Langsa (ANTARA Aceh) - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bening, Sukri Asma menyatakan gugatan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) kepada Gubernur dan DPR Aceh atas Qanun (peraturan daerah) tentang Bendera Aceh adalah tindakan inkonstitusional.
"Itu perbuatan inkonstitusional. Kita semua tahu bahwa Pemerintah Pusat belum menyetujui qanun itu untuk dilaksanakan. Jadi apa yang dilakukan YARA adalah mencari sensasi popularitas," kata Sukri Asma di Langsa, Rabu.
Ia menyatakan, sejauh ini qanun yang memuat tentang penjelasan bendera bulan bintang sebagai bendera daerah Aceh belum disetujui oleh Pemerintah Pusat, kendati pihak legislatif di provinsi paling barat nusantara itu telah mensahkannya.
Menurut Sukri, secara teknis berkas gugatan yang diserahkan YARA ke Pengadilan Negeri Banda Aceh dipastikan akan ditolak.
Diumpakannya, YARA saat ini memaksa seorang bayi untuk berjalan, padahal janinnya masih dalam kandungan. "Ini lucu, janin masih di kandungan kok dipaksa berjalan," ujar Sukri.
Dalam kacamata Sukri, Pemerintah Pusat pasti tidak akan mengizinkan bendera merah putih bersanding dengan bendera lain, karena dalam satu negara tetap memiliki satu simbol bendera pemersatu.
Walau, lanjut dia, terkait bendera daerah itu ada tercantum dalam nota kesepaahaman damai antara Pemerintah RI dengan GAM, akan tetapi, bila bertabrakan dengan kemasalahatan umum terlebih keutuhan negara pasti akan ditolak.
"Bila bertabrakan dengan keutuhan negara, ya wajib ditolak," tegas Sukri.
Dia mengilustrasikan, terdapat pasangan suami isteri yang kerap bertengkar sehingga mereka berpisah. Kemudian, keduanya sepakat berdamai dan rujuk kembali dengan berbagai persyaratan yang tidak bertentangan dengan syariat agama dan norma di masyarakat.
Tapi, sambung dia, bila bertentangan tentu tidak bisa. "Isteri mau rujuk dengan suaminya dengan syarat boleh membawa laki-laki lain ke ranjang, walau suaminya rela namun ini kan bertentangan dengan syariat," urai Sukri.
"Tidak begitu penting soal bendera. Itu hanya kepentingan politik segelintir orang saja. Rakyat butuh kesejahteraan dan peningkatan ekonomi. Ini paling utama," katanya.
Sebelumnya, YARA menggugat Gubernur dan DPR Aceh ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Selasa (12/4), karena hingga kini tidak mengibarkan bendera Aceh, padahal sudah disahkan dalam qanun.
Saat mendaftarkan gugatan, tim penggugat YARA juga menyerahkan bendera Aceh yang sama persis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta Qanun Nomor 3 Tahun 2013 yang ditandatangani Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Ketua YARA Safaruddin mengatakan, pihaknya menggugat karena hingga kini Gubernur Aceh dan DPR Aceh tidak mengibarkan bendera Aceh.
"Kami menggugat agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memutuskan dan memerintahkan Gubernur Aceh dan DPR Aceh mengibarkan bendera Aceh," kata Safaruddin.
Menurut Safaruddin, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh sudah menghabiskan banyak uang untuk membuat qanun bendera Aceh. Uang itu berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat.
Selaku warga negara, ungkap Safaruddin, wajar menggugat pimpinan daerahnya yang tidak menjalankan perintah Qanun Nomor 3 Tahun 2013. Perintah itu jelas mengibarkan bendera Aceh.
"Itu perbuatan inkonstitusional. Kita semua tahu bahwa Pemerintah Pusat belum menyetujui qanun itu untuk dilaksanakan. Jadi apa yang dilakukan YARA adalah mencari sensasi popularitas," kata Sukri Asma di Langsa, Rabu.
Ia menyatakan, sejauh ini qanun yang memuat tentang penjelasan bendera bulan bintang sebagai bendera daerah Aceh belum disetujui oleh Pemerintah Pusat, kendati pihak legislatif di provinsi paling barat nusantara itu telah mensahkannya.
Menurut Sukri, secara teknis berkas gugatan yang diserahkan YARA ke Pengadilan Negeri Banda Aceh dipastikan akan ditolak.
Diumpakannya, YARA saat ini memaksa seorang bayi untuk berjalan, padahal janinnya masih dalam kandungan. "Ini lucu, janin masih di kandungan kok dipaksa berjalan," ujar Sukri.
Dalam kacamata Sukri, Pemerintah Pusat pasti tidak akan mengizinkan bendera merah putih bersanding dengan bendera lain, karena dalam satu negara tetap memiliki satu simbol bendera pemersatu.
Walau, lanjut dia, terkait bendera daerah itu ada tercantum dalam nota kesepaahaman damai antara Pemerintah RI dengan GAM, akan tetapi, bila bertabrakan dengan kemasalahatan umum terlebih keutuhan negara pasti akan ditolak.
"Bila bertabrakan dengan keutuhan negara, ya wajib ditolak," tegas Sukri.
Dia mengilustrasikan, terdapat pasangan suami isteri yang kerap bertengkar sehingga mereka berpisah. Kemudian, keduanya sepakat berdamai dan rujuk kembali dengan berbagai persyaratan yang tidak bertentangan dengan syariat agama dan norma di masyarakat.
Tapi, sambung dia, bila bertentangan tentu tidak bisa. "Isteri mau rujuk dengan suaminya dengan syarat boleh membawa laki-laki lain ke ranjang, walau suaminya rela namun ini kan bertentangan dengan syariat," urai Sukri.
"Tidak begitu penting soal bendera. Itu hanya kepentingan politik segelintir orang saja. Rakyat butuh kesejahteraan dan peningkatan ekonomi. Ini paling utama," katanya.
Sebelumnya, YARA menggugat Gubernur dan DPR Aceh ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Selasa (12/4), karena hingga kini tidak mengibarkan bendera Aceh, padahal sudah disahkan dalam qanun.
Saat mendaftarkan gugatan, tim penggugat YARA juga menyerahkan bendera Aceh yang sama persis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta Qanun Nomor 3 Tahun 2013 yang ditandatangani Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Ketua YARA Safaruddin mengatakan, pihaknya menggugat karena hingga kini Gubernur Aceh dan DPR Aceh tidak mengibarkan bendera Aceh.
"Kami menggugat agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memutuskan dan memerintahkan Gubernur Aceh dan DPR Aceh mengibarkan bendera Aceh," kata Safaruddin.
Menurut Safaruddin, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh sudah menghabiskan banyak uang untuk membuat qanun bendera Aceh. Uang itu berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat.
Selaku warga negara, ungkap Safaruddin, wajar menggugat pimpinan daerahnya yang tidak menjalankan perintah Qanun Nomor 3 Tahun 2013. Perintah itu jelas mengibarkan bendera Aceh.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016