Stunting (kerdil) menjadi persoalan yang dianggap serius oleh pemerintah dan pada Tahun Anggaran 2024 masalah tersebut ditargetkan dapat ditekan menjadi di bawah 20 persen.
Persoalannya tidak mudah karena pemahaman masyarakat terhadap asupan gizi pada anak-anak berbeda-beda. Bahkan ada yang mengikuti pola asuh dari orang tuanya atau turun temurun.
Ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah. Ternyata di kota-kota besar yang serba modern hal itu juga terjadi.
Masih banyak orang tua yang menganggap anaknya sekedar kenyang maka kebutuhan gizi sudah terpenuhi. Padahal makanan untuk anak harus dipastikan apakah karbohidrat, protein, mineral dan vitamin sudah terkandung dan seimbang.
Bahkan program pencegahan stunting merupakan salah satu anggaran yang tidak direvisi pemerintah Indonesia selama wabah COVID-19. Studi menunjukkan setiap kelahiran bayi stunting akan menurunkan kualitas generasi penerus sehingga masalah ini yang dicegah pemerintah di tengah wabah sekarang.
Pencegahan stunting juga menjadi perhatian sektor swasta seperti program yang digulirkan Tanoto Foundation. Mengingat tahun 2019 angka stunting di Indonesia masih di angka 27,7 persen sehingga masih membutuhkan kerja keras untuk menghapus angka stunting di Indonesia.
Senior Technical and Liasion Adviser Early Childhood Education and Development Tanoto
Foundation, Widodo Suhartoyo mengatakan program yang digulirkan lebih banyak kepada edukasi kepada masyarakat. Berdasarkan fakta persoalan stunting disebabkan faktor non gizi atau non kesehatan seperti mengubah perilaku masyarakat.
Fakta juga memperlihatkan kasus stunting 90 persen disebabkan perilaku yang salah, bukan
semata-mata karena orang tua tidak mampu. Karena itu penting untuk menjalankan program edukasi kepada masyarakat untuk memenuhi target stunting di bawah 20 persen tahun 2024.
Bahkan sebelum anak itu lahir, orang tua sudah diikutkan dalam program pencegahan stunting.
Mengutip data Bank Dunia, Widodo
menjelaskan, apabila kita tidak melakukan apa-apa untuk program stunting ini maka di tahun 2022 angkanya akan berkisar di 28 persen. Kalau melaksanakan program tetapi biasa-biasa saja maka angkanya di 24 persen, tetapi kalau strateginya bagus bisa mencapai 22 persen.
Sejauh ini baru 114 dari 260 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki regulasi untuk mencegah stunting. Kemudian baru 39 kabupaten/kota yang sudah memiliki
strategi komunikasi untuk mencegah stunting.
Tanoto Foundation memiliki tiga pendekatan untuk menurunkan angka stunting, yakni peningkatan kualitas pengasuhan, peningkatan akses dan peningkatan kualitas layanan pengembangan anak usia dini.
Pelaksanaannya melalui berbagai saluran seperti Posyandu, komunitas dan
sebagainya dengan tujuan untuk memberikan pembelajaran sejak awal atau sedini mungkin untuk mengubah perilaku.
Seperti di salah satu kampung nelayan. Ternyata masih terjadi kasus stunting padahal stok ikan melimpah.
Setelah dipelajari, anak-anak di kampung itu bosan untuk mengonsumsi ikan karena ibu
rumah tangga hanya bisa mengolah dengan cara digoreng atau dibakar.
Maka sasaran program di kampung itu memberikan pelajaran memasak dan mengolah daging ikan dengan berbagai resep agar anak-anak tidak bosan lagi.
Widodo mengatakan program edukasi untuk mencegah stunting ini bekerjasama dengan pemerintah daerah difasilitasi Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) RI.
Widodo menjelaskan animo pemerintah daerah untuk mengikuti program pencegahan stunting ini sangat besar. Apalagi mayoritas program yang dijanjikan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah adalah memberantas kemiskinan.
Widodo mengakui untuk mengubah perilaku masyarakat terkait pemenuhan gizi anak tidak bisa seketika (one shot activity). Tetapi diperlukan upaya terus-menerus dengan
mempertimbangkan budaya/konteks lokal melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama dan sebagainya.
Libatkan Kemenkoinfo
Drg Marlini Ginting dari Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kementerian Kesehatan RI dalam web seminar bertajuk "Peran Komunikasi Perubahan Perilaku Dalam Mencegah Stunting" mengakui komunikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk pencegahan stunting di berbagai daerah. Program ini juga melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Marlini mengatakan yang dibangun dalam program pencegahan stunting adalah kesadaran masyarakat sehingga mereka akan melakukan perilaku yang kita harapkan. Kendalanya saat ini akses informasi untuk menyentuh masyarakat belum banyak.
Ia menambahkan, selain kampanye perubahan perilaku, yang jadi fokus petugas kesehatan atau kader agar memiliki kapasitas untuk menyampaikan komunikasi.
Untuk pencegahan stunting, diperlukan strategi nasional dan bermuatan lokal. Advokasi juga
harus dilakukan jangka panjang atau berkelanjutan yang diimulai dari masa remaja, persiapan perkawinan, sampai sebelum kehamilan.
Kementerian Kesehatan menargetkan tahun 2024 semua kabupaten dan kota sudah melakukan kampanye pencegahan stunting. Sedangkan pakar nutrisi Dr Rita Ramayulis, DCN, M.Kes mengatakan stunting merupakan kondisi akibat kekurangan gizi kronis secara akumulatif. Bukanlah kasus akut, melainkan keadaan
yang terjadi sedikit demi sedikit secara "akumulatif.”
Stunting adalah gagal tumbuh dan gagal kembang. Anak pendek belum tentu stunting, tapi salah satu indikator stunting adalah pendek.
Stunting bukan melulu soal tinggi badan yang tidak tercapai. Lebih jauh lagi, kondisi ini akan menentukan kualitas anak di kemudian hari.
Stunting berkembang selama 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Kondisi pada ibu
hamil akan mempengaruhi kondisi ibu saat melahirkan nanti, yang akan mempengaruhi kondisi bayi usia 0-6 bulan, 7-11 bulan, lalu 12-24 bulan.
Karena itu bagi ibu yang hamil agar memperhatikan perjalanan tersebut dengan tidak absen memperhatikan gizi yang dikonsumsi diri dan bayinya.
Rita menyayangkan, banyak perilaku selama 1.000 HPK yang meningkatkan kerentanan terjadinya stunting. Misalnya, masih banyak ibu hamil yang tidak paham soal stunting dan tidak meyakini bahwa stunting bisa terjadi akibat pola makan yang salah sehingga tidak melakukan
pencegahan sejak awal.
Sebagian ibu merasa bahwa kehamilan adalah kondisi biasa saja sehingga tidak memperbaiki pola makannya. Sebagian lain menganggap bahwa makan saat hamil diperuntukkan bagi dua orang.
Akibatnya, hanya porsi nasi yang ditambah agar kenyang. Belum lagi mitos untuk menghindari
daging merah, makanan laut dan kacang-kacangan, yang akhirnya membuat ibu hamil kekurangan protein..
Saat melahirkan, masih banyak ibu yang tidak melakukan IMD (inisiasi menyusui dini). Ada pula yang melakukan tapi caranya salah.
Bayi hanya diletakkan di area puting susu ibu dan dianggap selesai. “Padahal yang kita inginkan, bayi bergerak sendiri dari perut ibu untuk mencari puting susu ibu,” kata Rita.
Hambatan lain, ada persepsi bahwa ibu melahirkan pasti capek sehingga
bayi pisah kamar dengan ibu agar ibu bisa beristirahat.
Dikuatkan
Sedangkan Risang Rimbatmaja dari Yayasan Cipta (NGO yang banyak bergerak di bidang kesehatan dan lingkungan) mengatakan komunikasi perubahan perilaku semakin disadari pentingnya dalam urusan
kesehatan. Dalam hal pencegahan stunting harus terus dikuatkan.
Menurut Risang, stunting merupakan istilah yang abstrak bagi orang yang tidak bergerak di
bidang kesehatan.
Selama ini komunikasinya juga mengalami perubahan. Dulu disebut kerdil, pendek dan sekarang stunting.
Stunting merupakan kekurangan gizi dalam waktu yang lama yang membuat otak tidak berkembang, mudah sakit dan rentan menderita penyakit tidak menular saat dewasa nanti.
Membahasakan konsep kesehatan pada masyarakat harus disampaikan dampaknya. Masalahnya stunting itu dampaknya akan terlihat dalam jangka panjang.
Beberapa isu yang terkait dengan komunikasi perilaku pada isu stunting antara lain, dampaknya seberapa panjang, bagaimana cara mengukur tinggi badan, sudah makan banyak dan bergizi kenapa masih stunting dan sebagainya.
Risang menyarankan bagi para kader Posyandu atau tenaga kesehatan untuk menyampaikan informasi dengan santai, tidak reaktif, apalagi marah-marah dan lebih banyak mendengarkan.
Membangun kepercayaan merupakan kunci keberhasilan program komunikasi perubahan perilaku. Pembuatan poster dan penggunaan istilah juga harus berhati-hati agar tidak menimbulkan stigma.
Komunikasi perubahan perilaku tidak serta merta mengubah orang. Tapi tetap diperlukan, dengan demikian kita harus bergandengan dengan intervensi model lain.
Berbagai gambaran ini membuat kunci dari pencegahan stunting ini berkaitan dengan perilaku dan budaya yang ada di masyarakat itu.
Dari segi sumber alam suatu daerah tidak mengalami kekurangan sumber gizi, namun ada tradisi dan perilaku yang membuat anak-anak di suatu daerah justru kekurangan gizi.
Ada anggapan di salah satu masyarakat selelah melahirkan tetapi belum diselenggarakan selamatan maka anak itu tidak boleh di bawah keluar. Padahal selama menjalani "karantina" kebutuhan gizi ibu dan anak belum tentu bisa terpenuhi.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Persoalannya tidak mudah karena pemahaman masyarakat terhadap asupan gizi pada anak-anak berbeda-beda. Bahkan ada yang mengikuti pola asuh dari orang tuanya atau turun temurun.
Ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah. Ternyata di kota-kota besar yang serba modern hal itu juga terjadi.
Masih banyak orang tua yang menganggap anaknya sekedar kenyang maka kebutuhan gizi sudah terpenuhi. Padahal makanan untuk anak harus dipastikan apakah karbohidrat, protein, mineral dan vitamin sudah terkandung dan seimbang.
Bahkan program pencegahan stunting merupakan salah satu anggaran yang tidak direvisi pemerintah Indonesia selama wabah COVID-19. Studi menunjukkan setiap kelahiran bayi stunting akan menurunkan kualitas generasi penerus sehingga masalah ini yang dicegah pemerintah di tengah wabah sekarang.
Pencegahan stunting juga menjadi perhatian sektor swasta seperti program yang digulirkan Tanoto Foundation. Mengingat tahun 2019 angka stunting di Indonesia masih di angka 27,7 persen sehingga masih membutuhkan kerja keras untuk menghapus angka stunting di Indonesia.
Senior Technical and Liasion Adviser Early Childhood Education and Development Tanoto
Foundation, Widodo Suhartoyo mengatakan program yang digulirkan lebih banyak kepada edukasi kepada masyarakat. Berdasarkan fakta persoalan stunting disebabkan faktor non gizi atau non kesehatan seperti mengubah perilaku masyarakat.
Fakta juga memperlihatkan kasus stunting 90 persen disebabkan perilaku yang salah, bukan
semata-mata karena orang tua tidak mampu. Karena itu penting untuk menjalankan program edukasi kepada masyarakat untuk memenuhi target stunting di bawah 20 persen tahun 2024.
Bahkan sebelum anak itu lahir, orang tua sudah diikutkan dalam program pencegahan stunting.
Mengutip data Bank Dunia, Widodo
menjelaskan, apabila kita tidak melakukan apa-apa untuk program stunting ini maka di tahun 2022 angkanya akan berkisar di 28 persen. Kalau melaksanakan program tetapi biasa-biasa saja maka angkanya di 24 persen, tetapi kalau strateginya bagus bisa mencapai 22 persen.
Sejauh ini baru 114 dari 260 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki regulasi untuk mencegah stunting. Kemudian baru 39 kabupaten/kota yang sudah memiliki
strategi komunikasi untuk mencegah stunting.
Tanoto Foundation memiliki tiga pendekatan untuk menurunkan angka stunting, yakni peningkatan kualitas pengasuhan, peningkatan akses dan peningkatan kualitas layanan pengembangan anak usia dini.
Pelaksanaannya melalui berbagai saluran seperti Posyandu, komunitas dan
sebagainya dengan tujuan untuk memberikan pembelajaran sejak awal atau sedini mungkin untuk mengubah perilaku.
Seperti di salah satu kampung nelayan. Ternyata masih terjadi kasus stunting padahal stok ikan melimpah.
Setelah dipelajari, anak-anak di kampung itu bosan untuk mengonsumsi ikan karena ibu
rumah tangga hanya bisa mengolah dengan cara digoreng atau dibakar.
Maka sasaran program di kampung itu memberikan pelajaran memasak dan mengolah daging ikan dengan berbagai resep agar anak-anak tidak bosan lagi.
Widodo mengatakan program edukasi untuk mencegah stunting ini bekerjasama dengan pemerintah daerah difasilitasi Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) RI.
Widodo menjelaskan animo pemerintah daerah untuk mengikuti program pencegahan stunting ini sangat besar. Apalagi mayoritas program yang dijanjikan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah adalah memberantas kemiskinan.
Widodo mengakui untuk mengubah perilaku masyarakat terkait pemenuhan gizi anak tidak bisa seketika (one shot activity). Tetapi diperlukan upaya terus-menerus dengan
mempertimbangkan budaya/konteks lokal melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama dan sebagainya.
Libatkan Kemenkoinfo
Drg Marlini Ginting dari Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kementerian Kesehatan RI dalam web seminar bertajuk "Peran Komunikasi Perubahan Perilaku Dalam Mencegah Stunting" mengakui komunikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk pencegahan stunting di berbagai daerah. Program ini juga melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Marlini mengatakan yang dibangun dalam program pencegahan stunting adalah kesadaran masyarakat sehingga mereka akan melakukan perilaku yang kita harapkan. Kendalanya saat ini akses informasi untuk menyentuh masyarakat belum banyak.
Ia menambahkan, selain kampanye perubahan perilaku, yang jadi fokus petugas kesehatan atau kader agar memiliki kapasitas untuk menyampaikan komunikasi.
Untuk pencegahan stunting, diperlukan strategi nasional dan bermuatan lokal. Advokasi juga
harus dilakukan jangka panjang atau berkelanjutan yang diimulai dari masa remaja, persiapan perkawinan, sampai sebelum kehamilan.
Kementerian Kesehatan menargetkan tahun 2024 semua kabupaten dan kota sudah melakukan kampanye pencegahan stunting. Sedangkan pakar nutrisi Dr Rita Ramayulis, DCN, M.Kes mengatakan stunting merupakan kondisi akibat kekurangan gizi kronis secara akumulatif. Bukanlah kasus akut, melainkan keadaan
yang terjadi sedikit demi sedikit secara "akumulatif.”
Stunting adalah gagal tumbuh dan gagal kembang. Anak pendek belum tentu stunting, tapi salah satu indikator stunting adalah pendek.
Stunting bukan melulu soal tinggi badan yang tidak tercapai. Lebih jauh lagi, kondisi ini akan menentukan kualitas anak di kemudian hari.
Stunting berkembang selama 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Kondisi pada ibu
hamil akan mempengaruhi kondisi ibu saat melahirkan nanti, yang akan mempengaruhi kondisi bayi usia 0-6 bulan, 7-11 bulan, lalu 12-24 bulan.
Karena itu bagi ibu yang hamil agar memperhatikan perjalanan tersebut dengan tidak absen memperhatikan gizi yang dikonsumsi diri dan bayinya.
Rita menyayangkan, banyak perilaku selama 1.000 HPK yang meningkatkan kerentanan terjadinya stunting. Misalnya, masih banyak ibu hamil yang tidak paham soal stunting dan tidak meyakini bahwa stunting bisa terjadi akibat pola makan yang salah sehingga tidak melakukan
pencegahan sejak awal.
Sebagian ibu merasa bahwa kehamilan adalah kondisi biasa saja sehingga tidak memperbaiki pola makannya. Sebagian lain menganggap bahwa makan saat hamil diperuntukkan bagi dua orang.
Akibatnya, hanya porsi nasi yang ditambah agar kenyang. Belum lagi mitos untuk menghindari
daging merah, makanan laut dan kacang-kacangan, yang akhirnya membuat ibu hamil kekurangan protein..
Saat melahirkan, masih banyak ibu yang tidak melakukan IMD (inisiasi menyusui dini). Ada pula yang melakukan tapi caranya salah.
Bayi hanya diletakkan di area puting susu ibu dan dianggap selesai. “Padahal yang kita inginkan, bayi bergerak sendiri dari perut ibu untuk mencari puting susu ibu,” kata Rita.
Hambatan lain, ada persepsi bahwa ibu melahirkan pasti capek sehingga
bayi pisah kamar dengan ibu agar ibu bisa beristirahat.
Dikuatkan
Sedangkan Risang Rimbatmaja dari Yayasan Cipta (NGO yang banyak bergerak di bidang kesehatan dan lingkungan) mengatakan komunikasi perubahan perilaku semakin disadari pentingnya dalam urusan
kesehatan. Dalam hal pencegahan stunting harus terus dikuatkan.
Menurut Risang, stunting merupakan istilah yang abstrak bagi orang yang tidak bergerak di
bidang kesehatan.
Selama ini komunikasinya juga mengalami perubahan. Dulu disebut kerdil, pendek dan sekarang stunting.
Stunting merupakan kekurangan gizi dalam waktu yang lama yang membuat otak tidak berkembang, mudah sakit dan rentan menderita penyakit tidak menular saat dewasa nanti.
Membahasakan konsep kesehatan pada masyarakat harus disampaikan dampaknya. Masalahnya stunting itu dampaknya akan terlihat dalam jangka panjang.
Beberapa isu yang terkait dengan komunikasi perilaku pada isu stunting antara lain, dampaknya seberapa panjang, bagaimana cara mengukur tinggi badan, sudah makan banyak dan bergizi kenapa masih stunting dan sebagainya.
Risang menyarankan bagi para kader Posyandu atau tenaga kesehatan untuk menyampaikan informasi dengan santai, tidak reaktif, apalagi marah-marah dan lebih banyak mendengarkan.
Membangun kepercayaan merupakan kunci keberhasilan program komunikasi perubahan perilaku. Pembuatan poster dan penggunaan istilah juga harus berhati-hati agar tidak menimbulkan stigma.
Komunikasi perubahan perilaku tidak serta merta mengubah orang. Tapi tetap diperlukan, dengan demikian kita harus bergandengan dengan intervensi model lain.
Berbagai gambaran ini membuat kunci dari pencegahan stunting ini berkaitan dengan perilaku dan budaya yang ada di masyarakat itu.
Dari segi sumber alam suatu daerah tidak mengalami kekurangan sumber gizi, namun ada tradisi dan perilaku yang membuat anak-anak di suatu daerah justru kekurangan gizi.
Ada anggapan di salah satu masyarakat selelah melahirkan tetapi belum diselenggarakan selamatan maka anak itu tidak boleh di bawah keluar. Padahal selama menjalani "karantina" kebutuhan gizi ibu dan anak belum tentu bisa terpenuhi.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020