Jakarta (ANTARA) - "Mengapa kami di Gaza melakukan serangan 7 Oktober. Itu dalam rangka kami melawan. Kami ingin hidup dalam kemuliaan dan bebas."
Mahmoud Hasyim Anbar, pria kelahiran pada 1962, melontarkan pernyataan tersebut ketika ditanya pesan apa yang ingin ia sampaikan untuk mewakili suara masyarakat Gaza.
Berprofesi sebagai Dekan Fakultas Tafsir & Ulumul Quran Universitas Islam Gaza, Palestina, Profesor Anbar atau yang lebih akrab disapa Syeikh Anbar, diboyong ke Indonesia oleh Aqsa Working Grup -- gerakan Muslim untuk Palestina dan Al-Aqsa yang berpusat di Indonesia -- sejak awal November lalu.
Baca juga: RS Kamal Adwan di Gaza lumpuh total akibat serangan drone Israel
Mengajar di Universitas Islam Gaza sejak 2006, Syeikh Anbar keluar dari Gaza pada Mei 2024, atau tujuh bulan setelah Hamas melancarkan serangan kepada Israel yang telah menjajah wilayah tersebut selama puluhan tahun.
Syeikh Anbar bercerita bahwa dirinya keluar dari Gaza menuju Mesir setelah berpindah-pindah tempat pengungsian sebanyak delapan kali, mulai dari Gaza Utara, Gaza Tengah, hingga Gaza Selatan.
Kondisi kesehatan yang kian menurun setelah terserang COVID-19 dan tidak ada lagi fasilitas yang memadai, menjadi alasan ia bersama istri dan anak-anaknya keluar dari tanah kelahiran mereka.
Namun, setelah menyelesaikan perawatan, dirinya tidak dapat kembali masuk ke Gaza karena Rafah, yang menjadi pintu keluar masuk Gaza, sudah ditutup oleh tentara Israel.
Syeikh Anbar dan keluarga terpaksa menetap di Kairo dengan rumah yang sangat sederhana karena kondisi ekonomi yang sangat memburuk setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Menahan kerinduan akan tanah kelahirannya, ia sangat berharap agar perang Israel di Gaza bisa segara usai, meskipun rumah dan mobil yang dulu dimilikinya sudah sirna.
Halaman selanjutnya: Bagaimana kondisi pendidikan di Gaza