Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia GAPKI) mengemukakan industri sawit nasional dalam bahaya, karena mendapat tekanan Uni Eropa, sehingga perlu ada kebijakan strategis luar biasa dari pemerintah.

“Jika tidak segera ada kebijakan yang luar biasa, industri sawit nasional dalam bahaya,” kata Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI kepada wartawan usai Talk Show Millenial Bareng Sawit di Kebun Raya Bogor, Sabtu (3/8).

Siaran pers yang diterima, acara bincang sawit tersebut diselenggarakan oleh Warta Ekonomi bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).

Baca juga: Pengelolaan sawit ramah lingkungan di Aceh

Dikatakan, selain tertekan kebijakan Uni Eropa yang melarang pemakaian sawit sebagai bahan baku biofuel, harga minyak sawit di pasar dunia masih sangat rendah. Situasi ini membahayakan keberlanjutan industri strategis Indonesia tersebut.

Tofan mengatakan, pemberlakuan kebijakan RED (renewable energy directive) II oleh Uni Eropa  menjadi perhatian serius pemerintah dan para pelaku industri sawit. Meskipun saat ini pelarangan pemakaian sawit baru sebatas pada bahan baku biofuel, bukan tidak mungkin ke depan Uni Eropa juga memberlakukan larangan sawit sebagai bahan baku pangan dan oleokimia.

“Ya sangat mungkin seperti itu kalau kita melihat sekarang banyak produk makanan dari Uni Eropa, yang berstiker palm oil free. Sukses melarang sawit untuk biofuel, mungkin sasaran tembak berikutnya adalah sawit untuk makanan kemudian ke oleokimia,” kata Tofan. 

Baca juga: Harga kelapa sawit anjlok di Aceh, ini pendapat Gapki

Meski tidak berkait langsung, Tofan percaya bahwa kampanye negatif dan pelarangan sawit untuk biofuel di Uni Eropa sukses memberikan sentimen negatif ke pasar. Akibatnya harga sawit sulit bangkit bahkan terus bertahan pada level terendah dalam kurun lebih dari satu dekade terakhir.

“Pasokan minyak nabati yang berlebih memang mempengaruhi kondisi harga saat ini, namun sentimen melemahnya prospek pasar sawit di benua biru, ikut menyumbang situasi ini “ kata Tofan menjawab pertanyaan wartawan terkait harga CPO yang masih rendah di kisaran USD 480 per ton. 

Bagaimana saran dari pelaku industri menyikapi situasi ini? “Pemerintah dan pelaku usaha harus duduk bersama, merapatkan barisan, dan merumuskan strategi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk pengembangan industri sawit nasional,” kata Tofan.

Baca juga: Gubernur: tidak ada kelapa sawit di Aceh yang merusak lingkungan

Dalam jangka pendek, kata dia, tidak ada pilihan selain pemerintah harus dengan segala cara memperbesar penyerapan minyak sawit di pasar domestik.

“Salah satunya yang paling realistis dan efektif adalah mempercepat pelaksanaan program mandatori B30 dari jadwal semula tahun depan menjadi tahun ini,” katanya.

Tofan berharap pemerintah memberikan perhatian besar terhadap situasi industri sawit saat ini. Jika tidak ada upaya luar biasa untuk mengangkat harga sawit dalam jangka pendek, neraca perdagangan tahun ini terancam defisit.

Baca juga: ISMI kembangkan gula aren dari kelapa sawit di Aceh

“Tahun lalu sumbangan devisa ekspor sawit mencapai USD 20,8 miliar, tahun ini dengan melihat pergerakan harga mulai awal tahun hingga Juli, rasanya sumbangan devisa dari ekspor sawit akan turun,” kata mantan Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos ini.

Sementara itu, dalam Talk Show Milenial Bareng Sawit kemarin, selain Tofan juga tampil sebagai pembicara yaitu Isabella Silalahi (Direktur Marketing PT Mustika Ratu Tbk) dan Brury Wijaya dari PT Garuda Food Putra Putri Jaya Tbk).

Pewarta: Heru

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019