Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) ikut angkat bicara terkait kejanggalan mekanisme pencairan kredit untuk petani ubi kayu/singkong melalui program pembiayaan Bank Aceh termasuk dari segi penyediaan lahan yang notabene masuk dalam kawasan hutan.

"Setahu kami lahan tanaman singkong tahun 2019 itu merupakan kawasan hutan produksi eks lahan milik warga Medan berinisial Tho dan Tas warga Aceh Tamiang. Buktinya lahan tersebut tahun 2015 sudah dikembalikan ke pemerintah provinsi Aceh untuk direstorasi dan reboisasi," kata Direktur Eksekutif LSM LembAHtari Sayed Zainal di Karang Baru, Minggu.

Setelah dikembalikan ke pemerintah, lanjut Sayed Zainal fungsi hutan produksi yang bekas dirambah ditanam kelapa sawit harus dikembalikan ditanami pohon kayu rimba dan pohon buah tahunan seperti durian dan sejenisnya.

"Boleh digarap tapi pengelolaannya harus ada izin dari KPH Wilayah III Langsa, Aceh. Saya rasa DLHK Aceh tidak mengeluarkan izin kalau untuk tanaman singkong, tidak cocok pun lokasinya untuk budidaya umbi-umbian," ujar Sayed.

Sebelum itu, ulas Sayed Zainal pada 2008, berdasarkan surat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemkab Aceh Tamiang Nomor 522/167/2008 prihal pengecekan lokasi dan berita acara pemeriksaan status lahan perkebunan kelapa sawit atas nama Tas total seluruhnya 450 hektare berada dalam kawasan hutan produksi dan 150 hektare di antaranya sudah ditanami sawit dengan Tho sejak 1995-1997.

Ketika itu Tas diwajibkan harus mengurus pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan RI. Kawasan itu masuk dalam kelompok Hutan Alur Cempegih sampai dengan sekarang ini masih tetap dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT).

"Hutan itu tetap namanya kawasan Alur Cempegih. Sekarang sudah masuk Desa Pengidam, dulu Desa Pantai Cempa. Nggak ada pelepasan sampai sekarang, dengan SK Menteri Kehutanan RI tahun 2015 masih tidak berubah," ulasnya.

"Jadi kenapa kelompok tani bisa garap lahan hutan, ini patut dipertanyakan karena tentu ada aturan yang telah dilanggar. APH harus bisa cari tahu siapa pihak penyedia lahan untuk program tanam ubi kayu di Bandar Pusaka,” sambungnya.

Di sisi lain, kata Sayed Zainal kasus ini telah menjerat petani ubi kayu diminta membayar utang bank, sementara petani mengaku tidak pernah terima uang. Dalam konteks ini mekanisme pencairan uang dari bank juga perlu dilusuri apakah langsung ke petani atau melalui rekening kelompok tani termasuk item peruntukannya.

“APH harusnya sudah bisa melakukan penyelidikan dan pemanggilan terhadap Pincab Bank Aceh Syariah Aceh Tamiang, karena ada potensi menyebabkan kerugian uang Negara,” pungkas Sayed Zainal.

Kasus ini pun sudah bergulir ke Komisi II DPRK Aceh Tamiang. Belasan petani pada Rabu (1/2) datang ke dewan mengadukan nasibnya tak mampu membayar utang bank.

Dalam satu pertermuan Ketua Komisi II DPRK Aceh Tamiang Muhammad Irwan  menjelaskan berdasarkan keterangan dari petani diduga uang Rp1 miliar itu jatuhnya ke ketua kelompok tani MK berinisial W alias L. Namun disampaikan oleh ketua ke petani itu uang bantuan hibah.

“Tapi ternyata hasil laporan petani enggak pernah menerima uang masing-masing senilai Rp50 juta. Mereka hanya dapat bantuan bibit ubi, pupuk, herbisida  dan saprodi (sarana prasarana produksi),” kata M Irwan.

Atas laporan petani singkong ini Komisi II sudah meng-agendakan pemanggilan ketua, sekretaris dan bendahara Poktan Mekar Kembali sebagai kunci terkait mekanisme pencairan uang Rp1 miliar tersebut. Komisi II juga telah menjadwalkan pemangilan pihak Bank Aceh Syariah setempat untuk hadir.

“Namun dari Bank Aceh sudah ada surat minta waktu penjadwalan ulang pemanggilan rapat dengan Komisi II DPRK Aceh Tamiang diundur sampai tanggal 15 Februari 2023,” jelasnya.

Pimpinan PT BAS Cabang Kuala Simpang, Muhammad Syah dikonfirmasi mengatakan program penanaman ubi kayu itu masuk dalam pembiayaan murni Bank Aceh diberikan kepada 20 petani di wilayah Tamiang Hulu, masing-masing petani menerima Rp50 juta.

Menurut Muhammad Syah mekanisme penyaluran dana Rp50 juta masuk ke rekening petani masing-masing sesuai akad dan disepakati oleh petani. M Syah juga meluruskan bahwa kredit petani singkong itu bukan termasuk bantuan hibah.

“Mereka (petani) berpikir itu uang bantuan, mana mungkin bantuan sudah ada agunan. Hari ini maunya mereka uang yang sudah didapat tidak dibayar, agunan sertifikat mau diminta balik, mana bisa. Kalau seperti itu petani susah kita melakukan pembiayaan,” terang M Syah.

 

Pewarta: Dede Harison

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023