Banda Aceh (ANTARA) - Di tengah maraknya penggunaan isu agama sebagai komoditas politik dalam Pilkada Aceh 2024, pemilih dari kelompok minoritas agama di Banda Aceh mengaku lebih memilih kandidat yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan infrastruktur tanpa menjadikan agama sebagai alat kampanye.
"Saya lebih cenderung memilih calon yang nasionalis, netral, dan tidak terlalu agamis. Fokusnya harus pada pembangunan ekonomi dan kebutuhan semua masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu," kata salah seorang warga Banda Aceh keturunan etnis Tionghoa, EF usai mencoblos pada, Rabu lalu (27/11).
EF mengatakan, banyaknya kandidat yang "jualan agama" sempat membingungkannya dalam menentukan pilihan. Menurut dia, agama seharusnya tidak dijadikan alat politik, terutama karena Aceh merupakan rumah bagi berbagai suku dan agama yang hidup harmonis dan berdampingan.
Baca juga: Mualem-Dek Fadh klaim menang 62 persen, Bustami-Fadhil menang 54,41 persen
Alih-alih mengangkat isu agama, kata EF, para kandidat seharusnya dapat menarik simpati pemilih dengan menawarkan solusi konkret untuk masalah yang dihadapi masyarakat Aceh. Ada banyak isu mendesak yang seharusnya menjadi perhatian kandidat, seperti pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan distribusi air bersih.
Dirinya mencontohkan, krisis distribusi air bersih di Gampong Peunayong yang hingga kini belum terselesaikan. Isu-isu seperti inilah yang diharapkan EF menjadi janji dari para kandidat yang maju pada Pilkada Aceh 2024.
"Di daerah kami, air hanya mengalir tengah malam. Banyak pipa bocor, dan ini harus jadi prioritas perbaikan. Air adalah kebutuhan dasar, seharusnya ini yang dibawa dalam kampanye," ujarnya.
Berbeda dengan EF, Siska Yosepin, warga Banda Aceh beragama Katolik, mengatakan tidak keberatan jika kandidat mengangkat isu syariat Islam dalam kampanye mereka, asalkan tidak bertentangan dengan keyakinannya.
Namun, ia juga lebih memilih kandidat yang tidak menjadikan agama sebagai komoditas politik dengan mempertimbangkan kinerja calon tersebut jika pernah menjabat sebagai kepala daerah, serta melihat visi dan misi kandidat yang sesuai dengan Pancasila.
“Saya pilih kandidat dengan visi misi yang sesuai dengan Pancasila, yang terutama mensejahterakan rakyat, banyak lapangan pekerjaan, keadilan, pembangunan yang merata, serta yang ingin memajukan pendidikan di Aceh yang menurut saya sangat tertinggal,” katanya.
Dominasi isu agama dalam visi misi
Dominasi isu agama terlihat jelas dalam visi-misi calon Gubernur Aceh pada Pilkada 2024 melalui sejumlah program kerja yang mereka janjikan jika terpilih.
Misalnya, pasangan calon gubernur Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi yang mengusung visi “Aceh Sejahtera, Berkeadilan, dan Beridentitas.” Salah satu misi mereka adalah menciptakan keadilan dan kesetaraan pembangunan untuk seluruh masyarakat Aceh tanpa membedakan ras, suku, kelompok, golongan, maupun agama.
Namun, sejumlah program prioritas yang ditawarkan paslon nomor urut 1 ini tampak lebih spesifik menargetkan satu kelompok agama saja. Contohnya, dalam program Pendidikan Unggul Aceh: Menuju Generasi Berkualitas dan Berprestasi, mereka menjanjikan pemberian beasiswa bagi penghafal Al-Qur'an serta santri dayah untuk melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah.
Selain itu, program Penguatan Identitas Keacehan yang Cerdas, Berbudaya, dan Religius mencakup peningkatan kuota jamaah haji Aceh, pemberian beasiswa bagi santri dan alumni dayah, serta penyediaan insentif bagi gure-gure (guru) dayah.
Baca juga: Bustami optimis menang di Pilgub Aceh, Mualem pindah TPS di Aceh Utara
Pasangan calon Gubernur Aceh lainnya, Muzakir Manaf-Fadhlullah, mengusung visi “Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan.” Program-program unggulan yang ditawarkan paslon nomor urut 2 ini juga banyak yang fokus pada satu kelompok agama.
Beberapa di antaranya meliputi pembangunan Islamic Center Aceh, peningkatan tata kelola zakat, infak, sedekah, dan wakaf, penataan Masjid Raya Baiturrahman, serta pelatihan dan tahsin (perbaikan) baca Al-Qur’an.
Mereka juga merencanakan menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas warga, penyediaan modal usaha dan pengembangan ekonomi untuk dayah, pelatihan dan pemberian beasiswa untuk santri dan tenaga pengajar dayah, serta penguatan dakwah di perbatasan dan daerah terpencil di Aceh.
Program-program ini menunjukkan bagaimana isu agama masih mendominasi visi dan misi para kandidat, yang berpotensi mengenyampingkan keberagaman kebutuhan masyarakat Aceh secara keseluruhan.
Keberagaman harus jadi perhatian
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, Abdul Hamid Zein, menekankan pentingnya perspektif keberagaman dalam visi-misi dan kampanye para kandidat Pilkada Aceh 2024 untuk arah pembangunan Aceh ke depan.
“Para calon ini harus hadir. Tidak boleh ke kiri, tidak boleh ke kanan, tidak boleh ke si A, tidak boleh ke si B karena di Aceh tidak hanya Islam, ada lima pemeluk agama lain yang juga hidup di Aceh,” kata Hamid.
Data Kementerian Agama (2023) mencatat bahwa mayoritas penduduk di Provinsi Aceh beragama Islam dengan jumlah mencapai 5.438.906 jiwa. Selain itu, terdapat pemeluk Kristen sebanyak 63.997 jiwa, Katolik 5.913 jiwa, Buddha 667 jiwa, pemeluk agama lain 255 jiwa, dan Hindu 96 jiwa.
Hamid mengatakan bahwa ia tidak menampik keistimewaan Aceh dalam penerapan syariat Islam yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Baca juga: Mahasiswa perantauan di Aceh golput Pilkada 2024, berat di ongkos jadi kendala
Kendati demikian, ia menggarisbawahi bahwa kerukunan antarumat beragama tetap dijamin secara hukum melalui Pasal 127 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan diperkuat oleh Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014.
“Disebut disana, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya,” katanya.
Aturan tersebut, kata Hamid, menjadi landasan bagi pemerintah untuk memberikan perhatian yang setara kepada kelompok minoritas, memastikan mereka tidak mengalami diskriminasi, atau keterpinggiran dalam berbagai sektor pembangunan
“Jangan sampai, sungguh pun kita berlaku syariat Islam, kaum-kaum minoritas nanti tereliminasi. Kaum minoritas harus mendapat tempat yang baik di Aceh,” tegasnya.
Lebih lanjut, Hamid menekankan pentingnya pembangunan Aceh yang inklusif, dengan memastikan tersedianya fasilitas ibadah, seperti masjid, gereja, vihara, dan pura, sesuai dengan ketentuan administratif dan teknis yang berlaku.
Ia juga menambahkan perlunya menjaga keharmonisan antar umat beragama melalui pengaktifan lembaga adat, pemberdayaan FKUB, serta memperluas partisipasi semua kelompok masyarakat.
“Berikutnya adalah mengembangkan wawasan multikultural serta kemampuan mengelola setiap konflik yang muncul di tengah masyarakat,” pungkas Hamid.
Baca juga: Hasil lengkap penghitungan suara Pilkada 2024 di Banda Aceh, Illiza-Afdhal dan Bustami-Fadhil menang