Tim Pusat Preservasi Naskah Kuno dan Alih Media Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI mengonservasi 150 manuskrip Aceh milik kolektor Tarmizi Abdul Hamid untuk pemanfaatan terhadap keilmuan nusantara.

"Tahun ini kami diamanahkan mengonservasi di rumah manuskrip Aceh," kata Leni Sudiarti, tim Pustakawan Ahli dan Preservasi Naskah Kuno Perpusnas RI, di Banda Aceh, Kamis.

Leni mengatakan, Perpusnas memiliki kewajiban melestarikan manuskrip yang ada di nusantara, khususnya manuskrip asli. Apalagi, banyak manuskrip di nusantara memiliki keasliannya, terutama Aceh. 

Naskah atau manuskrip nusantara ini, kata Leni, akan diperbaiki seperti fisiknya, membersihkan lembaran naskah dengan penyemprotan bahan anti jamur dan noda hingga pengeringan. Kemudian, juga menyambungkan naskah yang mengalami kerusakan parah.

"Lalu, dilanjutkan ke proses penjilidan serta dimasukkan ke cover box sesuai ukuran naskah itu sendiri. Di mana cover box telah diberi sampul dengan menggunakan berbagai bahan khusus yang semua ini didatangkan dari luar negeri," ujarnya.

Berdasarkan kerusakan yang ditemukan pada naskah kuno milik kolektor Tarmizi A Hamid, kata Leli, banyak robek atau berlubang-lubang. Hal itu karena sudah usang ditelan usia hingga ratusan tahun serta juga disebabkan oleh jamur.

"Dari kerusakan yang kami lihat, kami putuskan untuk memperbaiki fisik, ada ditambal, dijilid kembali sampai dibuatkan kotak penyimpanan," kata Leni Sudiarti.

Tarmizi Abdul Hamid, pemilik koleksi, menjelaskan, pelestarian manuskrip itu penting agar buah karya guratan pena ulama lintas zaman ini tetap utuh sepanjang masa. 

"Walau leluhur Aceh sudah dipanggil oleh Allah 400 tahun yang silam, namun karya monumental dan masterpiece mereka tetap melambung tinggi seantero nusantara bahkan dunia," kata Tarmizi.

Tarmizi menyampaikan, nama dan karya intelektual islam Aceh itu sampai hari ini selalu menjadi referensi keilmuan yang telah digoreskan pada kertas-kertas yang dipesan khusus dari tanah eropa pada era puncak gilang-gemilang Aceh Darussalam pada eranya.

"Begitulah alasan saya sendiri memberi motto manuskrip Aceh ini sebagai pelita yang tidak pernah padam," ujar pria yang akrab disapa Cek Midi itu.

Cek Midi menuturkan, pengumpulan manuskrip Aceh sudah dilakoninya sejak tahun 1995 namun pada tahun 2004 beberapa manuskrip hilang karena bencana alam yakni tsunami. 

Namun, bencana tersebut tak menyurutkan niatnya untuk mengumpulkan dan merawat kembali naskah kuno Aceh hingga berlangsung saat ini. Manuskrip yang dimilikinya ada yang ditempatkan di pameran dunia melayu Islam termasuk Brunei Darussalam. 

"Saya banyak menemukan manuskrip atau naskah kuno itu berasal dari Aceh dan banyak ditulis dari ulama-ulama kita terdahulu," katanya.

Kebanyakan manuskrip yang didapatkan Cek Midi itu berasal dari Aceh Besar sebagai tuan rumah dari kerajaan Aceh Darussalam. Orang terdahulu banyak menyimpan manuskrip di rumah dalam keadaan yang tidak terjaga dan terbengkalai. 

"Maka kita kumpulkan dan bersihkan kembali manuskrip ini agar menjadi ilmu pengetahuan bagi cucu kita nantinya," demikian Cek Midi.
 

Pewarta: Rahmat Fajri

Editor : M.Haris Setiady Agus


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021