Kedatangan Idul Fitri sangat dinanti umat Islam karena selain hari fitrah juga hari kemenangan bagi mereka yang telah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.

Secara umum perayaan hari kemenangan itu hampir sama di Indonesia, di mana di antara umat Islam saling memaafkan dengan cara mengunjungi saudara dan kerabat ke rumah-rumah.

Namun, ada beberapa tradisi Lebaran yang dilakukan umat Islam secara turun temurun di beberapa daerah. Setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda-beda, termasuk di Provinsi Aceh.

Salah satunya "Teumuntuk" (salam tempel) kepada pengantin baru saat Idul Fitri yang telah turun temurun berlaku di Kabupaten Aceh Barat Daya.

Sulailli, mantan anggota DPRK Kabupaten Aceh Barat Daya, saat ditanya di Blangpidie menjelaskan dalam bahasa "Jamee" (Minang) istilah "teumuntuk" dikenal dengan nama "teumuntuak" dan sebagian masyarakat di daerahnya  menyebutkan "Seunemah", yaitu memberikan uang pada pengantin baru, baik untuk pengantin perempuan maupun laki-laki.

Meskipun umur pernikahan pasangan itu sudah berjalan 10 bulan, prosesi "teumuntuk" masih tetap dilakukan, khususnya pada waktu Lebaran.

Ketika Idul Fitri tiba, sang suami membawa istrinya ke rumah-rumah familinya untuk bersalaman, sekaligus memperkenalkan saudaranya kepada sang istri dan begitu juga sebaliknya.

"Sebagai bentuk menghormati pengantin, biasanya orang tua mereka, tetangga, handai taulan, serta karib kerabat saling menjabat tangan pada Idul Fitri. Jadi, setiap famili bersalaman dengan pasangan baru itu sekaligus menempelkan uang dalam genggaman pengantin perempuan atau pengantin laki-laki," katanya.

Saat ini, kata dia, tradisi "teumuntuk" masih tetap dijalankan, seperti di Kecamatan Babahrot, Kuala Batee, Jeumpa, Susoh, Blangpidie, Setia, Tangan-Tangan, Manggeng, dan Lembah Sabil, termasuk di Kabupaten Aceh Selatan.

Biasanya, sebelum hari raya tiba, orang tua laki-laki menginformasikan kepada seluruh familinya, tetangga, dan sahabat-sahabatnya, bahwa anaknya bersama pasangannya akan melakukan tradisi "teumuntuk" ke rumah saudara-saudaranya saat Lebaran.

"Sebelum lebaran tiba, biasanya keluarga pihak laki-laki mengirim bahan-bahan untuk membuat aneka kue tradisonal kepada keluarga istri, seperti tepung ketan, gula pasir, telur ayam, minyak masak, dan bahan-bahan kue lain-lain," katanya.

Pihak keluarga istri membuat kue-kue tradisional Aceh, seperti supet, juadah, keukarah, loyang, dan leumang.

Setelah itu, pihak keluarga perempuan meminta nama-nama atau jumlah famili penggantin pria kepada pihak keluarga laki-laki dengan tujuan diantarkan kue-kue tersebut.

Biasanya, kue-kue tersebut dimasukkan dalam sebuah tempat dan dibungkus rapi dengan menggunakan kain.

Prosesi pengantaran kue-kue tersebut dilakukan oleh saudara dari pihak istri dan dilakukan 2 atau 1 hari menjelang Lebaran.

"Jadi, pada waktu Lebaran tiba, sang suami mengajak istrinya ke rumah-rumah familinya untuk berlebaran sekaligus mengambil tempat kue tersebut. Jadi, di dalam tempat kue tadi sudah diisikan uang dan pakaian sebagai hadiah balasan dari famili laki-laki kepada pengantin wanita," ujar dia.

Setelah semua famili suami selesai dikunjungi, pihak istri mengajak pula suaminya untuk berlebaran dan bersilaturahim ke rumah-rumah saudaranya tanpa harus membawa kue seperti ke rumah famili laki-laki.

Ketika mereka meninggalkan rumah, tuan rumah (famili istri) menyalami pasangan laki-laki dengan uang kertas sebagai pemberian balasan untuk rumah yang dikunjungi. Begitu juga jika pasangan baru tersebut mengunjungi orang-orang yang dekat dengan mereka.

Hal serupa juga dibenarkan oleh Yusuf, tokoh masyarakat Tangan-Tangan.

Menurut dia, ritual "teumuntuk" merupakan adat yang memiliki pengaruh dalam bagi masyarakat di Aceh Barat Daya, khususnya di Kecamatan Tangan-Tangan.

Jika pasangan yang baru menikah tidak melaksanakan ritual ini, mereka akan merasakan pernikahan tidak lengkap dan tidak mempunyai adat/budaya. Pihak keluarga, tetangga, dan sahabat akan bertanya-tanya.

"Mengapa kamu tidak datang berlebaran ke rumah saya dan mengenalkan istri dan suami kamu kepada kami," katanya.

Jika salah satu famili, baik dari pihak istri maupun suami yang mengucapkan hal demikian, sungguh sebagai hal yang memalukan dan akan menjadi kabar buruk terhadap pasangan baru dalam bermasyarakat.

Pasangan pengantin itu, dianggap tidak menjalankan tradisi nenek moyang yang telah berlangsung secara turun temurun.

Tradisi salam tempel juga terjadi bagi anak-anak yang berkunjung ke rumah-rumah. Uang yang diberikan juga bervariasi, sesuai dengan kemampuan tuan rumah.

Salam tempel tersebut tidak memandang status sosial orang tua, apakah orang kaya atau biasa. Mereka tetap saja mendapat salam tempel.

Nirwana, warga Banda Aceh, menyatakan salam tempel sudah menjadi tradisi bagi anak-anak yang bertamu ke rumahnya.

Sepertinya, kurang afdal apabila orang yang dikunjungi belum memberi salam tempel kepada anak-anak.

"Jadi, kami tetap menyediakan uang pecahan minimal 5.000 untuk salam tempel," katanya.

Salam tempel tersebut tidak sekadar pemberian uang, akan tetapi diniatkan sedekah dengan ikhlas, karena Allah SWT, sehingga bisa mendapat pahala.


Pewarta: Suprian

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2017