Ketua Kaukus Advokat Pro Rakyat (KAPRa) Muhammad Arief Hamdani, SH, C.L.A menyatakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dilakukan Pemerintah Aceh untuk kendaraan bermotor dinilai merugikan masyarakat di daerah ini karena tolok ukur  mekanismenya diduga tidak jelas dan kurang tepat. 

Pasalnya, sejak beberapa hari lalu Pemerintah Aceh mewajibkan setiap kendaraan roda empat di Aceh wajib memang stiker pengguna BBM bersubsidi pada kendaraan masing-masing, agar bisa mengisi BBM bersubsidi di setiap SPBU di Aceh.

“Pemerintah Aceh hanya bermaksud mempermalukan rakyat, mengapa setiap kendaraan roda empat harus dipasangi stiker pengguna bahan bakar bersubsidi,” kata Advokat Muhammad Arief Hamdani bersama Sekretaris KAPRa Aceh, Rahmad Hidayat dalam keterangan tertulis diterima ANTARA di Meulaboh, Jumat.

Menurutnya, kebijakan Pemerintah Aceh yang mewajibkan setiap kendaraan roda empat memasang stiker tersebut dianggap hanya sebagai bentuk untuk mempermalukan masyarakat, karena siapa saja pemilik kendaraan yang bersedia dipasangi stiker pengguna bahan bakar bersubsidi tersebut adalah orang yang tidak mampu. 

“Yang seharusnya malu adalah para pejabat pemerintah yang korupsi uang anggaran yang diperuntukkan untuk rakyat, bukan malah mempertontonkan sebuah kebijakan untuk mempermalukan rakyatnya,” kata Muhammad Arief menegaskan.

Ia menyatakan, kebijakan yang tidak jelas tersebut juga dinilai sangat kontra produktif dengan kondisi ekonomi masyarakat Aceh di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Menurutnya, masyarakat berhak untuk mendapatkan bahan bakar minyak bersubsidi karena masyarakat yang naik kendaraan roda empat juga membayar pajak kendaraan.

“Jadi kenapa harus dibatasi dengan embel-embel stiker,” katanya menuturkan. 

Ia juga mencontohkan, di Malaysia, pemilik kendaraan bermotor yang memiliki kendaraan dengan mesin berkapasitas 1.500 cc ke bawah diperbolehkan mengisi bahan bakar bersubsidi. 

Sedangkan bagi pemilik kendaraan yang memiliki kapasitas mesin di atas 1.600 cc, maka tidak berhak mendapatkan bahan bakar bersubsidi karena sudah masuk kategori mobil mewah dan pasti pemiliknya mampu untuk mengisi bahan bakar non subsidi, katanya.

Ia juga menegaskan, dasar hukum pembatasan bahan bakar bersubsidi baru hanya sebatas Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor: 540/9186 tahun 2020.

“Idealnya, untuk sebuah kebijakan yang sifatnya menyangkut kepentingan masyarakat maka harus dengan Peraturan Gubernur Aceh, akan tetapi sebuah kebijakan yang diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat Pemerintah Aceh, seharusnya lebih lebih peka dengan  kondisi masyarakat hari ini,” kata dia.

Sedangkan landasan yuridis, filofis, sosiologis sebaiknya menjadi acuan pemerintah dalam setiap kebijakan sehingga tidak asal. 

“Secara yuridis pemerintah daerah sah-sah saja membuat batasan dengan kebijakan tersebut  akan tetapi secara filosofis dan sosiologis bagaimana kondisi sosial masyarakat kita di tengah pandemi corona sekarang, seharusnya pejabat yang menangani masalah ini punya rasa dan peka terhadap kegelisahan rakyatnya bukan malah mempermalukannya,” tuturnya.

Pewarta: Teuku Dedi Iskandar

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020