Meulaboh (ANTARA Aceh) - Masyarakat petani di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh tidak tertarik mengembangkan perkebunan karet karena kesulitan terhadap penampung lokal.

"Kendala pertama karena di sini tidak ada penampung karet, bahkan perkembangan harga karet kami tidak tahu seperti apa. Di sini masyarakat semuanya berkebun kelapa sawit walaupun setengah hektare," kata Saleh, salah seorang warga di Nagan Raya, Senin.

Dia menyampaikan, hampir setiap sudut masyarakat bisa ditemukan penampung lokal tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, usaha itu bukan hanya dilakukan keluarga produktif, tapi juga masyarakat usia lanjut, seperti janda tua dan pemuda putus sekolah.

Kata Saleh, masyarakat sebenarnya sudah mengetahui spekulasi harga sawit yang fluktuasi, namun karena tidak ada pekerjaan lain maka tetap bekerja secara rutin bahkan sebagai pendodos sawit milik pengusaha dan milik perusahaan.

Menjadi seorang petani kebun sawit sudah merupakan pekerjaan tetap, meskipun mereka sadar bahwa selama ini hanya bekerja untuk memenuhi stok untuk kebutuhan pabrik pengolah minyak mentah Crude Palm Oil (CPO).

"Kalau ada penampung mungkin kami mau juga menanam karet. Kalau dari sisi harga penjualan memang lebih menguntungkan karet, tapi itu masalahnya. Kalau pemerintah daerah mau salurkan bibit karet pasti kami tanam," sebutnya.

Kawawasan setempat berada jauh dari pusat ibu kota Kabupaten Nagan Raya, sehingga untuk menuju pusat pemerintahan masyarakat harus melewati pegunungan jalan lintas provinsi yang berjajar perkebunan sawit bewarna hijau milik perusahaan-perusahaan swasta dengan kendaraan umum ataupun roda dua.

Saat ini untuk harga tampung TBS ditingkat masyarakat setempat adalah Rp1.050, sementara untuk harga karet basah kotor adalah Rp7.000/Kg, harga tersebut telah bertahan dalam dua bulan terakhir.

Saleh menjelaskan, saat ini masyarakat setempat diperbolehkan secara adat menggarap kawasan hutan yang berada di pegunungan "Jalan Trak" untuk pembukaan kebun, kemudian warga juga diberikan bantuan bibit oleh pemerintah.

Pengarapan kawasan pegunungan untuk aktivitas perekonomian tersebut telah dilakukan sepanjang dua bulan terakhir, masyarakat desa berbondong-bondong naik gunung membabat pohon-pohon kecil meski sudah jauh dari kawasan perkebunan.

Untuk menuju kawasan pegunungan itu harus menempuh perjalanan sekitar 5 km dari pemukiman desa, selain ada perkebunan masyarakat juga terdapat kawasan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan ternama di Aceh.

"Per keluarga hanya boleh mengarap 2 hektare, tapi ada juga yang sudah membersihkan lebih dari dua hektar tapi diberikan kepada orang yang belum dapat dengan imbalan uang pembersihan," katanya menambahkan.

Masyarakat setempat juga berharap pemerintah membangun jalan aspal di Desa Kreung Alem menuju pemukiman penduduk, karena sudah lebih 40 tahun masyarakat disana belum sekalipun pernah di poles aspal oleh pemerintah.

Padahal masyarakat di pemukiman setempat sudah banyak yang bangkit dari sisi ekonomi, bukan hanya memiliki kendaraan roda dua tapi juga roda empat, namun fasilitas jalan sangat tidak mendukung mereka bahkan untuk kelancaran bekerja.

"Kalau pemerintah bisa dengar kami disini, yang sangat-sangat kami harapkan jalan keude "Ek lok" menuju pemukiman ini dibuat aspal, kami sudah lebih 40 tahun disini belum pernah di aspal jalan," katanya menambahkan.


Pewarta: Anwar

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016