Banda Aceh (ANTARA) - Aliansi buruh Aceh menemui Pj Gubernur Aceh Safrizal ZA untuk menyuarakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh 2025 menjadi Rp4 juta dari angka saat ini Rp3,46 juta per bulan.
Saya pribadi menyayangkan isi pertemuan tersebut karena usulan yang disampaikan aliansi buruh Aceh dapat merugikan perekonomian Aceh. Seharusnya pemahaman yang tepat mengenai hubungan antara UMP dan pertumbuhan ekonomi sangat penting untuk diketahui, agar menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Sayangnya, aliansi buruh Aceh sepertinya gagal paham terkait kebijakan kenaikan UMP yang terlalu agresif. Padahal, itu berisiko menghambat potensi daerah ini untuk berkembang. Salah satu tantangan utama yang harus dihadapi adalah bagaimana menjawab surplus angkatan kerja tanpa mengorbankan daya tarik bagi investor.
Baca juga: Temui Pj Gubernur, buruh minta UMP 2025 naik jadi Rp4 juta per bulan
Kenaikan UMP memang kerap dipandang sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Namun ketika melihat situasi perekonomian Aceh, dimana jumlah pengangguran cukup tinggi dan industri belum berkembang secara optimal, maka ketika fokus tertuju pada peningkatan angka UMP justru hanya menjadi bumerang.
Sebabnya kenaikan UMP tanpa didukung dengan pertumbuhan industri yang cukup akan menyebabkan peningkatan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. Hal ini terjadi karena semakin tingginya biaya produksi, maka akan semakin mengurangi daya tarik untuk berinvestasi di daerah tersebut, sehingga menyebabkan kurangnya kesempatan pertumbuhan lapangan kerja baru.
Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah relokasi industri dari kawasan Jawa Barat dan Jabodetabek ke Jawa Tengah. Keputusan ini bukan semata-mata dipengaruhi oleh biaya upah yang lebih rendah, tetapi juga oleh ketersediaan infrastruktur yang mendukung dan potensi pasar yang lebih besar. Artinya, yang perlu dipertimbangkan bukan hanya seberapa besar angka UMP, akan tetapi persoalan bagaimana menumbuhkan industri yang dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Selain itu, ada anggapan keliru yang sering diabaikan, yaitu nilai uang dan daya beli masyarakat. Jika sebuah daerah memiliki banyak perusahaan dan industri yang berkembang pesat, maka secara otomatis harga-harga kebutuhan pokok akan lebih terjangkau. Sebaliknya, jika industri tidak berkembang, meskipun UMP tinggi, daya beli masyarakat-pun tidak akan sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Ini bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial yang lebih besar.
Kenyataan ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi aliansi serikat buruh Aceh. Seharusnya ketua serikat buruh Aceh lebih mengedepankan strategi yang mendorong tumbuhnya industri dan lapangan kerja, alih-alih fokus semata pada kenaikan UMP tanpa memperhitungkan daya saing daerah. Tanpa ada pengusaha dan investasi yang masuk, ditambah isu kenaikan UMP yang tidak kompetitif. Ini akan berimbas pada ketidakseimbangan ekosistem perekonomian di Aceh, dan efeknya pengangguran justru akan semakin meningkat.
Aceh, dengan segala potensinya, mestinya bisa menjadi pusat produksi yang menarik, namun hal tersebut hanya akan terwujud jika kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada penciptaan ekosistem industri yang berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih rasional dan strategis dalam menetapkan UMP yang kompetitif, dengan memperhitungkan faktor daya saing, pengembangan industri, dan peluang investasi.
Jika semua ini dapat seiring sejalan, maka Aceh tidak hanya akan menjadi tempat yang menarik bagi investor, tetapi juga akan berhasil menyerap tenaga kerja yang besar, mengurangi angka pengangguran, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Baca juga: Kadin nilai kenaikan 1,3 persen UMP Aceh bagian dari pengendalian inflasi
Ketua aliansi buruh Aceh, sebagai pemimpin yang mewakili kepentingan pekerja, seharusnya lebih memahami dinamika ekonomi yang mendasari keputusan-keputusan seperti ini. Meningkatkan UMP tanpa memperhatikan daya saing dan keberlanjutan industri justru akan merugikan pekerja dalam jangka panjang.
Solusi terbaik adalah membuka ruang bagi para pengusaha untuk berkembang, menciptakan lebih banyak industri, dan pada akhirnya menyerap tenaga kerja baru. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi yang inklusif bisa tercapai, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus mengorbankan daya saing dan stabilitas ekonomi.
*Penulis: Syifaul Husni, Ketua HMI Banda Aceh