Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mendesak DPRK Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah untuk segera menggelar Pansus terkait kabar adanya penolakan ekspor terhadap kopi Arabica Gayo oleh negara-negara di Eropa, karena disebut mengandung kimia glyphosate di atas ambang batas.

Ketua GMNI Aceh Tengah, Mulyadi kepada wartawan di Takengon, Minggu mengatakan, Pansus perlu dilakukan, baik oleh DPRK Aceh Tengah dan Bener Meriah, sebagai daerah penghasil kopi Arabica Gayo, karena kabar yang belakangan beredar telah sangat meresahkan masyarakat di kedua daerah tersebut.

"Hal ini perlu dilakukan. Masalah kopi gayo ditolak pembeli luar negeri juga pernah terjadi sebelumnya. Tapi itu lantaran kopi gayo telah dicampur dengan kopi dari luar Aceh Tengah dan Bener Meriah," tutur Mulyadi.

Baca juga: Eksportir keluhkan kopi Gayo ditolak buyer Eropa

Menurutnya, hal ini juga perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah setempat dengan segera mengambil langkah-langkah untuk perlindungan kopi gayo kedepannya.

"Kita juga mendesak Pemda dan DPRK Aceh Tengah-Bener Meriah untuk segera membuat Qanun dan Perbub tentang budidaya dan perdagangan kopi. Agar hasil kopi baik dan harga tetap stabil," ujarnya.

Baca juga: Kontrak perdagangan luar negeri kopi arabica gayo melemah

Mulyadi menyayangkan selama ini pemerintah daerah setempat belum pernah menerbitkan aturan atau kebijakan khusus dalam upaya pengembangan dan perlindungan terhadap kopi gayo atau juga terkait kesejahteraan para petani kopi di daerah itu.

Karena itu menurutnya, kondisi saat ini merupakan momen yang tepat bagi pemerintah daerah untuk mulai serius memikirkan tentang masa depan kopi gayo.

"Pemerintah Aceh Tengah dan Bener Meriah selama ini jalan di tempat. Tidak ada sama sekali memberikan rasa nyaman terhadap masa depan kopi gayo. Tentu ini menjadi penyebab hal-hal negatif tentang kopi gayo bisa terjadi," ucap Mulyadi.

Sementara di sisi lain, Mulyadi juga turut mempertanyakan keberadaan sejumlah koperasi kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah, tentang bagaimana mereka selama ini membina petani di kelompoknya hingga menerbitkan sertifikat organik terhadap kebun-kebun kopi binaan.

"Kebun kopi milik petani banyak diklaim dan diberi tanda oleh pihak koperasi, katanya sudah sertifikat organik. Kami menduga proses pemberian sertifikat organik ini cacat, tidak sesuai prosedur. Asal tempel di kebun masyarakat dan ini sudah berjalan cukup lama," ujarnya.

Mulyadi juga meminta pihak koperasi dan eksportir yang menyebut produk ekspornya ditolak oleh buyer luar negeri, untuk terbuka dari wilayah mana asal kopi tersebut.

"Apakah dari Aceh Tengah atau Bener Meriah. Kemudian berada di kecamatan mana dan desa apa. Hal ini perlu kita desak lantaran banyaknya mafia kopi di Gayo yang setiap saat mencekik petani kopi," ucapnya.

Terakhir, mahasiswa ini juga mempertanyakan tentang premium fee yang menjadi hak bagi petani kopi gayo selama ini, sebagai kompensasi terhadap mereka yang telah berupaya menghasikan kopi organik.

Tentang bagaimana penyalurannya selama ini dilakukan oleh koperasi. Tentang apakah sebenarnya premium fee tersebut selama ini telah benar-benar sampai dan dinikmati oleh para petani, sehingga dapat memotifasi mereka untuk terus menghasilkan kopi yang organik.

Pewarta: Kurnia Muhadi

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019