Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan tidak menarik keuntungan atau laba dengan adanya kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS).
"Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan menganut prinsip nirlaba. Artinya, pengelolaan Program JKN-KIS oleh BPJS Kesehatan mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.
Iqbal menuturkan Sistem Jaminan Sosial Kesehatan (SJSN) yang menjadi dasar BPJS Kesehatan dalam menjalankan Program JKN-KIS berpegang pada prinsip nirlaba.
Iqbal mengatakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 40, BPJS Kesehatan mengelola dua jenis aset, yaitu aset Dana Jaminan Sosial (DJS) dan aset BPJS. BPJS Kesehatan wajib memisahkan aset DJS dan aset BPJS.
"Aset DJS merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial," tutur Iqbal.
Sementara, aset BPJS adalah aset lembaga atau badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial yang bersumber dari modal awal dari pemerintah, hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial, hasil pengembangan aset BPJS.
Dana operasional yang diambil dari DJS dan/atau sumber lain yang sah, untuk digunakan sebagai biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial, biaya pengadaan barang dan jasa, biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan dan investasi dalam instrumen investasi.
"Penting diperhatikan bahwa dalam menyajikan laporan keuangan, BPJS Kesehatan menampilkan dua jenis laporan keuangan, yaitu laporan keuangan DJS dan laporan keuangan BPJS. Jadi harus diluruskan, yang dimaksud laba itu aset yang mana, aset DJS atau aset BPJS," ujar Iqbal.
Pada 2019, laporan keuangan DJS mencatat aset neto sebesar minus Rp50,99 triliun, menurun sebesar Rp17,04 triliun dari realisasi tahun 2018 sebesar minus Rp33,96 triliun.
Per 31 Desember 2019, DJS mencatat total aset sebesar Rp1,68 triliun, menurun 12,42 persen dari tahun 2018 sebesar Rp1,91 triliun.
Sedangkan untuk BPJS, laporan keuangan tahun 2019 mencatat laba tahun berjalan sebesar Rp369,07 miliar, meningkat Rp426,40 miliar dari realisasi tahun 2018 sebesar minus Rp57,33 miliar.
Peningkatan laba tahun berjalan tersebut terutama ditopang oleh capaian pendapatan investasi yang meningkat Rp306,76 miliar (neto) dari tahun 2018 sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi, dengan yield on investment (YOI) sebesar 7,46 persen meningkat 92,76 persen dari tahun 2018 sebesar 3,87 persen.
Per 31 Desember 2019, BPJS mencatat total aset sebesar Rp13,26 triliun, meningkat 4,50 persen dari tahun 2018 sebesar Rp12,69 triliun.
"Jadi, perlu kami luruskan bahwa aset DJS dan aset BPJS Kesehatan adalah dua hal yang dikelola secara terpisah, sehingga tidak benar jika kenaikan iuran berpengaruh terhadap laba BPJS Kesehatan," tutur Iqbal.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
"Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan menganut prinsip nirlaba. Artinya, pengelolaan Program JKN-KIS oleh BPJS Kesehatan mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.
Iqbal menuturkan Sistem Jaminan Sosial Kesehatan (SJSN) yang menjadi dasar BPJS Kesehatan dalam menjalankan Program JKN-KIS berpegang pada prinsip nirlaba.
Iqbal mengatakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 40, BPJS Kesehatan mengelola dua jenis aset, yaitu aset Dana Jaminan Sosial (DJS) dan aset BPJS. BPJS Kesehatan wajib memisahkan aset DJS dan aset BPJS.
"Aset DJS merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial," tutur Iqbal.
Sementara, aset BPJS adalah aset lembaga atau badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial yang bersumber dari modal awal dari pemerintah, hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial, hasil pengembangan aset BPJS.
Dana operasional yang diambil dari DJS dan/atau sumber lain yang sah, untuk digunakan sebagai biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial, biaya pengadaan barang dan jasa, biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan dan investasi dalam instrumen investasi.
"Penting diperhatikan bahwa dalam menyajikan laporan keuangan, BPJS Kesehatan menampilkan dua jenis laporan keuangan, yaitu laporan keuangan DJS dan laporan keuangan BPJS. Jadi harus diluruskan, yang dimaksud laba itu aset yang mana, aset DJS atau aset BPJS," ujar Iqbal.
Pada 2019, laporan keuangan DJS mencatat aset neto sebesar minus Rp50,99 triliun, menurun sebesar Rp17,04 triliun dari realisasi tahun 2018 sebesar minus Rp33,96 triliun.
Per 31 Desember 2019, DJS mencatat total aset sebesar Rp1,68 triliun, menurun 12,42 persen dari tahun 2018 sebesar Rp1,91 triliun.
Sedangkan untuk BPJS, laporan keuangan tahun 2019 mencatat laba tahun berjalan sebesar Rp369,07 miliar, meningkat Rp426,40 miliar dari realisasi tahun 2018 sebesar minus Rp57,33 miliar.
Peningkatan laba tahun berjalan tersebut terutama ditopang oleh capaian pendapatan investasi yang meningkat Rp306,76 miliar (neto) dari tahun 2018 sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi, dengan yield on investment (YOI) sebesar 7,46 persen meningkat 92,76 persen dari tahun 2018 sebesar 3,87 persen.
Per 31 Desember 2019, BPJS mencatat total aset sebesar Rp13,26 triliun, meningkat 4,50 persen dari tahun 2018 sebesar Rp12,69 triliun.
"Jadi, perlu kami luruskan bahwa aset DJS dan aset BPJS Kesehatan adalah dua hal yang dikelola secara terpisah, sehingga tidak benar jika kenaikan iuran berpengaruh terhadap laba BPJS Kesehatan," tutur Iqbal.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020