Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan pihaknya minta teknologi EOR dipakai oleh Pertamina, lalu migas nonkonvensional juga harus dihasilkan dari berbagai lapangan migas.
"Sekarang ini sudah harus dimulai karena dua hal ini, baik EOR maupun MNK, butuh waktu yang cukup panjang," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa.
Teknologi EOR merupakan metode menginjeksikan air ke dalam pori-pori reservoir di bawah permukaan agar produksi migas meningkat.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) akan mendorong eksplorasi dan EOR pada 13 wilayah kerja migas yang akan berakhir kontraknya pada tahun ini.
Beberapa negara tertarik untuk berinvestasi pada teknologi EOR di Indonesia, di antaranya Rusia dan Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Geologi Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi migas nonkonvensional yang jauh lebih banyak dan beragam ketimbang migas konvensional.
Namun perkembangan teknologi dan biaya produksi menjadi tantangan untuk mendapatkan migas nonkonvensional yang berkualitas tinggi. Tantangan teknologi dan biaya produksi itu dipengaruhi oleh karakter dari migas nonkonvensional yang memiliki permeabilitas rendah dan viskositas yang tinggi.
Sumber minyak nonkonvensional salah satunya adalah heavy oil yang didefinisikan sebagai minyak yang mempunyai nilai API kurang dari 22 persen dan nilai viskositas yang sangat rendah sehingga sangat susah untuk diproduksi, dan dibutuhkan teknologi tinggi seperti steam injector.
Selanjutnya oil sands adalah hasil percampuran antara pasir, bitumen, lempung dan air. Bitumen adalah minyak yang memiliki densitas dan viskositas tinggi serta telah mengalami biodegradasi.
Sumber minyak nonkonvensional lainnya adalah shale oil berupa kandungan organik yang masih tersimpan di source rock dan belum matang disebut sebagai kerogen, sehingga perlu dipanaskan untuk mendapatkan minyak.
SKK Migas telah memasukkan shale oil ke dalam evaluasi migas nonkonvensional sebagai cadangan yang prospektif untuk dikembangkan di masa depan. Salah satu potensi migas non konvensional berada di wilayah Central Sumatra Basin.
Selain mendorong EOR dan migas non konvensional, lanjut Tutuka, pemerintah akan mengaktifkan kembali sumur-sumur migas di lapangan yang idle atau tua, termasuk menawarkan bagi hasil yang lebih menarik dalam penawaran wilayah kerja migas tahun 2021 untuk blok yang low risk dan high risk.
Sejalan dengan perubahan iklim, pemerintah juga mendukung pemanfaatan teknologi penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon (CCS/CCUS).
Tutuka menyampaikan bahwa regulasi untuk CCS/CCUS sedang disusun dengan melibatkan berbagai pihak yang diharapkan rampung tahun ini.
"Kami meningkatkan produksi migas, tetapi juga memperhatikan climate change. Untuk hulu bisa menggunakan CCS/CCUS," jelasnya.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa untuk mendukung investasi hulu migas pemerintah menjalin komunikasi yang baik dengan KKKS, Indonesian Petroleum Association (IPA) dan pihak terkait lainnya.