Puluhan wartawan di Khartoum, Sudan, pada Senin (25/3) menggelar aksi protes yang menuntut dihentikannya tindakan keras terhadap kebebasan pers, kata saksi mata, di tengah tantangan yang terus menghantui Presiden Sudan Omar al-Bashir sejak berkuasa melalui kudeta pada 1989.
Aksi protes kerap mewarnai Sudan sejak 19 Desember. Pada awalnya aksi tersebut dipicu oleh kenaikan harga dan kurangnya uang tunai, namun meningkat menjadi aksi unjuk rasa terhadap al-Bashir dan Partai Kongres Nasional --yang dipimpinnya.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk besar bertuliskan "Kebebasan pers atau tidak ada pers" saat mereka menyusuri jalan utama di ibu kota Sudan. Mereka meneriakkan "jurnalisme adalah suara rakyat" dan "revolusi adalah pilihan rakyat."
Sejak dimulainya gelombang aksi unjuk rasa, 90 wartawan ditangkap, menurut Jaringan Wartawan Sudan, kelompok wartawan anti-pemerintah yang menggelar aksi protes Senin. Sejak itu sebagian besar sudah dibebaskan, kata kelompok tersebut.
Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) mengungkapkan jumlah penangkapan belum pernah diketahui sebelumnya, namun tidak mungkin untuk memberikan angka pastinya karena wartawan ditangkap dan kemudian dibebaskan dan itu terjadi lebih dari sekali.
CPJ juga mengatakan bahwa Pemerintah Sudan berupaya menyensor liputan berita aksi protes. Tidak hanya itu, mereka juga memblokir akses ke platform media sosial ternama.
Pimpinan Redaksi surat kabar independen At-Tayar, Othman Mirghani, dan salah satu wartawan paling terkemuka di Sudan, ditangkap pada 22 Februari di kantornya di Khartoum, bersamaan saat al-Bashir menyatakan keadaan darurat, kata keluarganya.
Menurut kerabat, ia ditahan sesaat setelah melakukan wawancara yang mengeritik deklarasi al-Bashir. Mereka mengatakan Mirghani masih dalam penahanan, namun tak kunjung didakwa.
Pemerintah Sudan tidak langsung bersedia untuk dimintai keterangan.
Bulan lalu, al-Bashir juga membubarkan pemerintah pusat, dengan menggantikan sejumlah gubernur negara bagian dengan pejabat keamanan, memperluas kekuatan polisi dan melarang perkumpulan publik tanpa izin. Namun hal tersebut tidak mengurungkan para pengunjuk rasa untuk mengelar aksinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
Aksi protes kerap mewarnai Sudan sejak 19 Desember. Pada awalnya aksi tersebut dipicu oleh kenaikan harga dan kurangnya uang tunai, namun meningkat menjadi aksi unjuk rasa terhadap al-Bashir dan Partai Kongres Nasional --yang dipimpinnya.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk besar bertuliskan "Kebebasan pers atau tidak ada pers" saat mereka menyusuri jalan utama di ibu kota Sudan. Mereka meneriakkan "jurnalisme adalah suara rakyat" dan "revolusi adalah pilihan rakyat."
Sejak dimulainya gelombang aksi unjuk rasa, 90 wartawan ditangkap, menurut Jaringan Wartawan Sudan, kelompok wartawan anti-pemerintah yang menggelar aksi protes Senin. Sejak itu sebagian besar sudah dibebaskan, kata kelompok tersebut.
Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) mengungkapkan jumlah penangkapan belum pernah diketahui sebelumnya, namun tidak mungkin untuk memberikan angka pastinya karena wartawan ditangkap dan kemudian dibebaskan dan itu terjadi lebih dari sekali.
CPJ juga mengatakan bahwa Pemerintah Sudan berupaya menyensor liputan berita aksi protes. Tidak hanya itu, mereka juga memblokir akses ke platform media sosial ternama.
Pimpinan Redaksi surat kabar independen At-Tayar, Othman Mirghani, dan salah satu wartawan paling terkemuka di Sudan, ditangkap pada 22 Februari di kantornya di Khartoum, bersamaan saat al-Bashir menyatakan keadaan darurat, kata keluarganya.
Menurut kerabat, ia ditahan sesaat setelah melakukan wawancara yang mengeritik deklarasi al-Bashir. Mereka mengatakan Mirghani masih dalam penahanan, namun tak kunjung didakwa.
Pemerintah Sudan tidak langsung bersedia untuk dimintai keterangan.
Bulan lalu, al-Bashir juga membubarkan pemerintah pusat, dengan menggantikan sejumlah gubernur negara bagian dengan pejabat keamanan, memperluas kekuatan polisi dan melarang perkumpulan publik tanpa izin. Namun hal tersebut tidak mengurungkan para pengunjuk rasa untuk mengelar aksinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019