Pemerintah Aceh menyatakan, pengelolaan kelapa sawit  di provinsi paling barat Indonesia tersebut lebih ramah lingkungan demi mencegah isu-isu negatif, sehingga produk minyak sawit dapat diterima oleh pasar di luar negeri.

"Salah satu provinsi menerapkan pengelolaan perkebunan berwawasan lingkungan terutama kelapa sawit, yakni Aceh," tegas Juru Bicara Pemerintah Aceh, Wiratmadinata di Banda Aceh, Rabu.

Ia menjelaskan, hal tersebut telah dituangkan dalam kerangka kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh dari total 15 program unggulan di antaranya bernama Aceh Green atau Aceh Hijau.

Bahkan, lanjutnya, dari serangkaian kunjungan kerja Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah ke Belanda menyampaikan dalam pertemuan diikuti penggiat lingkungan Uni Eropa, dan  pendonor organisasi lingkungan dunia bahwa minyak sawit dari Aceh ditanam tanpa merusak lingkungan.

Baca juga: Gubernur: tidak ada kelapa sawit di Aceh yang merusak lingkungan

Tetapi di sisi lain Pemerintah Aceh ingin memasarkan produk, seperti minyak sawit, jagung, dan komoditas unggulan lainnya dengan mengikuti aturan dan persyaratan yang harus berwawasan lingkungan.

Data terakhir Pemerintah Aceh menyebut, dari total luas lahan perkebun sawit mencapai 140 ribu hektare lebih, di antaranya sebanyak 51 persen merupakan milik rakyat atau petani, dan 49 persen sisanya lahan perkebunan milik perusahaan.

"Tren di dunia dewasa ini, jika kita tidak kelola dengan berwawasan lingkungan, maka tidak dibeli oleh Eropa. Kalau kita mau jual sawit ke Eropa, maka dia harus punya jaminan bahwa itu dikelola secara baik. Di antaranya tidak bakar hutan, tidak menghancurkan habitat orangutan, dan lain sebagainya," tegas dia.

Baca juga: Harga kelapa sawit anjlok di Aceh, ini pendapat Gapki

Ia mengaku, selama dua tahun pemerintahan Irwandi-Nova ingin benar-benar memastikan bahwa pengelolaan kelapa sawit harus peduli terhadap lingkungan demi keberlanjutan yang diwariskan anak dan cucu.

Pemerintah Aceh telah menargetkan selama lima tahun kepemimpinan Irwandi-Nova di antaranya mengurangi angka kemiskinan satu digit setiap tahunya dari 15 persen menjadi 10 persen, dan tingginya angka penggangguran.

"Ini bukan kampanye kosong, nanti silakan lihat. Selama di Belanda, kami juga bertemu raksasa-raksasa memproduksi makanan dan minuman di dunia. Mereka juga menerapkan standar lingkungan, Aceh mau ikuti standar itu. Kalau di anggap belum memenuhi, maka kita ikuti skemanya dan mekanisme seperti apa, terpenting adil," katanya.

"Soal komitmen lingkungan itu jelas, bahkan mereka (Belanda) mau datang kemari. Kita di Aceh tak seperti daerah lain yang bakar hutan, " jelas Wiratmadinata.

Baca juga: 15.259 hektare sawit di Aceh diremajakan

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guérend ketika mengunjungan provinsi berjuluk "Serambi Makkah" selama tiga hari tahun ini telah melihat dan memperoleh informasi secara langsung mengenai perkem6bangan terakhir di Aceh dan mengunjungi proyek-proyek bantuan Uni Eropa di bidang pengelolaan hutan.

"Uni Eropa telah lama menjalin hubungan dengan Aceh. Dari bantuan dana yang signifikan untuk rekonstruksi pascatsunami, dukungan ekstensif untuk proses perdamaian Aceh dan bantuan untuk memastikan perlindungan dan pelestarian kawasan hutan yang luas termasuk Taman Nasional Leuser," kata Dubes Guérend.

UE juga telah bekerja sama sangat erat dengan Aceh, khususnya dalam mendukung upaya mitigasi perubahan iklim melalui konservasi hutan dan perencanaan yang lebih baik sehingga Aceh dapat menjadi panutan yang menunjukkan bahwa konservasi hutan dan pembangunan dapat sama-sama dilaksanakan.

Dalam kunjungan tersebut, Dubes UE akan mengumumkan berakhirnya proyek bantuan Uni Eropa Dukungan terhadap upaya tanggap perubahan iklim di Indonesia" senilai 6,5 juta Euro atau sekitar Rp96,5 miliar untuk periode 2016-2019.

Pewarta: Muhammad Said

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019