Polri sebagai Institusi Politik Baru
Dalam dua dekade terakhir, peran Polri berkembang jauh melampaui mandat kepolisian konvensional. Institusi ini tidak hanya menjalankan fungsi penegakan hukum, tetapi juga terlibat langsung dalam menjaga stabilitas politik elektoral, mengatur dinamika ruang digital, memediasi berbagai konflik sosial, hingga mempengaruhi arah opini publik. Spektrum peran yang semakin luas ini menunjukkan bagaimana Polri menjadi aktor sentral dalam hampir seluruh aspek keamanan domestik.
Ekspansi tersebut diperkuat oleh penempatan lebih dari ratusan perwira aktif di berbagai kementerian dan lembaga sipil. Praktik ini secara praktis memperluas jangkauan kepolisian ke ranah birokrasi sipil, sekaligus menandai semakin kaburnya batas antara domain keamanan dan pemerintahan sipil.
Meluasnya peran ini akhirnya memicu keprihatinan tingkat konstitusional. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 114/2025 yang dibacakan pada 13 November 2025, menganulir frasa 'atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri' dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil, sebuah langkah yang menegaskan bahwa ekspansi horizontal Polri telah melampaui batas yang wajar dalam sistem demokrasi.
Putusan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa keseimbangan kekuasaan perlu dijaga agar kepolisian tetap berfungsi dalam koridor yang proporsional dan akuntabel.
Baca juga: Tiga polisi gugur saat gerebek sabung ayam, pelaku diduga oknum TNI
Polri Di Peta ASEAN: Sebuah Keniscayaan
Struktur kepolisian Indonesia berada dalam posisi yang unik sekaligus mengkhawatirkan di kawasan. Bahkan negara-negara ASEAN yang tidak sepenuhnya demokratis memiliki mekanisme pengawasan atau pemisahan fungsi yang lebih maju dibanding Indonesia. Di Filipina, National Police Commission (NAPOLCOM) berwenang mengatur promosi, disiplin, dan investigasi aparat, sehingga memberikan kontrol sipil yang nyata terhadap institusi kepolisian. Malaysia memiliki Enforcement Agency Integrity Commission (EAIC) yang dibekali mandat investigatif kuat untuk memeriksa pelanggaran etik dan penyalahgunaan wewenang.
Thailand, meskipun sering mengalami pergantian rezim, tetap mempertahankan desentralisasi lebih besar ketika pemerintahan sipil berjalan, memberi ruang kontrol lokal terhadap kepolisian. Sementara Singapura, yang dikenal sebagai negara semi-demokratis dengan kontrol politik yang ketat, tetap memisahkan Internal Security Department (ISD) dari kepolisian agar fungsi intelijen tidak bercampur dengan penegakan hukum.
Bahkan dua rezim otoritarian di kawasan Vietnam dan Laos memisahkan sebagian fungsi administratif dari kepolisian untuk mencegah konsentrasi kekuasaan total dalam satu institusi. Dari perbandingan ini, gambaran yang muncul cukup jelas, Polri merupakan salah satu institusi kepolisian paling terpusat di ASEAN.
Tingkat konsentrasi kewenangannya bukan hanya melampaui polisi di negara demokratis maju, tetapi bahkan lebih absolut dibanding beberapa negara otoritarian di kawasan. Temuan ini menegaskan bahwa tantangan reformasi kepolisian di Indonesia bukan sekadar soal kapasitas, tetapi persoalan struktur kekuasaan yang telah mengkristal sepanjang sejarah.
Implikasi bagi Demokrasi Indonesia
Absolutisme Polri merupakan mismatch antara demokrasi elektoral dan struktur sektor keamanan yang masih berwatak otoritarian. Dalam literatur democratic backsliding, ketidakseimbangan ini merupakan salah satu indikator paling serius bahwa demokrasi tidak terkonsolidasi.
Terdapat tiga konsekuensi utama:
Rule of law melemah
Pengawasan internal tidak cukup untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, sementara pengawasan eksternal tidak memiliki kekuatan intervensi.
Kebebasan sipil rentan tertekan
Ketika institusi koersif memiliki monopoli kekuatan legal dan informasi, ruang kebebasan publik dapat menyempit tanpa mekanisme korektif memadai.
Checks and balances terdistorsi
Kuatnya Polri menciptakan ketergantungan politik terhadap aparat, mengurangi kapasitas lembaga sipil, dan melemahkan institusi demokratis lainnya.

Sintesis: Mengapa Reformasi Polri Mendesak?
Reformasi Polri menjadi kebutuhan mendesak karena struktur, kewenangan, dan pola hubungan politik yang terbentuk selama dua dekade terakhir telah menciptakan ketidakseimbangan serius dalam arsitektur demokrasi Indonesia.
Tiga hal penting yang menjadi cermin bagi masa depan demokrasi Indonesia. Pertama, struktur Polri saat ini merupakan warisan otoritarian yang tidak pernah direformasi secara mendalam. Banyak pola, kultur, dan desain kelembagaan dari masa sebelumnya tetap bertahan, membentuk institusi yang sangat terpusat dan dominan dalam pengelolaan keamanan domestik.
Kedua, alih-alih dipersempit, kewenangan Polri justru bertambah luas sepanjang era pascareformasi. Ekspansi mandat itu tidak diikuti mekanisme pengawasan yang kuat, sehingga memperbesar kesenjangan antara kekuasaan dan akuntabilitas. Fungsi penegakan hukum, intelijen, keamanan digital, hingga stabilitas politik terakumulasi dalam satu institusi tanpa batasan operasional yang tegas.
Ketiga, kondisi ini dipertahankan oleh insentif politik. Elite sipil cenderung melihat Polri sebagai alat stabilitas yang efektif, sehingga memilih menjaga status quo ketimbang mendorong reformasi struktural. Stabilitas jangka pendek menjadi prioritas, sementara penguatan oversight dan akuntabilitas dikesampingkan.
Secara komparatif, Indonesia menjadi satu-satunya negara demokrasi modern yang masih mempertahankan model kepolisian nasional terintegrasi dengan kewenangan seluas ini dan pengawasan sipil yang selemah ini. Kombinasi tersebut menjadikan situasi Indonesia sebagai anomali global sebuah kondisi yang secara struktural berpotensi menggerus kualitas demokrasi dalam jangka panjang jika tidak dibenahi melalui reformasi yang sistematis dan komprehensif.
Polri adalah institusi penting dalam menjaga keamanan publik. Namun demokrasi modern mensyaratkan bahwa kekuasaan koersif harus dibatasi, dipisahkan, dan diawasi. Perbandingan internasional dalam dokumen sumber menunjukkan bahwa absolutisme struktural Polri tidak lagi sesuai dengan tuntutan demokrasi kontemporer.
Indonesia membutuhkan reformasi kepolisian yang bukan hanya prosedural, tetapi structural meliputi fragmentasi kewenangan, pemisahan fungsi, dan pembentukan pengawasan sipil independen yang berkuasa penuh. Tanpa itu, demokrasi Indonesia akan terus berada dalam bayang-bayang sektor keamanan yang terlalu kuat, sementara institusi sipil tidak mampu berfungsi sebagai penyeimbang.
Baca juga: Polda Aceh investigasi dugaan pemerasan oleh Kapolres Bireuen
*Penulis Dr. Safriady S.sos, M.I.kom adalah pemerhati isu strategis, akademisi, praktisi media, instruktur pelatihan, dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran.
