Pemerintah tetap berfokus pada ketahanan energi yang berkeadilan kepada masyarakat di tengah pandemi cOVID-19 yang belum mereda.
“Pandemi COVID-19 mengakibatkan sejumlah infrastruktur mengalami penundaan salah satunya adalah pembangunan Ibu Kota Negara,“ seperti dikutip dari Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma'ruf: Bangkit Untuk Indonesia Maju, di Jakarta, Selasa.
Pembangunan infrastruktur lain tetap berlanjut seperti untuk ketahanan air, kedaulatan pangan dan ketahanan energi. pemerintah melakukan refocusing dan realokasi anggaran dengan prioritas pada penanganan dampak COVID-19.
Kebijakan energi berkeadilan tetap menjadi perhatian utama untuk keadilan masyarakat Indonesia. Untuk mencapai visi ketahanan energi, pemerintah memiliki cara agar investasi pada sektor ini tetap menggairahkan.
Tingkat risiko investasi minyak dan gas bumi (migas) yang tinggi menjadi tantangan tersendiri di tengah pola perubahan konsumsi energi yang lebih mengedepankan energi bersih. Apalagi pemerintah punya visi dalam mewujudkan kemandirian energi.
Pemerintah meyakini migas di Indonesia masih menjadi barang penting dalam beberapa tahun ke depan. Namun, hal ini semestinya diimbangi dengan kemampuan memproduksi bila ingin menekan impor bahan bakar fosil tersebut.
Indonesia sendiri memiliki 128 cekungan (migas), yang masih ada sebanyak 68 cekungan lagi belum dieksplorasi untuk mengurangi ketergantungan impor ke depan. Selain itu, optimalisasi kilang juga menjadi jalan lain dalam mengatasi keterbatasan pengelolaan migas. Kementerian ESDM menargetkan proyek pengembangan kilang atau Refinery Development Masterplan Program (RDMP) di Dumai, Balikpapan, Balongan dan Cilacap dan kilang baru atau Grass Root Refenery (GRR) di Bontang dan Tuban akan tuntas pada tahun 2027.
Melihat kondisi perekonomian dan kebutuhan energi, pemerintah pun melakukan penyelarasan kebijakan agar iklim investasi migas tetap menarik bagi para investor. Salah satunya melalui kebebasan memilih skema kontrak kerja sama (Production Sharing Contract/PSC) antara PSC bagi hasil kotor (Gross Split) atau PSC pengembalian biaya operasi (Cost Recovery).
Keputusan ini diambil setelah menerima masukan secara langsung dari para kontraktor migas. Pemerintah menilai kedua skema kontrak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut para kontraktor migas, gross split dinilai lebih tepat bagi lapangan eksisting lantaran mempermudah taksiran biaya. Gross split juga mampu menyederhanakan proses bisnis dibandingkan cost recovery.
Sementara untuk lapangan baru, investor beralasan risiko yang harus ditanggung bila menggunakan skema kontrak cost recovery lebih kecil.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020