Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (USK) Adrian Damora S.Pi., M.Si menyebut Indonesia memiliki nilai tawar tinggi dari sektor perikanan dengan negara lain yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

“Posisi tawar kita untuk ASEAN itu sangat tinggi karena diapit dua samudera besar, dan Indonesia punya posisi tawar sebagai Ketua ASEAN untuk bisa memimpin isu perikanan berkelanjutan di level ASEAN dan juga bisa memimpin di tingkat Asia,” kata Adrian di Banda Aceh, Kamis.

Kekuatan ASEAN Indonesia 2023 pada jalur ekonomi menjalankan tiga pilar strategis, yaitu pembangunan kembali perkembangan regional, konektifitas, dan persaingan baru, kemudian mempercepat transformasi dan partisipasi ekonomi digital inklusif dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan untuk masa depan yang tangguh (sustainability).


Baca juga: KNTI Aceh harapkan pemerintah pentingkan kesejahteraan nelayan

Menurut Adrian, Indonesia memiliki modal besar untuk memperkuat pilar sustainability, terkhusus pada sektor perikanan berkelanjutan. Misalnya Aceh, kata dia, memiliki wilayah perairan yang mencakup Samudera Hindia dan Pasifik. Tentu ini menjadi nilai tawar tinggi bagi Aceh, bahkan Indonesia.

Kata dia, wilayah perairan laut yang masuk ke Kawasan Indo-Pasifik seperti ini tentu menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, termasuk memiliki banyak jenis ikan.
 


Namun tantangannya, lanjut dia, keanekaragaman yang tinggi ini juga memiliki kerentanan yang tinggi. Meski Indonesia memiliki banyak jenis ikan, namun populasinya lebih sedikit, dibandingkan negara sub tropis seperti di Eropa atau Amerika yang jenis ikan lebih sedikit tapi populasi dari setiap jenis lebih banyak.

“Tapi kita jenis (ikan) banyak tapi populasi masing-masing jenis sedikit. Ini jadi tantangan untuk menuju ke perikanan yang berkelanjutan atau sustainable fishery,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, tak ayal jika disebutkan kondisi perairan Indonesia saat ini banyak yang sudah kelebihan tangkap atau populasi ikan di kawasan laut tersebut sudah berkurang. Kondisi ini juga dihadapi oleh negara lain di ASEAN, baik yang masuk ke wilayah perairan Samudera Hindia maupun Pasifik.


Baca juga: KKP gandeng institusi pendidikan di Aceh untuk ahli kasus perikanan


Kendati demikian, Indonesia memiliki posisi kuat untuk memimpin isu perikanan yang berkelanjutan. Tentunya dengan melakukan praktek penangkapan perikanan yang ramah lingkungan, menghindari adanya penangkapan ilegal, penangkapan tidak diatur dan penangkapan tidak dilaporkan (llegal, Unreported and Unregulated).

“Dan Indonesia mempunyai starting poin yang kuat untuk menajamkan itu, termasuk perikanan yang lintas negara, seperti ikan tuna, ikan tuna ini jadi hot issue perikanan global,” ujarnya.

Apalagi, kata dia, posisi Indonesia berada nomor dua setelah China terkait perikanan tangkap. China unggul karena teknologi yang dimiliki baik armada tangkap maupun kapal. Sedangkan Indonesia jauh dari China baik segi teknologi armada kapal maupun alat penangkapan.

“Tapi dengan teknologi biasa saja kita bisa nomor dua, berarti kita punya potensi tawar karena kita diapit oleh dua samudera besar ini,” ujarnya.

Ia berharap ke depan Indonesia bisa terus memperkuat sektor perikanan berkelanjutan dengan menyiapkan data base hasil tangkapan dengan baik. Karena, semua kebijakan diambil berbasis kajian ilmiah, dan kajian ilmiah harus didukung dengan data yang akurat.

“Perikanan kita menuju ke sana tapi belum sempurna. Pemerintah belum bisa mendata semua hasil tangkapan, baik dari nelayan skala besar maupun skala kecil. Ke depan penelitian dan pengembangan ini perlu ditajamkan lagi,” ujarnya.


Baca juga: KNTI Aceh minta pemerintah perhatikan nelayan yang terdampak perubahan iklim

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023