Banda Aceh (ANTARA) - Menyelamatkan pengungsi Rohingya sama pentingnya dengan memberantas sindikat perdagangan orang yang mengambil keuntungan dari orang-orang malang itu. Di balik kedatangan ratusan etnis Rohingya di Aceh, para pelaku kejahatan kemanusiaan itu masih banyak yang bebas berkeliaran, sedangkan korban jiwa terus bertambah.
Berdasarkan catatan ANTARA, pada periode Januari-Oktober 2024, ada 76 pengungsi Rohingya yang meninggal dunia saat diselundupkan oleh sindikat ke Aceh. Jenazah mereka ditemukan terapung di perairan karena tenggelam.
Korban jiwa paling banyak terjadi saat kapal pembawa Rohingya karam di perairan Kabupaten Aceh Barat pada Maret 2024, mengakibatkan 67 penumpang gelap itu meninggal dunia. Kemudian dalam 2 pekan pada Oktober lalu, ditemukan lagi sembilan orang tewas saat ratusan pengungsi Rohingya masuk ke Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Timur. Bahkan, pada kasus di Aceh Timur enam orang Rohingya tenggelam karena tak bisa berenang setelah diturunkan oleh sindikat di tengah laut.
Baca juga: Sebanyak 19 imigran Rohingya di Aceh Timur kabur
Meskipun penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang dalam fenomena gelombang kedatangan Rohingya ke Aceh sudah sampai ke pengadilan, pengungkapan sindikat kejahatan tersebut masih terputus-putus. Tiga warga negara Banglades dan Myanmar yang telah divonis di Pengadilan Aceh Besar pada tahun ini, hanya bagian kecil dari rantai sindikat kejahatan tersebut.
Bahkan, terjadi ketimpangan hukuman dan kesan diskriminasi antara pelaku orang asing dan warga lokal. Sebabnya, empat terpidana warga Aceh divonis jauh lebih ringan meskipun keterlibatan mereka dalam penyelundupan Rohingya di Aceh Barat telah menyebabkan 67 pengungsi tewas. (Sumber: ANTARA, Menguak Perdagangan Orang di Fenomena Pengungsi Rohingya di Aceh)
Masyarakat perlu mengapresiasi Polda Aceh yang mulai menerapkan aturan berlapis untuk menjerat pelaku perdagangan orang pada kasus penyelundupan pengungsi Rohingya di Kabupaten Aceh Selatan. Salah satu yang perlu dicermati adalah penggunaan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Sumber: ANTARA: Polda Aceh: Imigran Rohingya di Aceh Selatan murni perdagangan orang) .
Penjelasan kejahatan pencucian uang secara sederhana adalah segala jenis proses untuk membersihkan dana yang dihasilkan secara ilegal dari tindak kejahatan sehingga bisa digunakan di dalam aktivitas ekonomi secara legal. Meskipun metode pencucian uang kini makin canggih dan beragam, biasanya kejahatan ini mengikuti tiga modus operandi, yaitu menempatkan (placement), menjauhkan (layering), dan menggabungkan (integration).
Metode placement berupa penempatan uang dari tindak kejahatan yang dikonversi menjadi aset-aset yang tampak sah. Seringkali aset itu dipecah menggunakan instrumen keuangan perbankan seperti cek dan deposito atas nama perusahaan tak dikenal maupun lewat perantara orang lain. Cara ini paling mudah dideteksi karena memasukkan dana besar dari antah-berantah ke sistem keuangan.
Langkah kedua adalah layering, menggunakan banyak transaksi untuk menjauhkan asal dana ilegal dari sumber aslinya berasal. Bentuknya bisa berupa transfer antar beberapa rekening bank di dalam dan luar negeri, atau membeli properti yang bisa diperdagangkan seperti mobil, karya seni, dan real estat.
Langkah terakhir, integration, yakni memasukkan lagi dana haram ke kegiatan-kegiatan yang sah untuk keuntungan pelaku kejahatan. Mereka berinvestasi ke perusahaan legal, tempat usaha seperti kedai kopi dan restoran, sehingga mereka bisa mengklaim pembayaran dengan invoice palsu, atau bahkan duduk di dewan direksi dengan gaji selangit.
Baca juga: Imigran Rohingya bayar naik kapal untuk ke Indonesia, ini biayanya sampai ke Aceh
Keterkaitan sindikat besar
Dari pengungkapan kasus perdagangan orang dari kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh, penegak hukum sebenarnya sudah mendapat informasi keterkaitan sindikat besar yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Sindikat ini memanfaatkan pengungsi Rohingya di Myanmar dan Bangladesh yang rela membayar mahal karena diiming-imingi harapan hidup lebih baik, padahal mereka sebenarnya adalah korban eksploitasi sindikat.
UU Pencucian Uang menjadi solusi alternatif bagi Polda Aceh dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus perdagangan orang di balik kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh. Dengan begitu, jerat terhadap pelaku kejahatan tersebut makin berlapis, dari yang sebelumnya hanya menggunakan UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Oleh karena itu, polisi harus mengikuti aliran uang (follow the money) guna menyikat habis sindikat perdagangan orang sampai ke aktor intelektualnya. Polisi diharapkan dapat bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna menyelidiki transaksi-transaksi keuangan antartersangka, serta aset-aset tersangka yang terlibat dalam perdagangan orang. Yang tidak kalah penting, proses hukum harus transparan dan terus diawasi karena perputaran uang dalam kejahatan ini sangat besar sehingga kerap "menggoda" pelaku individual hingga lembaga keuangan besar dan pejabat pemerintahan untuk terlibat di dalamnya.
Pada kasus yang berjalan saat ini, polisi berpeluang untuk mengikuti aliran uang yang mengalir ke tersangka Herman Saputra. Indikasi pencucian uang oleh Herman sudah terdeteksi saat ia ditangkap untuk kasus penyelundupan etnis Rohingya di Aceh Barat. Kepada polisi ia mengaku menerima pesanan menyelundupkan Rohingya lebih dari sekali dari seorang agen di Malaysia. Namun, dalam perkara tersebut polisi tidak menggunakan UU Pencucian Uang sehingga pengungkapan kejahatan tidak tuntas, bahkan Herman akhirnya hanya divonis 14 bulan penjara karena bertanggung jawab sebagai penanggung jawab moda transportasi dalam penyelundupan orang.
Saat ini Herman kembali ditetapkan sebagai salah satu tersangka terkait perdagangan orang dalam kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh Selatan. Polisi menduga kuat ia menjadi otak di balik penyelundupan pengungsi, salah satunya karena Kapal Motor Bintang Raseuki yang digunakan untuk mengangkut orang-orang Rohingya dibeli Herman seharga Rp580 juta sebulan sebelum kasus ini terbongkar. Kalau ditelusuri, ada kemungkinan kuat uang yang digunakan Herman untuk membeli kapal pembawa Rohingya di Aceh Barat dan Aceh Selatan berasal dari aktivitas perdagangan orang.
Publik tentu berharap hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku perdagangan orang benar-benar memberikan efek jera. Sindikat kejahatan perdagangan orang jika terus dibiarkan merajalela, maka akan melemahkan fungsi negara dalam melindungi teritorial dan keselamatan publik.
Kasus yang terjadi di Aceh juga menjadi momentum bagi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk makin berperan di kancah regional guna mengatasi kejahatan lintas negara, yang selama ini menjadi permasalahan utama bagi kebanyakan negara di ASEAN.
Apalagi, negara-negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu pada KTT ke-42 ASEAN 2023 di Labuhan Bajo, telah sepakat untuk memberantas kejahatan lintas negara, salah satunya kejahatan perdagangan orang melalui perlindungan khusus kepada saksi dan korban.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jerat pencucian uang untuk bongkar perdagangan orang Rohingya