berisi imbauan agar warga tidak konsumsi air, menangkap ikan dan melakukan aktivitas lainnya di sungai tersebut sambil menunggu adanya pemberitahuan secara resmi dari pemerintah.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Raihannah menjelaskan ribuan ikan yang mati di sepanjang sungai Meriam di Kabupaten Pidie hingga Krueng Teunom, Aceh Jaya itu positif karena keracunan.
Penjelasan itu disampaikan sampel ikan-ikan tersebut diuji di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala (Unsyiah) Darussalam. Ciri-ciri ikan yang mati itu antara lain hatinya bengkak, jaringan kulit mengalami pendarahan.
Kepala DKP Aceh Jaya Ridwan Yusuf, menjelaskan bahwa pihaknya telah mengimbau warga untuk sementara waktu menghentikan kegiatan di sungai, disebabkan beberapa warga yang mengonsumsi ikan kerling mengalami mual, pusing hingga muntah.
Ikan kerling hanya hidup di sungai-sungai air tawar yang deras itu dalam bahasa Indonesia disebut dengan ikan jurung. Ikan itu termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang paling digemari oleh sebagian masyarakat Aceh, sehingga hanya bisa mencapai Rp70 ribu/kilogram.
Kasus keracunan warga setelah mengonsumsi ikan kerling tangkapan di Krueng Teunom itu kini telah berdampak terhentinya aktivitas masyarakat di sungai tersebut. "Tidak ada lagi warga yang mandi, menangkap ikan dan aktivitas lainnya sejak pencemaran di Krueng Teunom," kata warga lainnya, Hamid.
"Biasanya, kami mengambil air sungai untuk dimasak. Kemudian mandi dan mencuci pakaian dan membuang air besar (berak), tapi kini tidak berani lagi, sebab sudah gatal-gatal," kata Nurhayati, warga Sarah Raya.
Ramli (33), warga Sarah Raya, menduga pencemaran yang berdampak matinya ikan di Krueng Teunom itu terjadi pada tanggal 30 Juli 2014. "Saat itu, saya mencari ikan jenis Kerlieng di sungai dan merasa heran karena ketika mengangkat jaring, ikannya cukup banyak, tidak seperti biasanya," kata dia menjelaskan.
Namun, ketika itu ikan hasil tangkapan dalam jumlah banyak tersebut dibawa pulang, dan terlihat sebagiannya dalam kondisi mengeluarkan darah dari sisik, dan matanya agak putih.
"Saya tidak merasakan apa-apa, dan sebagian saya masak dan sebagian lainnya sudah direncanakan untuk dijual esok harinya," kata Ramli menjelaskan.
Akan tetapi, kata dia, saat ikan itu akan dijual, timbul kecurigaan dikerenakan dari kondisi fisiknya yang mati dan mengeluarkan dari dari sisik ikan tersebut.
" Akhirnya saya memutuskan untuk membuang ikan itu. Saat itu juga saya merasakan pusing-pusing dan mengantuk setelah mengonsumsinya," katanya menambahkan.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh Taqwallah menyebutkan dugaan beberapa jenis penyakit ringan yang diderita masyarakat di daerah aliran Krueng Teunom akibat dari keracunan ikan.
"Beberapa jenis penyakit ringan yang diderita masyarakat Desa Sarah Raya dan Alue Jang, Kecamatan Teunom, itu terindikasi dampak dari keracunan ikan yang mereka makan," katanya menjelaskan.
Tim dokter umum dan berbagai spesialis dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh diturunkan ke desa pedalaman Aceh Jaya untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan massal kepada masyarakat pada Sabtu (9/8).
Didampingi Direktur Utama RSUDZA Dr dr Syahrul, ia menyeebutkan dari sebanyak 82 kasus penyakit yang ditemukan masing-masing 21 kasus gangguan mata, 24 masalah kulit, 18 kasus penyakit dalam, dan tercatat 19 kasus anak.
"Semua pengunjung posko kesehatan yang dibentuk Dinas Kesehatan Aceh dan Aceh Jaya terlayani dengan baik," katanya menambahkan.
Para medis yang dikerahkan sebanyak 121 orang, terdiri dari 14 dokter ahli dari penyakit dalam, saraf, anak, THT, mata, kulit, paru, obsgyn, gigi dan dokter umum tercatat 31 orang dengan jumlah penduduk yang berobat 1.060 jiwa.Ancam lingkungan hidup
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai pencemaran yang semakin marak terjadi mengancam lingkungan hidup di provinsi itu.
"Pencemaran ini terjadi karena penambangan emas liar maupun mengubah fungsi hutan dan pencemaran ini sudah menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup di daerah ini," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh M Nur.
Menurut dia, Walhi sudah mengingatkan Pemerintah Aceh sejak 2009. Peringatan tersebut terkait tidak mengubah fungsi hutan, baik hutan lindung, maupun hutan lainnya untuk pertambangan maupun konvensi penggunaan lainnya.
"Namun, peringatan ini sepertinya tidak mendapat respons, sehingga apa yang menjadi kekhawatiran Walhi Aceh beberapa tahun lalui dapat dibuktikan hari ini. Pencemaran dan kekeringan sudah terjadi sekarang ini di Aceh," kata dia.
Sejumlah kasus pencemaran sungai, perairan laut, maupun kekeringan, kata dia, kini sudah melanda Aceh. Kasus-kasus menjadi warisan bagi generasi Aceh berikutnya.
Selain itu, 15 dari 23 kabupaten/kota di Aceh dapat dipastikan menjadi sumber utama bencana ekologis. Hal ini terjadi karena fungsi hutan diubah untuk peruntukan lain.
"Walhi Aceh sudah berulang kali mengingatkan Pemerintah Aceh adanya bencana ekologis akan dampak mengubah fungsi hutan serta penggunaan zat kimia berbahaya di pertambangan. Dan hari ini sudah terbukti," ungkap M Nur.
Aceh, lanjut dia, merupakan daerah kaya sumber daya mineral dan pertambangan. Namun, karena pengelolaan yang salah, kekayaan tersebut menjadi bumerang bagi rakyat Aceh.
Pemerintah Aceh, kata dia, hanya peduli dengan meraup pendapatan sebanyak mungkin dari sumber daya mineral, tetapi mengabaikan hak masyarakat mendapatkan hidup yang sehat dan bersih.
"Satu hal yang patut dipertanyakan, apakah perusahaan tambang di Aceh memiliki amdal dalam melaksanakan aktivitas penambangannya" Kalau ada, tentu pencemaran tidak terjadi," ketus M Nur.
Oleh karena itu, kata dia, Walhi Aceh mendesak Gubernur Aceh berani dan tegas merespons banyaknya kasus pencemaran akibat pertambangan dan perubahan fungsi hutan.
"Respons ini untuk menyelamatkan lingkungan hidup Aceh. Kerugian akibat bencana ekologis lebih besar ketimbang pemasukan yang didapat. Karena itu, segeralah bertindak demi generasi Aceh selanjutnya," kata M Nur.
Bahkan, Lembaga swadaya masyarakat Gerakan Antikorupsi (GeRAK) menilai Pemerintah Aceh tidak berani mengevaluasi seluruh izin pertambangan.
"Kami menilai Pemerintah Aceh tidak berani mengevaluasi izin-izin tambang yang bermasalah di lapangan," kata Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh Hayatudin Tanjung.
Berdasarkan data dan catatan GeRAK, kata dia, ada 134 izin pertambangan yang sudah dikeluarkan pemerintah daerah di Aceh. Izin tersebut tidak semuanya tidak semua melakukan operasi produksi di lapangan.
Kebanyakan izin, lanjut dia, yang dikeluarkan hanya untuk melakukan penelitian atau eksplorasi. Namun, pemegang izin eksplorasi malah sudah melakukan penambangan atau eksploitasi.
"Seharusnya, izin eksplorasi ini segera dievaluasi oleh Pemerintah Aceh maupun pemerintah daerah di Aceh. Sebab, izin eksplorasi tidak memberikan kontribusi pendapatan saerah dari sektor pertambangan," kata Hayatudin Tanjung.
Selama ini, sebut dia, dari 134 perusahaan yang memiliki izin hanya 25 perusahaan yang sudah memiliki izin usaha produksi.
Ironinya, kata Hayatudin Tanjung, dari 25 perusahaan pemegang izin usaha produksi tersebut hanya tiga perusahaan yang memberikan pemasukan untuk Aceh.
"Kami sudah melakukan pemantauan ke setiap daerah dan hanya tiga perusahaan yang selama ini memberikan pemasukan untuk Aceh," ungkap Hayatudin Tanjung.
Oleh karena itu, lanjut dia, GeRAK Aceh mendesak Gubernur Aceh selaku kepala daerah segera mengevaluasi semua izin pertambangan, baik eksplorasi maupun eksploitasi.
"Gubernur janga hanya berani bicara di media, tetapi harus mengambil langkah konkret mengevaluasi izin-izin pertambangan. Kalau yang tidak memberikan kontribusi, langsung dicabut izinnya," kata Hayatudin Tanjung.
Untuk menjawab tudingan itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menegaskan pihaknya hingga kini masih memberlakukan penghentian sementara (moratorium) pertambangan terutama bidang galian emas dan bijih besi sebagai upaya menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
"Moratorium pertambangan sudah menjadi komitmen kita dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Dan Sumberdaya alam ini akan kita warisi untuk dimanfaatkan oleh generasi Aceh dimasa mendatang," katanya menegaskan.
Gubernur juga menyatakan pihaknya terus mencarikan jalan keluar terkait penanganan pencemaran limbah logam berat yang mengakibatkan matinya ikan dan tercemarnya air sungai di Krueng Teunom dan Krueng Meriam di Pidie.
Zaini Abdullah menyatakan prihatin disebabkan warga tidak melihat dampak negatif dari aksi penambangan emas dengan menggunakan bahan kimia berbahaya yakni merkuri (Hg) dan sianida.
"Penggunaan merkuri secara bebas dan tanpa pengawasan pihak berwenang menyebabkan pencemaran air sungai dan tanah. Ini sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup serta harus dilakukan langkah-langkah penanganan segera," katanya menjelaskan.
Merkuri (Hg) atau air raksa adalah logam berwujud cair, bila dipanaskan pada suhu 37 derajat celsius akan menguap. Para penambang emas tradisional menggunakan merkuri untuk menangkap dan memisahkan butir-butir emas dari bebatuan kecil.
Gubernur juga meminta masyarakat tidak lagi melakukan penambangan emas tanpa izin karena di beberapa lokasi sudah mulai terjadi kerusakan lingkungan, pencemaran air, hutan rusak, udara tercemar dan kerusakan sarana jalan.
"Ini sesuatu yang sudah dalam kategori darurat dan tidak bisa dibiarkan, itu merupakan masalah serius yang diperlukan penanganan sesegera," demikian Gubernur Aceh Zaini Abdullah menjelaskan.
Oleh Azhari
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014