Meski usianya tak lagi muda, namun tidak menyurutkan tekadnya sehari-hari dalam menekuni profesi petani gula aren. Tidak ada hari libur atau kata pensiun, seperti pekerja kantoran maupun pabrik.

Setiap pagi dan sore, beliau menyadap pohon aren yang menjulang tinggi. Wadah yang sudah berisi air nira dari pohon yang disebut juga enau, harus ia ganti dengan wadah yang baru.

Untuk mengganti wadah yang baru, maka aktivitas memanjat pohon enau pun dilakukan. Walau jarak antar tanaman dengan nama latin Arenga pinnata ini tidak saling berdekatan, dan bahkan jauhnya mencapai lima kilometer.

"Air nira yang diambil sore, malamnya saya panaskan di kuali agar tidak basi. Besoknya, baru kita masak yang dicampur dengan sadapan nira di waktu pagi," ucap Suwali (56).

Begitulah keseharian Suwali dari sejak 23 tahun silam demi menghidupi keluarganya dengan seorang isteri, dan dua orang buah hatinya.

Pria yang tinggal dengan jarak sekitar sembilan kilometer dari Kota Kualasimpang, ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang atau tepatnya di Dusun Batu Delapan, Kampung (Desa) Rantau Pauh, Kecamatan Rantau, mengaku, saat ini dirinya bisa mendapatkan 40 liter air nira aren dalam sehari.

Nira aren itu pun dikumpulkan ke dalam satu kuali besar, dan dimasak sekitar 5 jam lamanya untuk menghasilkan gula aren murni. Sedangkan gula aren KW ---petani aren setempat menyebut--- dibutuhkan waktu memasak lebih cepat 3 hingga 4 jam. 

Setidaknya dibutuhkan tujuh liter nira enau demi menghasilkan 1 kilogram gula aren murni, yang dilepas ke tingkat pengepul seharga Rp25 ribu per kilogram.

Bila gula aren KW, lanjut dia, maka tergantung dari permintaan pasar baik lokal hingga luar kabupaten. Umumnya pengepul membeli dengan harga lebih murah, yakni Rp17 ribu per kilogram.

"Pengepul, paling jauh dari Aceh Utara. Tetapi sesekali ada juga pembeli datang langsung ke kita mencari gula aren murni, sebagai oleh-oleh. Biasanya mereka bekerja di perusahaan sekitar Aceh Tamiang," ujarnya.

"Untuk saat ini produk yang kita hasilkan masih gula aren murni, dan gula aren KW dengan jumlah total 5 sampai 6 kilogram per hari," ungkap Suwali.


Kelompok tani aren

Jika dilihat, maka hasil penjualan gula aren murni maupun gula aren KW dalam sehari belum sesuai harapan, jika dibandingkan dengan profesi yang membutuhkan fisik kuat setiap harinya.

Bahkan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari yang cenderung meroket di pasar, seringkali terpikir oleh kita tidak cukup hanya mengandalkan profesi petani gula aren.

"Itu lah, salah satu yang menjadi alasan bagi kami membentuk Kelompok Tani Aren Meghgek Betuah di Dusun Batu Delapan, Kampung Rantau Pauh ini," ucap Ketua Kelompok Tani Aren Meghgek Betuah, Didi Rahmat (41).

Ada 17 orang petani tergabung ke dalam kelompok yang belum genap berusia setahun, dan merupakan program pendamping bidang ekonomi dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PT Pertamina EP-Rantau Field.

Selama ini, ia mengatakan, mayoritas petani gula aren setempat masih memproduksi gula aren KW atau mengunakan bahan campuran, yakni gula pasir atau gula putih ketika proses memasak.

"Masih tradisional semuanya. Produksi gula aren kita ada dua macam, yakni asli dan campuran. Campurannya pun, ya gula pasir. Itu, memang diminta oleh pasar. Para pedagang di pasar, lebih cenderung ke gula aren campuran," terang dia.

Padahal mencampur gula aren dengan gula pasir yang berasal dari tanaman tebu tersebut, otomatis turut mempengaruhi kualitas dari gula aren.

Salah satu, di antaranya gula pasir mengandung indeks glikemik yang tinggi. Indeks glikemik merupakan kemampuan seberapa cepat suatu makanan dapat meningkatkan kadar gula darah seseorang, beberapa saat setelah makanan dikonsumsi.

Artinya, semakin tinggi nilai glikemik yang dikandungan suatu makanan, maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap kadar insulin dan gula darah di tubuh seorang manusia.

Itu makanya, bagi penderita diabetes melitus yang dikenal penyakit gula atau kencing manis, harus mengganti pemanis mereka dengan madu atau gula aren karena lebih aman dibanding gula pasir.

Ketua kelompok tani aren ini, telah menyadari akan hal tersebut. Tapi beliau tidak dapat berbuat banyak akibat minimnya pemahaman petani setempat di industri hilir aren atau produk yang dihasilkan dari gula aren.

"Tidak banyak produksi kita, terutama gula aren yang asli. Kalau yang asli itu, pengkonsumsinya cuma penderita diabetes," tutur dia.

Seperti diketahui, dewasa ini produk hilir dari sistem industri aren, di antaranya menghasilkan produk gula cetak, gula semut, gula kristal putih, gula cair, gula lempeng, gula batu, dan lain sebagainya.

Hingga kini PT Pertamina EP-Rantau Field di Aceh Tamiang telah memberikan bantuan CSR berupa bibit pohon aren, tungku masak setiap anggota kelompok masing-masing satu unit, dan dapur produksi sebagai percontohan satu unit untuk tahap awal.

"Untuk ke depan kita sudah mengajukan, termasuk pelatihan-pelatihan. Seperti pelatihan gula semut, itu belum pernah kami buat di sini. Cuma akibat COVID-19 ini tertunda, karena kami belum bisa datangkan instruktur dari Takengon (Aceh Tengah)," ujarnya.

"Jadi memang kita memiliki keterbatasan dalam hal mesin pengolahan, seperti untuk gula semut. Dalam hal ini, Pertamina mendukung kami, dan membantu kami dalam pengembangan produksi," terang Didi.

Rantau Field Manager PT Pertamina EP, Totok Parafianto, menyebut, CSR tahun ini memiliki tiga program baru, yakni pengembangan petani aren, pelatihan kelompok disabilitas, dan posyandu parentin kenari di wilayah Aceh Tamiang.

"Program selama pandemi COVID-19 ini, kami menitikberatkan kepada optimalisasi kelompok binaan untuk ketahanan pangan," katanya.

"Kita juga membantu penyaluran, dan pemasaran ke pasar afirmatif. PPMP (Pusat Pemberdayaan Masyarakat Pertamina) sebagai kelompok budidaya dan pertanian, hasilnya kami jual lansung ke konsumen dengan daring dan pasar untuk memutus mata rantai tengkulak," terang Totok.


Upaya pemerintah daerah

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang menyambut baik atas bantuan CSR perusahaan pelat merah bagi kelompok petani aren setempat, karena di wilayah yang merupakan pintu gerbang masuk ke Provinsi Aceh hingga kini masih melakukan produksi gula aren secara tradisional.

"Kami mengucapkan sangat-sangat terimakasih ke pihak Pertamina, karena sudah mengalokasikan dana melalui CSR bagi pelaku usaha untuk pengembangan gula aren," ucap Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian Aceh Tamiang, Rafii.

Pihaknya meyakini, adanya dana CSR Pertamina EP yang relatif cukup besar, maka bisa membantu berbagai peralatan produksi gula aren. Sehingga produk yang dihasilkan lebih baik, higienis, dan lebih banyak nantinya.

Seperti diketahui, tanaman aren merupakan salah satu potensi unggulan di sektor perkebunan Aceh Tamiang, selain sawit, karet, kakao, pinang, kelapa, sagu, nilam, kopi, kapuk, dan kemiri di jalur timur Aceh berjarak 136 kilometer dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara.

Di awal masa pemerintahan Bupati Aceh Tamiang Mursil menjabat di akhir Desember 2017, tercatat kebun Arenga pinnata seluas 26 hektare dengan angka produksi sekitar 15,3 ton per tahun.

"Hari ini kan, kurang higienis. Jadi kalau dibina melalui Pertamina, dan nanti juga terlibat di sini Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian. Kita akan kelola hasil (produk) gula aren dengan pengemasan lebih baik, menarik, dan kita merekin," tuturnya.

"Kita bisa pasarkan ke minimarket, dan waralaba di tingkat lokal. Nanti juga akan kita bantu dalam hal pendaftaran, hasil industri rumah tangga. Selain izin-izin yang lainnya," tegas Rafii.

Sudah saatnya bagi petani gula aren memurnikan produk, sembari mengikuti berbagai pelatihan di industri hilir demi menghasilkan ciri khas dari gula aren.

Sinergi dunia usaha dan pemerintah daerah merupakan suatu keharusan, sesuai porsinya dalam mengangkat kesejahteraan petani lokal yang menghasilkan suatu produk, terutama di masa pandemi COVID-19.

Pewarta: Muhammad Said

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020