Nurkhalis M. Kasim, warga desa Lamdingin kecamatan Kota Alam di Banda Aceh tidak pernah menyangka bahwa nyawanya dua kali lolos dari maut.

Sepuluh tahun yang lalu dia berhasil selamat dari gempa bumi disusul tsunami yang menyapu Kota Banda Aceh pada 26 Desember dan pada 2009 nyawanya kembali selamat dari kecelakaan motor yang menyebabkan kaki kanannya diamputasi.

Berkisah mengenai pengalamannya menjadi penyintas bencana tsunami, Khalis, demikian ia biasa dipanggil, bertutur bahwa gelombang laut yang kencang dan tinggi yang terjadi akibat gempa tektonik di Samudra Hindia itu telah memisahkannya dari orang-orang yang dicintainya, ayah, ibu, kakak serta beberapa kerabat lainnya.

Rumah orangtuanya berjarak 1,2 km dari bibir pantai dan pada Minggu pagi yang cerah itu ia bersama ayahnya sedang bekerja menimbun lahan di belakang rumah untuk dibangun menjadi tempat praktik ayahnya, seorang tabib tradisional.

Khalis bersama tujuh anggota keluarga di rumah itu berlari menyelamatkan diri, ayahnya meminta ia berlari kencang di depan dan melarangnya untuk menengok ke belakang sampai merasa pasti sudah berada di tempat yang aman.

Ia berhenti dan menengok ke belakang ketika tiba di Simpang Surabaya kota Banda Aceh tetapi tidak menemukan seorangpun anggota keluarganya.

Beberapa saat kemudian ia bertemu seorang abangnya ya bercerita bahwa ibu mereka terlepas dari gandengan dan terbawa arus air, sedangkan kakak perempuannya yang saat itu sedang demam serta bertubuh tambun, berhenti di tengah jalan karena merasa tidak sanggup lagi berlari.

"Ayah saya tidak tega sehingga ikut menemani kakak," kata Khalis, pemuda yang kini mengenakan kaki palsu. Pencarian terhadap anggota keluarga intinya tidak banyak membawa hasil dan ia serta abangnya memutuskan berhenti mencari setelah tiga hari.

"Memang sedih tetapi saya tidak berlarut-larut meratap. Kebetulan Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) tempat saya bersekolah sudah dibuka kembali setelah sebulan, jadi saya bisa melanjutkan sekolah," ujar anak bungsu yang ketika itu berada di kelas dua MAN.

Khalis memanfaatkan beasiswa dan bantuan untuk menyelesaikan pendidikan hingga menjadi sarjana Komunikasi dari Universitas Islam Negeri Banda Aceh dan menyelesaikan pendidikan strata dua di fakultas Sosiologi Universitas Airlangga.

Ia mengaku mempunai semangat hidup yang membuatnya tidak terpuruk dalam kesedihan, selain juga keinginan untuk berbagi dengan orang lain, sehingga sambil kuliah ia sudah bisa mengajar mengaji, menjadi guru bagi anak-anak di Taman Pendidikan Anak (TPA) dan sekarang mengajar di SMA serta menjadi asisten dosen di UIN ar-Raniry Aceh.

Srikandi-srikandi kemanusiaan

Bila Khalis bisa lolos dari maut yang mengejarnya dari dekat, Leila, gadis asal Aceh Utara yang bertempat tinggal di Banda Aceh malah mengaku benar-benar selamat dari musibah tersebut tanpa melihat dinding air laut yang mencakari kota.

Leila yang saat itu baru merintis usaha catering dan kedai makan bersama dua orang rekannya, pagi-pagi berniat belanja ikan segar untuk membuat mpek-mpek.

"Saya berboncengan motor, entah kenapa pada saat seharusnya berbelok ke arah TPI untuk membeli ikan, kami memutuskan pergi ke tempat lain dan saat itu banyak orang berteriak agar menjauh dari laut karena air laut naik," kata Leila. Sambil kebingungan ia pun berbalik arah dan mengikuti arus pengungsi.

"Ah apakah mungkin terjadi tsunami," saya bertanya-tanya karena saya pernah mendengar tentang tsunami.

Di tempat pengungsian Leila menunggu sambil cemas, karena salah seorang rekannya masih berada di ruko tempat kedai mereka untuk memasak. Ia mendengar dari beberapa pengungsi yang datang belakangan bahwa dinding air yang lebih tinggi dari pohon kelapa telah menghancurkan kota.

Teriakan mengenai air laut yang naik beberapa kali dilakukan orang walau kenyataannya hanya terjadi dua kali, karena ada orang-orang yang menurut Leila dan Khalis sengaja mengembuskan isu agar mereka leluasa menjarah tempat-tempat yang ditinggalkan orang.

"Ketika kembali ke kota saya melihat kerusakan parah, tumpukan sampah, mobil dan banyak mayat. Baru saya sadar betapa dahsyat bencana yang baru berlalu. Saya lega ketika kembali ke ruko ternyata masih utuh dan di pintu tertempel catatan bahwa teman saya selamat."

Leila yang mengaku bersyukur bisa terhindar dari bencana itu dan tidak banyak mengalami penderitaan secara pribadi, sejak itu tergerak untuk menjadi relawan membantu orang-orang di Aceh.

Erni, seorang pegiat kemanusiaan dari lembaga Relawan Perempuan Untuk Aceh (RPUK) yang berkarya sejak semasa konflik melanda Aceh, kehilangan kakak dan adik dalam bencana tsunami.

Saat musibah terjadi dia sedang dalam perjalanan pulang dari kota Fajar di Aceh Selatan dan terhenti menjelang masuk Meulaboh.

"Saat itu kami tidak mengetahui apa yang terjadi dan komunikasi terputus. Pada awalnya saya sempat ikut pengungsi berjalan kaki berkilo-kilo karena tidak ada kendaraan yang bisa membawa kami pulang ke Banda Aceh," kenangnya.

Di tengah kelaparan, kehausan, buta informasi, Erni sempat terus menenteng dua kilogram jengkol, oleh-oleh yang dipesan seorang rekannya.

Ia berhasil menjangkau Banda Aceh beberapa hari kemudian dengan cara berbalik arah, sementara dalam perjalanan dan setelah komunikasi pulih, ia banyak menerima sms yang menanyakan kabar keselamatannya.

"Saat itu saya semakin sadar bahwa bencananya sangat besar. Setiba di Banda Aceh, kampong saya telah hilang," kata perempuan yang dulu tinggal di desa Lampaseh kecamatan Meuraxa.

Setelah tsunami, kegiatan RPUK menjadi vakum dan masing-masing orang sibuk mengurus diri sendiri, tetapi keadaan tersebut membuat Erni mengaku merasa "tidak nyaman".

"Saya mendesak ketua untuk memulai beraktivitas khususnya membantu kaum perempuan, kesibukan itu bisa menjadi pelipur lara karena membuat kami merasa lebih berguna," kata Erni.

Ia menyadari banyak bantuan yang mengalir ke Aceh dan banyak orang yang memerlukannya.

Bencana tersebut selain menghancurkan kota dan kehidupan, menurut ketiga penyintas itu juga membawa "hikmah", antara lain Aceh menjadi lebih aman, terjadi kesepakatan damai antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Kini kami lebih bebas bepergian dengan rasa aman, dan berharap kehidupan yang lebih baik lagi," kata Khalis yang juga berharap agar lembaga donor tidak memanjakan orang Aceh dengan bantuan mereka.

Pewarta: Oleh Maria D. Andriana

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014