Meulaboh (ANTARA Aceh) - Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh akan mengajukan surat penangguhan penahanan terhadap enam orang nelayan yang ditangkap karena diduga menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Barat, Muhammad Iqbal di Meulaboh, Kamis mengatakan, jaminan penangguhan penahanan tersebut merupakan salah satu solusi memperjuangkan nasib nelayan dan meredam kemarahan nelayan.

"Bukan mengintervensi proses hukum, ini berdasarkan hasil musyawarah antara dewan, nelayan, serta perwakilan bupati. DKP siap membantu menandatangi surat permohonan penangguhan penahanan yang nantinya disampaikan kepada Kejaksaan," sebutnya.

Kasus penangkapan dan penahanan enam orang nelayan Aceh Barat oleh Polair Polda Aceh pada 28 Maret 2017, saat ini sudah dilimpahkan dan menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Meulaboh, sementara keluarga dan komunitas nelayan terus melakukan aksi.

Mulai dari aksi menjual kapal hingga merobek jaring pukat di Kantor DPRK sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah daerah karena dinilai tidak peduli dan mengabaikan nasib komunitas nelayan yang dikonotasikan rakyat miskin Indonesia itu.

Iqbal menyampaikan, ada nelayan yang memang masih menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan, ada pula nelayan yang mendesak agar penggunaan alat dilarang harus diberantas, jangan sampai ada pemberiaran.

"Sebenarnya pihak keamanan bisa saja menangkap dan mengamankan semua, mungkin tidak tertangkap saat patroli. Tidak ada alasan untuk pembenaran penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, bila sudah begini paling kita bantu, itu saja," sebutnya.

Lebih lanjut disampaikan, pihak terkait lain Setdakab Aceh Barat juga ikut membantu selama proses hukum, termasuk memberi pendampingan hukum dan menghadirkan saksi ahli untuk berupaya agar meringankan penjatuhan hukuman untuk nelayan.

Kata Iqbal, aturan yang telah bentuk oleh negara harus ditaati dan penegakan hukum harus dilakukan, namun pemerintah daerah tidak menutup mata melihat kasus ini dan semua pihak tentunya berharap kasus demikian tidak menimpa.

Panglima Lhok Teungku Dirundeng (pemangku adat laut) Zainal Abidin mengutarakan,  tuduhan disangkakan kepada nelayan tidak beralasan kuat, karena sudah lama mereka menggunakan alat tangkap pukat mini demikian dan hampir semua nelayan masih menggunakannya.

"Jadi kenapa hanya mereka (enam orang nelayan) yang ditangkap, kaena itu kami memilih mogok, daripada ditangkap nanti. Kami nelayan kecil bergantung hidup pada mata pencarian melaut secara turun temurun," sebutnya.

Alat tangkap yang digunakan komunitas mereka hanya pukat mini yang dapat rusak ketika tersangkut kayu, tuduhan merusak terumbu karang karena alat tangkap itu menurut mereka tidak sesuai dengan kenyataan saat melaut.

Pewarta: Anwar

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2017