Sejumlah elemen masyarakat sipil di Aceh mendesak partai pengusung Irwandi-Nova pada Pilkada 2017 lalu untuk segera mengusulkan calon Wakil Gubernur Aceh guna mengisi kekosongan kepemimpinan Aceh sejak dua tahun terakhir. 

"Kekosongan Wakil Gubernur Aceh harus segera diisi sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Karena keberadaan wakil sangat penting bagi kemajuan Aceh," kata Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Yusni Saby, di Banda Aceh, Rabu. 

Pernyataan itu merupakan salah satu hasil rekomendasi dari fokus grub diskusi (FGD) refleksi akhir tahun yang diikuti para akademisi di Aceh. 

Seperti diketahui, pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah diusung oleh oleh empat partai politik baik lokal maupun nasional pada Pilkada 2017 lalu yakni Partai Nanggroe Aceh (PNA), Demokrat, Partai Daerah Aceh (PDA) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 

Namun, sejak Nova Iriansyah dilantik sebagai Gubernur Aceh definitif oleh Mendagri Tito Karnavian pada 5 November 2020 lalu, belum ada satupun calon Wakil Gubernur Aceh yang diusulkan partai pengusung. 

Kata Prof Yusni, secara yuridis formil seorang Wakil Gubernur Aceh itu dibutuhkan untuk tata kelola pemerintahan Aceh yang lebih baik. 

"Jangan menjadikan isu-isu politik sebagai hiburan, tetapi politik harus menjunjung moral dan etika, tahapan dan presedur politik harus dilalui dengan baik," ujarnya. 

Hal senada juga diutarakan pengamat politik Unsyiah, Dr M Adli Abdullah mengatakan bahwa sangat tidak baik jika Gubernur Aceh memimpin sendiri, melainkan harus didampingi seorang wakil.

"Situasi Aceh saat ini sangat aman tetapi tidak nyaman, terutama dalam hal politik dan investasi ekonomi, Makanya kepemimpinan Aceh harus komplit ada Gubernur dan wakil Gubernur, begitu juga kepemimpinan Aceh ke depannya," kata M Adli Abdullah.

Sementara dosen hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry Zahlul Pasha juga menuturkan hal yang sama, secara legal formal tidak ada perdebatan soal masa jangka waktu yang tersisa 18 bulan bagi daerah tetap wajib mengisi kekosongan kepemimpinan.

Kata Zahlul, dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah, yang kemudian dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 tahun 2014 yang menyatakan Gubernur wajib mengusulkan calon wakilnya kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) paling lama 15 hari kerja setelah dilantik.

"Ini sebenarnya menyangkut kepentingan politik, apakah Gubernur kita mau punya wakil atau tidak. Kalau mau sebenarnya dalam tiga hari sudah selesai, tetapi kalau tidak mau pasti banyak alasannya apalagi ini wilayah kepentingan politik," ujar Zahlul. 

Menurut Zahlul, khusus untuk Aceh posisi Wakil Gubernur itu penting karena terdapat beberapa posisi dalam qanun Aceh (peraturan daerah) seperti qanun Nomor 4 Tahun 2016 tentang pedoman pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah.

"Qanun ini yang mensyaratkan bahwa dewan penasehat FKUB (Forum kerukunan umat beragama) wajib diisi oleh seorang Wakil Gubernur dan tidak boleh digantikan dengan orang lain," katanya.

Selain itu, lanjut Zahlul, dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) juga mengatur beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Wakil Gubernur Aceh yang tidak dimiliki seorang wakil kepala daerah di provinsi lain.

"Misalnya Wakil Gubernur Aceh itu punya kewenangan untuk mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan syariat islam, jadi ini tidak dimiliki oleh wakil gubernur lain, karenanya kalau posisi ini tidak ada yang menempati, hal seperti itu tidak ada yang melaksanakan," demkian ujar Zahlul.
 

Pewarta: Rahmat Fajri

Editor : Azhari


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020