Kejaksaan Tinggi Riau ikut serta dalam pengawasan industri kelapa sawit di Provinsi Riau, termasuk dalam mengawal agar petani sawit mendapat harga tandan buah segar (TBS) sawit yang adil dan tidak merugikan pihak petani. 

Hal tersebut mengemuka dengan adanya penandatanganan MoU Jaga Zapin antara Kejati Riau dan Gubernur Riau dalam hal ini melalui Dinas Perkebunan Provinsi Riau di Kota Pekanbaru baru-baru ini. Program Jaga Zapin merupakan singkatan dari Jaga Zona Pertanian, Perekonomian, dan Perindustrian.

MoU tersebut dinilai kalangan petani dan pelaku usaha sangat penting karena Riau jadi barometer untuk industri kelapa sawit di Indonesia, bahkan dunia. Namun, akibat semakin anjloknya harga TBS Petani, ekonomi Riau praktis melambat sejak enam bulan terakhir karena industri sawit ikut berimbas pada sektor jasa, perbankan, pasar modern, tradisional, dan sektor ekonomi lainnya.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020, luas perkebunan sawit Riau mencapai 4,172 juta hektar yang 68 persen dikelola oleh petani sawit. Tentu dampak sosial ekonomi sawit akan semakin sensitif jika terjadi gejolak harga TBS seperti saat ini karena 9,31 persen ekonomi Riau ditopang oleh industri sawit.


Baca juga: Apkasindo minta Pemda Aceh produksi pupuk kompos bagi petani sawit, potensi melimpah


Penandatanganan MoU "Jaga Zapin" disaksikan secara langsung oleh Gubernur Riau Syamsuar, Asisten Pembinaan Kejaksaan Tinggi Riau Robinson Sitorus,dan Ketua DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau Suher beserta rombongan serta perwakilan dari Asosiasi Petani Sawit ASPEK PIR, SAMADE, Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia dan Pemuka Masyarakat Riau.

Asisten Pembinaan Kejaksaan Tinggi Riau Robinson Sitorus menyampaikan bahwa ini sebagai langkah proaktif Kejaksaan Tinggi Riau untuk mengawal industri komoditas strategis sawit Riau yang merupakan pilar ekonomi yang cukup banyak melibatkan masyarakat. Program ini akan diberlakukan di semua jajaran kejaksaan di Riau dengan menggandeng kepala daerah dan dinas terkait. 

"Saya berharap semua stakeholder sawit dapat memanfaatkan program ini sebagai program evaluasi diri sehingga akan terjadi keseimbangan masing-masing rantai dari industri sawit tersebut," ujarnya. 


 

Menurut hasil pengamatan kejaksaan hampir satu tahun ini, lanjutnya, memang terjadi perbedaan persepsi tentang regulasi bidang hulu-hilir kelapa sawit terutama saat penetapan harga TBS petani dan implementasinya di lapangan. "Ini akan menjadi fokus kami," tegas Asbin.

Ketua DPW Apkasindo Riau Suher menyampaikan apresiasi atas inisiatif dan sinergi Kejati Riau dengan Gubernur Riau melalui Jaga Zapin untuk turut memperhatikan nasib petani sawit Riau. Zapin merupakan tarian khas melayu Riau dengan ciri khas hentakan kaki dan Gerakan tubuh yang indah. Hentakan kaki ini menggambarkan ketegasan dan Gerakan tubuh menggambarkan keramah-tamahan budaya melayu. 

"Informasinya, Jaga Zapin ini akan membuka Posko Pengaduan sekaligus Konsultasi Hukum Hulu-Hilir Sawit Riau yang berkantor di Kejati Riau. Jadi jika terjadi kecurangan PKS, seperti harga TBS, timbangan curang, potongan wajib timbangan dan lain-lain maka Posko Jaga Zapin akan segera menindaklanjutinya," kata Suher.


Baca juga: Warga Aceh Jaya tuntut kejaksaan usut tuntas kasus peremajaan sawit

Ia menilai Kepala Kejaksaan Tinggi yang saat ini sangat memahami Riau yang membuat petani merasa dijaga. Sebabnya, kejelian pihak Kejati Riau melihat akar permasalahannya dalam penetapan harga TBS berada pada komponen BOL (biaya operasional langsung) dan BOTL (Biaya Operasional Tidak Langsung). 

Kedua komponen ini sangat mempengaruhi harga TBS penetapan Disbun Riau yang diumumkan setiap hari Selasa. "Terjadi penurunan signifikan biaya pemasaran, biaya transport, penyusutan dan terjadi peningkatan Indeks K secara signifikan," ujar KH Suher. 

Indeks K merupakan persentase yang diterima oleh Petani sawit dari satuan kilogram TBS. Jika semakin tinggi Indeks K, maka semakin besar persentase yang diterima petani dalam bentuk harga TBS (Rp/Kg TBS).

Dengan Jaga Zapin ini ia berharap hal-hal yang selama ini ditutup-tutupi oleh Korporasi Anggota Tim Harga TBS Riau menjadi transparan dan akuntabilitas. Termasuk bagian cangkang dan produk sampingan lainnya yang harga produk sampingan ini tidak pernah dinikmati oleh petani. Kalaupun ada selama ini, misalnya dari harga cangkang, itu hanya Rp10/kg, padahal cangkang tersebut saat ini harganya semakin mahal dan di ekspor, rerata Rp1.500-1700/kg. 

"Masak kami petani hanya dapat Rp10 per kg?," ujarnya. 


 

Ini konsekuensi dari cara perhitungan yang diatur dalam Permentan 01 tahun 2018, karena pola yang dianut adalah konsep ‘titip olah’, sehingga semua beban biaya (BOL dan BOTL) selama proses di PKS adalah merupakan beban dari TBS Petani. “Artinya selain rendemen, maka produk sampingan dari proses pengolahan TBS menjadi CPO adalah milik petani sawit” tegas KH Suher.

Jika ada orang yang mengatakan bahwa harga Disbun yang merujuk ke Permentan 01 tahun 2018 adalah harga khusus plasma, itu adalah pemikiran sesat dan hanya melihat sebelah mata. 

"Saya juga petani plasma dan juga petani swadaya, saya merasakan bahwa Permentan tersebut sangat tidak cocok dengan dinamika hulu-hilir sawit saat ini. Ya kalau mau konsekuen menerapkan Permentan 01 tahun 2018, ayo kita full terapkan, buka semua dapur perusahaan PKS, itu perintah Permentan tersebut. Apa mau perusahaan PKS di cek rendemen aktualnya, los PKS, biaya perawatan dan pergantian mesin-mesin, persentase pemakaian fiber dan cangkang sebagai pemanas boiler, biaya pemasaran dan biaya-biaya lainnya yang cukup ribet dan penuh kerahasiaan?," kata Suher. 

Sementara itu, Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung mengatakan, sudah sewajarnya stakeholder sawit menyadari kekeliruan selama ini dalam hal rasio margin dan beban hulu-hilir sawit. Menurut dia, apa yang dilakukan Kajati Riau dan Gubernur Riau merupakan bentuk ketegasan yang terukur dalam menjaga kestabilan ekonomi sawit yang dampaknya cukup luas secara nasional. 

Industri hilir dan turunan sawit jangan dilihat sepihak, melainkan harus menyeluruh khususnya bahan bakunya. 

"Tidak ada guna bicara keberlanjutan sawit, jika petani sawitnya menjadi pasien BLT akibat hilir tidak mau berkurang untungnya. Menjaga sawit harus menyeimbangkan tiga dimensi pokok keberlanjutan, dimensi ekonomi, sosial dan dimensi lingkungan, itu baru benar," demikian Gulat ME Manurung.


Baca juga: 278 hektar kebun sawit rakyat Abdya diremajakan

Pewarta: Antaranews Aceh

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023