Deretan ratusan buluh bambu tertata rapi ditumpukan bara api dari pembakaran kayu-kayu bekas disebidang tanah pinggir jalan Gampong (desa) Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
Tidak semua orang mampu menahan hawa panas kayu api untuk memasak "leumang", seperti halnya Muhammad Yakub (43), lelaki paruh baya itu telah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan sebagai penjual "leumang".
Di atas sebidang tanah yang kini telah didirikan pondok beratap seng tanpa dinding itu, terlihat mulai ramai oleh warga untuk berburu "leumang" sebagai pengganan berbuka puasa bulan Ramadhan sejak pukul 16.00 WIB.
Muhammad Yakub terlihat sibuk meratakan bara api, sesekali menggunakan penjepit tang besi agar "leumang" bisa masak secara merata.
Sesekali jika api membesar pria berbadan tegap itu memisahkan bara api menggunakan tongkat sepanjang dua meter di tangannya.
“Leumang ini kita bakar selama empat jam baru matang,” kata Yakub seraya mengisahkan bahwa usaha kuliner ini berdiri sejak 2001.
Yakub meneruskan usaha yang dirintis orang tuanya sebagai usaha milik keluarganya. Awalnya usaha tersebut dirintis oleh orang tuanya yakni Hafsah, yang kini tidak kuat lagi mengurusi usahanya secara langsung, apalagi harus memanggang leumang.
"Alih generasi. Ibu saya kini masih rajin meracik adonan leumang atau lemang. Selanjutnya tugas kami memanggang sampai masak," katanya.
Hafsah, orang tua Yakub menjelaskan leumang terbuat menggunakan bahan utama seperti beras ketan putih atau hitam, ubi kayu, gula pasir, garam, serta diguyur dengan santan kental, lalu dimasukan dalam ruas buluh bambu, dan dipanggang.
Leumang Wak Hafsah itu juga disantap dengan selai khas buatannya, yang dimasak dalam wajan selama 60 menit dengan bahan utama kelapa, tepung, gula, telur, dan santan.
Rasa dan aromanya begitu khas dan nikmat.
“Kalau bulan puasa seperti ini kami buat leumang sebanyak 50 bambu beras. Itu lakunya sampai Rp4,5 juta sehari. Ada leumang beras ketan putih, ketan hitam, dan leumang ubi,” kata Hafsah.
Dari 50 bambu beras biasanya Hafsah dapat menghasilkan 150 batang buluh bambu yang telah berisikan adonan leumang. Terbagi dari berbagai ukuran buluh, dari yang kecil hingga berukuran setengah meter, dengan diameter mulai 3-5 centimeter.
Leumang Wak Hafsah dijual dengan harga yang bervariasi. Mulai dari harga Rp30.000 hingga Rp100.000 per batang, tergantung besaran buluh. Namun harga leumang ketan hitam atau putih, tidak ada bedanya dengan leumang ubi.
“Yang dijual eceran ada juga. Sudah dipotong-potong itu harganya Rp5.000-Rp10.000 per potong, tergantung besarnya,” kata Hafsah menambahkan bahwa leumang adalah kuliner khas Aceh yang wajib dilestarikan masyarakat.
Karena alasan itu juga Hafsah masih tetap bertahan dengan usahanya tersebut. Bahkan dalam meneruskan usahanya, Hafsah dibantu anak dan cucunya.
Hari biasa Hafsah juga tetap menjual leumang, namun tidak sebanyak seperti bulan Ramadhan. Hari biasa rata-rata lima bambu beras, namun selama bulan puasa bisa mencapai 50 bambu.
Hafsah juga menambahkan, leumangnya tersebut sudah terjual hingga ke luar negeri. Jika hari biasa pembelinya hanya masyarakat lokal Aceh saja, namun ketika Ramadhan ia mengantongi pesanan mulai dari masyarakat lokal, hingga Pulau Jawa dan luar negeri.
“Puasa yang lalu ada yang pesan dibawa ke Jawa, Malaysia, dan Palembang. Yang jauh-jauh seperti itu biasanya hari puasa saja,” ungkap Hafsah.
Seorang pembeli Siti (42), warga Lambaro Skep Banda Aceh menyebutkan bahwa ia sangat menyukai Leumang Wak Hafsah, terutama leumang ketan hitam.
Ketika Hafsah mulai menjajal dagangannya, kata Siti, dirinya langsung cepat mengantri untuk membelinya.
“Kalau kita pergi nanti sekitar 17.30 WIB itu udah enggak sanggup antri lagi ramai sekali. Makanya cepat-cepat beli sekarang,” katanya.
Siti mengakui sangat memperhatikan ketika membeli leumang. Menurutnya Leumang Wak pilihan yang terbaik. Hal itu menjadi alasanya saban Ramadhan selalu membeli leumang disitu.
Katanya, kalau adonan santan leumang tidak matang maka seseorang bisa masuk angin.
“Kalau untuk buka puasa belinya di tempat enggak jelas sakit perut ya, karena kalau leumang ini santanya tidak masak kita masuk angin. Kalau leumang Wak ini saya lihat hari ini dibuat hari ini juga habisnya, jadi bukan leumang sisa kemarin,” kata Siti, menambahkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
Tidak semua orang mampu menahan hawa panas kayu api untuk memasak "leumang", seperti halnya Muhammad Yakub (43), lelaki paruh baya itu telah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan sebagai penjual "leumang".
Di atas sebidang tanah yang kini telah didirikan pondok beratap seng tanpa dinding itu, terlihat mulai ramai oleh warga untuk berburu "leumang" sebagai pengganan berbuka puasa bulan Ramadhan sejak pukul 16.00 WIB.
Muhammad Yakub terlihat sibuk meratakan bara api, sesekali menggunakan penjepit tang besi agar "leumang" bisa masak secara merata.
Sesekali jika api membesar pria berbadan tegap itu memisahkan bara api menggunakan tongkat sepanjang dua meter di tangannya.
“Leumang ini kita bakar selama empat jam baru matang,” kata Yakub seraya mengisahkan bahwa usaha kuliner ini berdiri sejak 2001.
Yakub meneruskan usaha yang dirintis orang tuanya sebagai usaha milik keluarganya. Awalnya usaha tersebut dirintis oleh orang tuanya yakni Hafsah, yang kini tidak kuat lagi mengurusi usahanya secara langsung, apalagi harus memanggang leumang.
"Alih generasi. Ibu saya kini masih rajin meracik adonan leumang atau lemang. Selanjutnya tugas kami memanggang sampai masak," katanya.
Hafsah, orang tua Yakub menjelaskan leumang terbuat menggunakan bahan utama seperti beras ketan putih atau hitam, ubi kayu, gula pasir, garam, serta diguyur dengan santan kental, lalu dimasukan dalam ruas buluh bambu, dan dipanggang.
Leumang Wak Hafsah itu juga disantap dengan selai khas buatannya, yang dimasak dalam wajan selama 60 menit dengan bahan utama kelapa, tepung, gula, telur, dan santan.
Rasa dan aromanya begitu khas dan nikmat.
“Kalau bulan puasa seperti ini kami buat leumang sebanyak 50 bambu beras. Itu lakunya sampai Rp4,5 juta sehari. Ada leumang beras ketan putih, ketan hitam, dan leumang ubi,” kata Hafsah.
Dari 50 bambu beras biasanya Hafsah dapat menghasilkan 150 batang buluh bambu yang telah berisikan adonan leumang. Terbagi dari berbagai ukuran buluh, dari yang kecil hingga berukuran setengah meter, dengan diameter mulai 3-5 centimeter.
Leumang Wak Hafsah dijual dengan harga yang bervariasi. Mulai dari harga Rp30.000 hingga Rp100.000 per batang, tergantung besaran buluh. Namun harga leumang ketan hitam atau putih, tidak ada bedanya dengan leumang ubi.
“Yang dijual eceran ada juga. Sudah dipotong-potong itu harganya Rp5.000-Rp10.000 per potong, tergantung besarnya,” kata Hafsah menambahkan bahwa leumang adalah kuliner khas Aceh yang wajib dilestarikan masyarakat.
Karena alasan itu juga Hafsah masih tetap bertahan dengan usahanya tersebut. Bahkan dalam meneruskan usahanya, Hafsah dibantu anak dan cucunya.
Hari biasa Hafsah juga tetap menjual leumang, namun tidak sebanyak seperti bulan Ramadhan. Hari biasa rata-rata lima bambu beras, namun selama bulan puasa bisa mencapai 50 bambu.
Hafsah juga menambahkan, leumangnya tersebut sudah terjual hingga ke luar negeri. Jika hari biasa pembelinya hanya masyarakat lokal Aceh saja, namun ketika Ramadhan ia mengantongi pesanan mulai dari masyarakat lokal, hingga Pulau Jawa dan luar negeri.
“Puasa yang lalu ada yang pesan dibawa ke Jawa, Malaysia, dan Palembang. Yang jauh-jauh seperti itu biasanya hari puasa saja,” ungkap Hafsah.
Seorang pembeli Siti (42), warga Lambaro Skep Banda Aceh menyebutkan bahwa ia sangat menyukai Leumang Wak Hafsah, terutama leumang ketan hitam.
Ketika Hafsah mulai menjajal dagangannya, kata Siti, dirinya langsung cepat mengantri untuk membelinya.
“Kalau kita pergi nanti sekitar 17.30 WIB itu udah enggak sanggup antri lagi ramai sekali. Makanya cepat-cepat beli sekarang,” katanya.
Siti mengakui sangat memperhatikan ketika membeli leumang. Menurutnya Leumang Wak pilihan yang terbaik. Hal itu menjadi alasanya saban Ramadhan selalu membeli leumang disitu.
Katanya, kalau adonan santan leumang tidak matang maka seseorang bisa masuk angin.
“Kalau untuk buka puasa belinya di tempat enggak jelas sakit perut ya, karena kalau leumang ini santanya tidak masak kita masuk angin. Kalau leumang Wak ini saya lihat hari ini dibuat hari ini juga habisnya, jadi bukan leumang sisa kemarin,” kata Siti, menambahkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019