Takengon (ANTARA Aceh) - Tim peniliti dari Balai Arkeologi (Balar) Medan, Sumatera Utara kembali melakukan penelitian prasejarah di Kawasan Ceruk Mendale, Kebayakan, Kabpaten Aceh Tengah.
Ketua tim peneliti Dr Ketut Wiradnyana kepada wartawan di Takengon, Kamis mengatakan kawasan Ceruk Mendale masih memiliki potensi menyimpan fakta prasejarah yang berguna untuk ilmu pengetahuan.
Disebutkan, titik penelitian diperlebar dengan melakukan ekskavasi (penggalian) di tempat yang baru di kawasan lereng bukit berbatu Ceruk Mendale, untuk menemukan sisa prasejarah berupa kerangka manusia dan benda-benda masa lalu yang berkaitan prasejarah.
Pihaknya, kata Ketut, telah berhasil menemukan sejumlah benda sisa prasejarah di tempat baru tersebut seperti pecahan gerabah, kapak batu, dan tulang.
"Ada kapak batu di permukaan tanah (ditemukan) duah buah, ada pecahan-pecahan gerabah. Kemudian sekarang lagi gali jumpa juga fragmen tulang. Alat-alat batu lainnya ada juga ditemukan," kata Ketut Wiradnyana.
Ekskavasi dilakukan berjarak sekira 50 meter dari lokasi penelitian terakhir dimana kerangka prasejarah berusia ribuan tahun ditemukan.
Tim Balar Medan, kata Ketut, mulai melakukan penggalian di tempat baru tersebut pada Sabtu (21/5).
Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Ketut bersama para arkelolog Balar Medan di kawasan Ceruk Mendale telah menemukan sejumlah kerangka manusia prasejarah berusia ribuan tahun, diantaranya memiliki usia 4400 tahun dan 7575 tahun.
Selain di kawasan Ceruk Mendale, penelitian juga dilakukan di kawasan Ujung Karang di Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Balar Medan telah melakukan penelitian mereka di dua kawasan ini sejak tahun 2007 dan mulai melakukan ekskavasi pada awal Maret 2009.
Ketut Wiradnyana menjelaskan temuan kerangka prasejarah di Ceruk Mendale dan Ujung Karang memiliki ras Austro Melanesoid yang berada pada budaya Austronesia.
Ras tersebut, kata Ketut, masih memiliki hubungan dengan ras Mongoloid yang datang dari Cina.
Ia bahkan menyimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan pihaknya terhadap kerangka prasejarah di Ceruk Mendale dan Ujung Karang, ternyata membuahkan teori yang berbeda dengan teori migrasi Austronisia yang selama ini diyakini para arkeolog.
Sebelumnya, kata Ketut, banyak diantara arkeolog yang meyakini teori bahwa migrasi Austronesia atau ras Mongoloid dimulai dari Cina, Taiwan, Filipina, Sulawesi dan menyebar kemana-mana.
"Sedangkan dari data yang saya temukan ini berbeda. Bahwa ras Mongoloid bermigrasi dari Cina bagian selatan, Thailand, dan langsung ke Gayo. Karena yang dijadikan massa ideal migrasi Austronesia ke Indonesia adalah 3600 tahun yang lalu. Tapi disini kita punya hampir 5000. Jadi tidak mungkin dari Sulawesi kemari, karena lebih tua di sini," ungkap Ketut.
Ketut mengatakan temuannya itu bisa saja mereposisi keberadaan ilmu arkeologi yang selama ini ada. Setidaknya tentang teori migrasi Austronesia.
"Kita temui juga disini ada migrasi budaya hoabinh. Saya melihat ini adalah lompatan besar bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang arkeologi dalam merekontruksi sejarah budaya," ujar Ketut.
Pada tahun 2010, Ketut, mencoba membandingkan DNA kerangka prasejarah yang ditemukan dengan DNA masyarakat Gayo.
Ada 300 lebih sampel DNA orang Gayo yang dikumpulkan untuk diuji di laboratorium Erlangga Surabaya.
Hasilnya, DNA positif sama. Kerangka yang ditemukan terbukti sebagai nenek moyangnya orang Gayo.
Bahkan, Ketut, juga membandingkan DNA kerangka tersebut dengan DNA dua orang pemilik lahan Loyang Mendale dan Ujung Karang, tempat kerangka ditemukan. Hasilnya juga positif sama.
Dengan temuan kerangka prasejarah tersebut, Ketut, juga menyatakan bahwa orang Gayo sebagai penduduk asli di wilayah Aceh.
"Murni sebagai suku asli di Aceh. Kita lihat dari hubungannya dengan budaya di masa lalu, nenek moyangnya sudah jelas. Hubungan DNAnya sudah positif sama antara kerangka prasejarah yang kita temukan dengan orang Gayo sekarang," katanya.
"Ini menjadi bukti otentik bahwa orang Gayo jelas memiliki hubungan dengan budaya di masa lalu, sehingga secara otomatis juga berhak atas tanah budaya yang didiami sejak dari nenek moyangnya," tutur Ketut Wiradyana.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016