LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh meminta Pemerintah Aceh melibatkan unsur masyarakat sipil hingga pengawas independen dalam proses penataan dan penertiban pertambangan ilegal yang mulai dilaksanakan ini, sehingga lebih transparan.
"Proses ini harus transparan, libatkan masyarakat sipil serta lembaga pengawasan independen," kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, di Banda Aceh, Selasa.
Menurutnya, pelibatan masyarakat sipil hingga lembaga pengawasan independen ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam proses evaluasi dan pencabutan izinnya.
“Harus ada pengawasan bersama, baik oleh internal pemerintah maupun oleh masyarakat sipil, agar penegakan aturan berjalan lebih objektif,” ujarnya.
Baca: Aceh bentuk satgas khusus penertiban tambang ilegal
Ia menilai, penertiban tambang ilegal dan izin bermasalah bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi juga bagian dari upaya menjaga kelestarian lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat sekitar kawasan tambang.
GeRAK Aceh, kata dia, mengapresiasi langkah Pemerintah Aceh yang telah menerbitkan Instruksi Gubernur Aceh (Ingub) Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non-Perizinan Berusaha di Sektor Sumber Daya Alam (SDA).
Instruksi tersebut merupakan langkah nyata dan tegas dari Gubernur Aceh, Muzakir Manaf untuk membenahi tata kelola perizinan di sektor sumber daya alam, terutama tambang.
Mengingat, selama ini banyak izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh yang tidak aktif atau diduga bermasalah, tetapi belum adanya penindakan secara serius.
“Langkah Gubernur Aceh ini harus menunjukkan komitmen untuk menyelamatkan kekayaan sumber daya alam Aceh dari eksploitasi ilegal dan ketidaktertiban administrasi,” katanya.
Baca: Pemerintah Aceh bentuk satgas khusus penertiban tambang ilegal
Selain itu, dirinya juga menekankan pentingnya peran aktif seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) teknis terkait, terutama Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, Dinas Pertanian dan Perkebunan, serta Bupati/Wali Kota se Aceh.
“Dinas-dinas jangan pasif. Harus segera bergerak melakukan evaluasi izin, termasuk mencabut izin-izin yang tidak memenuhi kewajiban atau tidak beroperasi sebagaimana mestinya,” demikian Askhalani.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengultimatum pelaku pertambangan emas ilegal di tanah rencong untuk mengeluarkan seluruh alat berat (beko/eskavator) dari hutan Aceh sebelum dilakukan langkah tegas dalam dua pekan ke depan.
Kemudian, juga telah mengeluarkan Ingub Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam sebagai upaya memperbaiki pengelolaan pertambangan secara baik.
Baca: WALHI desak bongkar dugaan setoran Rp360 miliar dari tambang emas ilegal Aceh
Bahkan, juga telah membentuk Satgas untuk penataan perizinan pertambangan, serta Satgas khusus yang bertugas menertibkan tambang ilegal di seluruh Aceh.
Kebijakan Gubernur Aceh tersebut sebagai respon atas laporan DPR Aceh melalui panitia khusus (Pansus) Mineral dan Batubara serta Migas dalam sidang paripurna pada Kamis (25/9) lalu.
Temuan hasil Pansus DPR Aceh itu menyebutkan bahwa terdapat tambang ilegal di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, Pidie.
Ditemukan, ada 450 titik lokasi tambang ilegal, dengan jumlah ekskavator yang bekerja secara aktif sebanyak 1.000 unit, dan keseluruhan ekskavator dalam melakukan kerja diwajibkan menyetor uang sebesar Rp30 juta per bulan kepada para penegak hukum di wilayah kerja masing-masing sebagai uang keamanan.
Jika dikalkulasikan, uang yang diperoleh dari penyetoran tersebut sebanyak Rp360 miliar per tahun. Praktik ini telah berlangsung lama dan dibiarkan tanpa ada upaya untuk memberantasnya.
Baca: Polda Aceh siap dukung pembentukan WPR cegah penambangan ilegal
Editor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025