5 (Lima) Film Bertema Budaya :
1. Film “Dalae” yang disutradarai oleh Arziqi Mahlil dan Munzir dari Banda Aceh, menceritakan Seorang pemuda desa yang terus mempertahankan Dalail sedangkan pemuda kota yang juga melakukan Dalail tetapi tidak banyak yang menghadiri Dalail di kota. Apa penyebab pemuda kota tidak begitu peduli kepada budaya Dalail…?
2. Film “Dedesen” yang disutradarai oleh Rahmi Rizqi dan Nova Senjaya dari Aceh Tengah, menceritakan tentang Keluarga almarhum bapak Nurlis tetap melestarikan secara turun temurun cara penangkapan ikan depik menggunakan dedesen, mereka menyakini bahwa dedesen bukanlah penyebab utama dibalik menurunnya populasi ikan depik dan penyebab rusaknya ekosistem danau Laut Tawar
3. Film “Inoeng Silat” yang disutradarai oleh Mifta Yuslukhalbi dan Nadia Susera dari Pidie, menceritakan tentang Seorang gadis Pidie yang bernama Sri Noviani (30) yang menekuni silat ditengah banyaknya masyarakat yang menganggap Silat itu tabu bagi wanita dan dia ingin mengubah persepsi masyarakat tentang hal tersebut.
4. Film “Pelangi di Tepian Samudera” yang disutradarai oleh Mukhlas Syah Walad dan Fuad Ridzqi dari Pulau Banyak, Aceh Singkil, menceritakan tentang Perjuangan seorang Mukim ditengah pergulatan ekonomi, beliau menyakini bahwa kenduri laut menjadi simbol pemersatu masyarakat dalam sebuah kearifan lokal.
5. Film “Teungku Rangkang” yang disutradarai oleh Muhajir dan M. Akbar Rafsanjani menceritakan tentang Mempertahankan metode Bagdadiyah (metode ejaan Aleh Ba) yang sudah lama diajarkan secara turun-temurun di Aceh yang pada umumnya sekarang diperkotaan semua telah menggunakan metode Iqra.
5 (Lima) Film Bertema Lingkungan :
1. Film “Hilangnya Rawa Tripa” yang disutradarai oleh Abdullah Syatari dari Nagan Raya menceritakan : Sekelompok masyarakat yaang dulunya bergantung hidup pada Rawa Tripa, namun kini masyarakat sudah kehilangan mata pencahariannya di sebabkan pembakaran hutan Rawa Tripa yang di lakukan oleh oknum-oknum tertentu. Lalu timbul inisiatif masyarakat untuk merebut kembali lahan-lahan yang telah di bakar untuk di kelola kembali oleh masyarakat dengan kata lain masyarakat berupaya untuk menanam kembali pohon yang telah terbakar.
2. Film “Demi 5 Liter Air “ yang disutradarai oleh Iwan Bahagia menceritakan tentang seorang bapak yang bernama Mahyuddin (72), beliau seorang seorang petani yang menanam pohon pinus dilahan 12 Ha, berbebekal pesan dari guru SLTP nya dahulu, bahwa satu batang pinus menyimpan 5 liter air. Sehingga Mahyuddin melakukan penanaman ribuan batang pinus tersebut, sejak 14 tahun yang lalu.
3. Film “Belantara Leuser (Bukan) Tanah Haram” yang disutradari oleh Indra Wahyudi dari Kutacane, Aceh Tenggara menceritakan tentang sekelompok Masyarakat Desa Pulo Piku yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dihadapkan pada dilema antara pemenuhan kebutuhan perekonomian melalui perkebunan dengan menjaga hutan TNGL. Sempitnya lahan APL (Area Penggunaan Lain) di desa tersebut memaksa mereka untuk membuka lahan baru hingga akhirnya merambah masuk kedalam kawasan TNGL.
4. Film “Dilarang Mati di Tanah ini” yang disutradarai oleh Nuzul Fajri dari Nagan Raya menceritakan tentang masyarakat di Kuala Seumayam yang terjepit pemukimannya disebabkan oleh hadirnya HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan sawit yang menghilangkan hak atas tanah kelahiran masyarakat setempat. Semakin lama penduduk terus bertambah hingga membuat pemukiman masyarakat terjepit dengan HGU Perusahaan tersebut, sampai-sampai tanah kuburanpun mereka tidak punya.
5. Film “Ta jaga Uteun, Ta Peulindong Ie (Menjaga hutan berarti melindungi air)” yang disutradarai oleh Maria Ulva menceritakan tentang Perjuangan seorang mukim di daerah Mane, Pidie di bawah Qanun (peraturan hutan Mane) yang memperjuangkan agar tidak terjadi lagi pembalakan hutan di Mane. Peraturan yang lahir dari kesepakatan semua lapisan masyarakat Mane setelah mendapatkan pemahaman tentang manfaat hutan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014
1. Film “Dalae” yang disutradarai oleh Arziqi Mahlil dan Munzir dari Banda Aceh, menceritakan Seorang pemuda desa yang terus mempertahankan Dalail sedangkan pemuda kota yang juga melakukan Dalail tetapi tidak banyak yang menghadiri Dalail di kota. Apa penyebab pemuda kota tidak begitu peduli kepada budaya Dalail…?
2. Film “Dedesen” yang disutradarai oleh Rahmi Rizqi dan Nova Senjaya dari Aceh Tengah, menceritakan tentang Keluarga almarhum bapak Nurlis tetap melestarikan secara turun temurun cara penangkapan ikan depik menggunakan dedesen, mereka menyakini bahwa dedesen bukanlah penyebab utama dibalik menurunnya populasi ikan depik dan penyebab rusaknya ekosistem danau Laut Tawar
3. Film “Inoeng Silat” yang disutradarai oleh Mifta Yuslukhalbi dan Nadia Susera dari Pidie, menceritakan tentang Seorang gadis Pidie yang bernama Sri Noviani (30) yang menekuni silat ditengah banyaknya masyarakat yang menganggap Silat itu tabu bagi wanita dan dia ingin mengubah persepsi masyarakat tentang hal tersebut.
4. Film “Pelangi di Tepian Samudera” yang disutradarai oleh Mukhlas Syah Walad dan Fuad Ridzqi dari Pulau Banyak, Aceh Singkil, menceritakan tentang Perjuangan seorang Mukim ditengah pergulatan ekonomi, beliau menyakini bahwa kenduri laut menjadi simbol pemersatu masyarakat dalam sebuah kearifan lokal.
5. Film “Teungku Rangkang” yang disutradarai oleh Muhajir dan M. Akbar Rafsanjani menceritakan tentang Mempertahankan metode Bagdadiyah (metode ejaan Aleh Ba) yang sudah lama diajarkan secara turun-temurun di Aceh yang pada umumnya sekarang diperkotaan semua telah menggunakan metode Iqra.
5 (Lima) Film Bertema Lingkungan :
1. Film “Hilangnya Rawa Tripa” yang disutradarai oleh Abdullah Syatari dari Nagan Raya menceritakan : Sekelompok masyarakat yaang dulunya bergantung hidup pada Rawa Tripa, namun kini masyarakat sudah kehilangan mata pencahariannya di sebabkan pembakaran hutan Rawa Tripa yang di lakukan oleh oknum-oknum tertentu. Lalu timbul inisiatif masyarakat untuk merebut kembali lahan-lahan yang telah di bakar untuk di kelola kembali oleh masyarakat dengan kata lain masyarakat berupaya untuk menanam kembali pohon yang telah terbakar.
2. Film “Demi 5 Liter Air “ yang disutradarai oleh Iwan Bahagia menceritakan tentang seorang bapak yang bernama Mahyuddin (72), beliau seorang seorang petani yang menanam pohon pinus dilahan 12 Ha, berbebekal pesan dari guru SLTP nya dahulu, bahwa satu batang pinus menyimpan 5 liter air. Sehingga Mahyuddin melakukan penanaman ribuan batang pinus tersebut, sejak 14 tahun yang lalu.
3. Film “Belantara Leuser (Bukan) Tanah Haram” yang disutradari oleh Indra Wahyudi dari Kutacane, Aceh Tenggara menceritakan tentang sekelompok Masyarakat Desa Pulo Piku yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dihadapkan pada dilema antara pemenuhan kebutuhan perekonomian melalui perkebunan dengan menjaga hutan TNGL. Sempitnya lahan APL (Area Penggunaan Lain) di desa tersebut memaksa mereka untuk membuka lahan baru hingga akhirnya merambah masuk kedalam kawasan TNGL.
4. Film “Dilarang Mati di Tanah ini” yang disutradarai oleh Nuzul Fajri dari Nagan Raya menceritakan tentang masyarakat di Kuala Seumayam yang terjepit pemukimannya disebabkan oleh hadirnya HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan sawit yang menghilangkan hak atas tanah kelahiran masyarakat setempat. Semakin lama penduduk terus bertambah hingga membuat pemukiman masyarakat terjepit dengan HGU Perusahaan tersebut, sampai-sampai tanah kuburanpun mereka tidak punya.
5. Film “Ta jaga Uteun, Ta Peulindong Ie (Menjaga hutan berarti melindungi air)” yang disutradarai oleh Maria Ulva menceritakan tentang Perjuangan seorang mukim di daerah Mane, Pidie di bawah Qanun (peraturan hutan Mane) yang memperjuangkan agar tidak terjadi lagi pembalakan hutan di Mane. Peraturan yang lahir dari kesepakatan semua lapisan masyarakat Mane setelah mendapatkan pemahaman tentang manfaat hutan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014