Bioskop pada era 1990-an sempat menjadi hiburan populer di Aceh sebelum kehadiran televisi dan layanan streaming. Ada beberapa bioskop yang terkenal di Banda Aceh kala itu, seperti yang berada di lantai atas Pasar Aceh, Teater Gajah di kawasan Simpang Lima, dan Garuda di Jalan Imam Bonjol, Kampung Baru. Pengelola bioskop pada masanya mengiklankan film-film baru dengan mobil pengeras suara yang berkeliling ke desa-desa.
Namun, eksistensi bioskop di Banda Aceh mulai surut saat Aceh mengalami darurat militer. Satu per satu bioskop tutup. Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 menjadi titik akhir bagi bioskop di Aceh, dengan bangunan-bangunan bioskop kemudian dialihfungsikan, seperti, bekas bioskop Garuda kini menjadi Gedung Information Technology Learning Center (ITLC).
Sebagian warga Aceh yang diwawancarai pada awal November berharap bioskop bisa kembali hadir mewarnai kehidupan mereka, terutama di Kota Banda Aceh. Muhammad Fanhas salah satunya, yang menyampaikan "bioskop tidak selalu menampilkan film-film yang bersifat negatif. Dengan adanya pemutaran film-film yang bersifat edukatif dan positif, masyarakat Aceh dapat meningkatkan pengetahuan agar tidak tertinggal dari masyarakat di daerah lain. Oleh karena itu, para pemuda berharap agar di Aceh dapat mendirikan bioskop".
Baca juga: Senator DPD RI dukung kehadiran bioskop syariah di Aceh
Namun, sebagian masyarakat Aceh menolak keberadaan bioskop karena dianggap berpotensi melanggar aturan syariat Islam. Putri Safira menyatakan bahwa Aceh tidak perlu memiliki bioskop, karena bioskop bukanlah sarana hiburan yang sesuai bagi masyarakat Aceh.
Ia khawatir, bioskop dapat disalahgunakan oleh pasangan yang bukan mahram, termasuk non-muslim, untuk menonton bersama, yang bertentangan dengan penerapan hukum syariat islam di Aceh.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengku Muhibbuththabary, menyatakan bahwa wacana menghadirkan kembali bioskop di Aceh perlu dipikirkan dengan bijak.
"Jika bioskop ada, mungkin akan lebih baik mengadakan musyawarah besar dengan melibatkan seluruh elemen, termasuk pegiat seni, masyarakat, dan ulama. Semua pihak dilibatkan dalam muzakarah untuk memastikan kehadiran bioskop tetap mendukung penerapan syariat Islam," katanya.
Namun, ia mengatakan larangan terhadap bioskop di Aceh tidak tercantum dalam qanun (Peraturan Daerah), tetapi diatur dalam undang undang dan qanun penerapan syariat islam.
Baca juga: Sineas Aceh minta pemerintah hadirkan ruang pemutaran film karena tak ada bioskop
Larangan keberadaan bioskop di Aceh memang tidak secara eksplisit tercantum dalam qanun (peraturan daerah), melainkan diatur melalui qanun terkait penerapan syariat Islam. Pada Qanun nomor 14 tahun 2003 bab lll tentang larangan dan pencegahan pasal 5 dan pasal 6 ini mencakup berbagai aturan yang bertujuan menerapkan nilai-nilai Islam di Aceh, termasuk di antaranya larangan atas fasilitas hiburan tertentu yang dianggap bisa mengundang maksiat atau perbuatan yang melanggar norma agama.
Pasal-pasal dalam qanun syariat Islam tersebut mengatur ketentuan mengenai perilaku khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) yang dianggap sebagai tindak pidana, dengan pelanggar dapat dikenakan hukuman, seperti cambuk atau hukuman lainnya.
Ketentuan ini dibuat sebagai bagian dari upaya menjaga moralitas masyarakat Aceh, mencegah pergaulan bebas, dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.
Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk membentuk masyarakat Aceh yang memiliki kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap ajaran agama, serta menjaga keteraturan sosial berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada saat ini, pelarangan bioskop dianggap penting karena penyiaran bisa menjadi tempat yang memfasilitasi pergaulan bebas atau aktivitas lain yang bertentangan dengan norma-norma agama.
Sementara itu, di Banda Aceh, bioskop menjadi topik perbincangan hangat dalam pemilihan calon wali kota. Beberapa kandidat menjadikan rencana pembangunan bioskop sebagai bahan kampanye untuk menarik dukungan masyarakat.
Dalam visi dan misi yang mereka gunakan, para kandidat berjanji bahwa jika terpilih, mereka akan menghadirkan "bioskop syariah" di Aceh.
Yang dijadikan perbandingan adalah negara-negara Islam lainnya seperti Arab Saudi, yang kini memperbolehkan bioskop beroperasi kembali. Sejak 2018 Arab Saudi membuka bioskop pertamanya, meskipun dengan aturan ketat. Setiap film yang akan ditayangkan harus melalui proses seleksi untuk memastikan tidak ada adegan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Baca juga: Ini empat syarat buka bioskop di tengah PPKM
Baca juga: Film "Tjoet Nya' Dhien" tayang lagi di bioskop
Penulis: Khairon Nisa, mahasiswa komunikasi Unimal Lhokseumawe
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
Namun, eksistensi bioskop di Banda Aceh mulai surut saat Aceh mengalami darurat militer. Satu per satu bioskop tutup. Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 menjadi titik akhir bagi bioskop di Aceh, dengan bangunan-bangunan bioskop kemudian dialihfungsikan, seperti, bekas bioskop Garuda kini menjadi Gedung Information Technology Learning Center (ITLC).
Sebagian warga Aceh yang diwawancarai pada awal November berharap bioskop bisa kembali hadir mewarnai kehidupan mereka, terutama di Kota Banda Aceh. Muhammad Fanhas salah satunya, yang menyampaikan "bioskop tidak selalu menampilkan film-film yang bersifat negatif. Dengan adanya pemutaran film-film yang bersifat edukatif dan positif, masyarakat Aceh dapat meningkatkan pengetahuan agar tidak tertinggal dari masyarakat di daerah lain. Oleh karena itu, para pemuda berharap agar di Aceh dapat mendirikan bioskop".
Baca juga: Senator DPD RI dukung kehadiran bioskop syariah di Aceh
Namun, sebagian masyarakat Aceh menolak keberadaan bioskop karena dianggap berpotensi melanggar aturan syariat Islam. Putri Safira menyatakan bahwa Aceh tidak perlu memiliki bioskop, karena bioskop bukanlah sarana hiburan yang sesuai bagi masyarakat Aceh.
Ia khawatir, bioskop dapat disalahgunakan oleh pasangan yang bukan mahram, termasuk non-muslim, untuk menonton bersama, yang bertentangan dengan penerapan hukum syariat islam di Aceh.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengku Muhibbuththabary, menyatakan bahwa wacana menghadirkan kembali bioskop di Aceh perlu dipikirkan dengan bijak.
"Jika bioskop ada, mungkin akan lebih baik mengadakan musyawarah besar dengan melibatkan seluruh elemen, termasuk pegiat seni, masyarakat, dan ulama. Semua pihak dilibatkan dalam muzakarah untuk memastikan kehadiran bioskop tetap mendukung penerapan syariat Islam," katanya.
Namun, ia mengatakan larangan terhadap bioskop di Aceh tidak tercantum dalam qanun (Peraturan Daerah), tetapi diatur dalam undang undang dan qanun penerapan syariat islam.
Baca juga: Sineas Aceh minta pemerintah hadirkan ruang pemutaran film karena tak ada bioskop
Larangan keberadaan bioskop di Aceh memang tidak secara eksplisit tercantum dalam qanun (peraturan daerah), melainkan diatur melalui qanun terkait penerapan syariat Islam. Pada Qanun nomor 14 tahun 2003 bab lll tentang larangan dan pencegahan pasal 5 dan pasal 6 ini mencakup berbagai aturan yang bertujuan menerapkan nilai-nilai Islam di Aceh, termasuk di antaranya larangan atas fasilitas hiburan tertentu yang dianggap bisa mengundang maksiat atau perbuatan yang melanggar norma agama.
Pasal-pasal dalam qanun syariat Islam tersebut mengatur ketentuan mengenai perilaku khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) yang dianggap sebagai tindak pidana, dengan pelanggar dapat dikenakan hukuman, seperti cambuk atau hukuman lainnya.
Ketentuan ini dibuat sebagai bagian dari upaya menjaga moralitas masyarakat Aceh, mencegah pergaulan bebas, dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.
Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk membentuk masyarakat Aceh yang memiliki kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap ajaran agama, serta menjaga keteraturan sosial berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada saat ini, pelarangan bioskop dianggap penting karena penyiaran bisa menjadi tempat yang memfasilitasi pergaulan bebas atau aktivitas lain yang bertentangan dengan norma-norma agama.
Sementara itu, di Banda Aceh, bioskop menjadi topik perbincangan hangat dalam pemilihan calon wali kota. Beberapa kandidat menjadikan rencana pembangunan bioskop sebagai bahan kampanye untuk menarik dukungan masyarakat.
Dalam visi dan misi yang mereka gunakan, para kandidat berjanji bahwa jika terpilih, mereka akan menghadirkan "bioskop syariah" di Aceh.
Yang dijadikan perbandingan adalah negara-negara Islam lainnya seperti Arab Saudi, yang kini memperbolehkan bioskop beroperasi kembali. Sejak 2018 Arab Saudi membuka bioskop pertamanya, meskipun dengan aturan ketat. Setiap film yang akan ditayangkan harus melalui proses seleksi untuk memastikan tidak ada adegan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Baca juga: Ini empat syarat buka bioskop di tengah PPKM
Baca juga: Film "Tjoet Nya' Dhien" tayang lagi di bioskop
Penulis: Khairon Nisa, mahasiswa komunikasi Unimal Lhokseumawe
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024