Ruhollah Zam, seorang jurnalis pembelot Iran yang didakwa memprovokasi kekerasan dalam aksi protes anti pemerintah pada 2017, telah menjalani eksekusi mati pada Sabtu, demikian dilaporkan televisi publik negara itu.
Sebelumnya pada Selasa (8/12), Mahkamah Agung Iran menjatuhkan hukuman mati terhadap Zam, yang ditangkap pada 2019 setelah beberapa tahun sempat tinggal dalam pengasingan.
Saluran televisi Seda va Sima menyebut bahwa Zam, "direktur jaringan Amadnews yang kontra revolusioner, telah digantung pada pagi ini."
Laman Amadnews ditangguhkan oleh layanan pesan Telegram pada 2018 lalu atas tuduhan menyulut kekerasan, namun kemudian laman jaringan itu muncul kembali dengan nama lain.
Prancis dan kelompok hak asasi manusia mengatakan mereka mengecam keputusan Mahkamah Agung Iran tersebut.
Zam, yang merupakan anak dari tokoh Syiah pro reformasi, sempat melarikan diri dari Iran dan mendapat suaka di Prancis.
Pada Oktober 2019, Korps Pengawal Revolusioner Iran mengatakan bahwa pihaknya telah menjebak Zam dalam sebuah "operasi sulit yang menggunakan pengecohan intelijen", namun tidak menyebut di mana operasi tersebut dilakukan.
Pejabat Iran menuding Amerika Serikat dan juga rival Teheran di kawasan, Arab Saudi, serta Prancis merupakan pihak-pihak yang menyulut kerusuhan, yang dimulai pada akhir 2017 sebagai aksi protes regional atas kesulitan ekonomi.
Iran menyebut sebanyak 21 orang tewas terbunuh dalam kerusuhan tersebut dan ribuan orang ditahan. Kericuhan itu menjadi salah satu yang terburuk di Iran dalam beberapa dekade terakhir, yang kemudian disusul oleh aksi protes maut tahun 2019 untuk menentang kenaikan harga bahan bakar.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Sebelumnya pada Selasa (8/12), Mahkamah Agung Iran menjatuhkan hukuman mati terhadap Zam, yang ditangkap pada 2019 setelah beberapa tahun sempat tinggal dalam pengasingan.
Saluran televisi Seda va Sima menyebut bahwa Zam, "direktur jaringan Amadnews yang kontra revolusioner, telah digantung pada pagi ini."
Laman Amadnews ditangguhkan oleh layanan pesan Telegram pada 2018 lalu atas tuduhan menyulut kekerasan, namun kemudian laman jaringan itu muncul kembali dengan nama lain.
Prancis dan kelompok hak asasi manusia mengatakan mereka mengecam keputusan Mahkamah Agung Iran tersebut.
Zam, yang merupakan anak dari tokoh Syiah pro reformasi, sempat melarikan diri dari Iran dan mendapat suaka di Prancis.
Pada Oktober 2019, Korps Pengawal Revolusioner Iran mengatakan bahwa pihaknya telah menjebak Zam dalam sebuah "operasi sulit yang menggunakan pengecohan intelijen", namun tidak menyebut di mana operasi tersebut dilakukan.
Pejabat Iran menuding Amerika Serikat dan juga rival Teheran di kawasan, Arab Saudi, serta Prancis merupakan pihak-pihak yang menyulut kerusuhan, yang dimulai pada akhir 2017 sebagai aksi protes regional atas kesulitan ekonomi.
Iran menyebut sebanyak 21 orang tewas terbunuh dalam kerusuhan tersebut dan ribuan orang ditahan. Kericuhan itu menjadi salah satu yang terburuk di Iran dalam beberapa dekade terakhir, yang kemudian disusul oleh aksi protes maut tahun 2019 untuk menentang kenaikan harga bahan bakar.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020