Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Yangon pada Sabtu untuk mengecam kudeta oleh militer serta menuntut pembebasan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi.
Aksi itu merupakan demonstrasi pertama yang berlangsung di jalanan sejak para jenderal merebut kekuasaan pada Senin (1/2).
"Diktator militer, gagal, gagal; Demokrasi, menang, menang," teriak para pengunjuk rasa.
Mereka mendesak militer membebaskan Suu Kyi sang peraih Nobel Perdamaian beserta para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinannya, yang telah ditahan sejak kudeta pada Senin.
"Melawan kediktatoran militer", demikian tulisan di spanduk yang diusung oleh para peserta unjuk rasa. Banyak di antara mereka yang berpakaian warna merah khas NLD. Beberapa orang juga membawa bendera-bendera merah.
"Kami kehilangan kebebasan, keadilan, dan sangat membutuhkan demokrasi," tulis seorang pengguna Twitter. "Tolong dengarkan suara Myanmar."
Demonstrasi pada Sabtu merupakan tanda pertama kerusuhan jalanan di Myanmar, negara yang dalam sejarahnya diwarnai dengan serangkaian tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa.
Demonstrasi anti kudeta pada Sabtu juga berlangsung di Melbourne, Australia, serta Taipei, ibu kota Taiwan.
Sebelumnya, gerakan pembangkangan sipil telah berkembang di Myanmar sepanjang minggu ini.
Gerakan itu ditandai dengan aksi mogok kerja, antara lain oleh para dokter dan guru. Juga setiap malam, selalu ada orang-orang yang memukul-mukul panci dan wajan untuk menunjukkan kemarahan.
Selain sekitar 150 penangkapan yang dilaporkan oleh kelompok hak asasi manusia pascakudeta Senin, media lokal melaporkan sekitar 30 orang telah ditahan karena protes yang berisik.
Junta Myanmar telah mencoba membungkam perbedaan pendapat dengan memblokir sementara Facebook, juga Twitter dan Instagram pada Sabtu dalam menghadapi gerakan protes yang berkembang.
Pihak berwenang memerintahkan penyedia layanan internet untuk tidak memberikan akses bagi Twitter dan Instagram "sampai pemberitahuan lebih lanjut", kata perusahaan telepon seluler Norwegia Telenor Asa.
Permintaan untuk layanan VPN telah melonjak di Myanmar. Layanan tersebut memungkinkan segelintir orang masih bisa mengakses media sosial yang dilarang junta.
Namun, para pengguna VPN melaporkan gangguan pada layanan data seluler, yang diandalkan sebagian besar orang di negara berpenduduk 53 juta itu untuk mendapatkan berita dan berkomunikasi.
Sejak kudeta, Suu Kyi tidak terlihat di depan umum.
Pengacara Suu Kyi dan Presiden Win Myint, yang digulingkan, menyebutkan kedua kliennya itu ditahan di rumah mereka dan mengatakan ia tidak bisa menemui Suu Kyi dan Win Myint karena mereka masih diinterogasi.
Suu Kyi menghadapi dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal, sementara Win Myint dituduh melanggar pembatasan virus corona.
"Tentu saja, kami menginginkan pembebasan tanpa syarat karena mereka tidak melanggar hukum," kata Khin Maung Zaw, pengacara veteran yang mewakili keduanya.
Suu Kyi, 75 tahun, pada masa lalu menghabiskan sekitar 15 tahun dalam tahanan rumah selama perjuangan melawan junta militer sebelum transisi demokrasi, yang bermasalah, dimulai pada 2011.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
Aksi itu merupakan demonstrasi pertama yang berlangsung di jalanan sejak para jenderal merebut kekuasaan pada Senin (1/2).
"Diktator militer, gagal, gagal; Demokrasi, menang, menang," teriak para pengunjuk rasa.
Mereka mendesak militer membebaskan Suu Kyi sang peraih Nobel Perdamaian beserta para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinannya, yang telah ditahan sejak kudeta pada Senin.
"Melawan kediktatoran militer", demikian tulisan di spanduk yang diusung oleh para peserta unjuk rasa. Banyak di antara mereka yang berpakaian warna merah khas NLD. Beberapa orang juga membawa bendera-bendera merah.
"Kami kehilangan kebebasan, keadilan, dan sangat membutuhkan demokrasi," tulis seorang pengguna Twitter. "Tolong dengarkan suara Myanmar."
Demonstrasi pada Sabtu merupakan tanda pertama kerusuhan jalanan di Myanmar, negara yang dalam sejarahnya diwarnai dengan serangkaian tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa.
Demonstrasi anti kudeta pada Sabtu juga berlangsung di Melbourne, Australia, serta Taipei, ibu kota Taiwan.
Sebelumnya, gerakan pembangkangan sipil telah berkembang di Myanmar sepanjang minggu ini.
Gerakan itu ditandai dengan aksi mogok kerja, antara lain oleh para dokter dan guru. Juga setiap malam, selalu ada orang-orang yang memukul-mukul panci dan wajan untuk menunjukkan kemarahan.
Selain sekitar 150 penangkapan yang dilaporkan oleh kelompok hak asasi manusia pascakudeta Senin, media lokal melaporkan sekitar 30 orang telah ditahan karena protes yang berisik.
Junta Myanmar telah mencoba membungkam perbedaan pendapat dengan memblokir sementara Facebook, juga Twitter dan Instagram pada Sabtu dalam menghadapi gerakan protes yang berkembang.
Pihak berwenang memerintahkan penyedia layanan internet untuk tidak memberikan akses bagi Twitter dan Instagram "sampai pemberitahuan lebih lanjut", kata perusahaan telepon seluler Norwegia Telenor Asa.
Permintaan untuk layanan VPN telah melonjak di Myanmar. Layanan tersebut memungkinkan segelintir orang masih bisa mengakses media sosial yang dilarang junta.
Namun, para pengguna VPN melaporkan gangguan pada layanan data seluler, yang diandalkan sebagian besar orang di negara berpenduduk 53 juta itu untuk mendapatkan berita dan berkomunikasi.
Sejak kudeta, Suu Kyi tidak terlihat di depan umum.
Pengacara Suu Kyi dan Presiden Win Myint, yang digulingkan, menyebutkan kedua kliennya itu ditahan di rumah mereka dan mengatakan ia tidak bisa menemui Suu Kyi dan Win Myint karena mereka masih diinterogasi.
Suu Kyi menghadapi dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal, sementara Win Myint dituduh melanggar pembatasan virus corona.
"Tentu saja, kami menginginkan pembebasan tanpa syarat karena mereka tidak melanggar hukum," kata Khin Maung Zaw, pengacara veteran yang mewakili keduanya.
Suu Kyi, 75 tahun, pada masa lalu menghabiskan sekitar 15 tahun dalam tahanan rumah selama perjuangan melawan junta militer sebelum transisi demokrasi, yang bermasalah, dimulai pada 2011.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021