Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia, Mahfudz Siddiq, berpendapat angka 4 persen yang ditetapkan dalam ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold pada Pemilu 2019 telah cukup baik untuk menilai kemampuan partai dalam sistem politik nasional.
"Angka 4 persen sebagai parliamentary threshold adalah angka yang cukup efektif untuk menyeleksi partai-partai baru apakah mempunyai kekuatan dalam pentas politik nasional," kata Mahfudz, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta Jumat.
Fakta tersebut, lanjut dia, dapat dicermati bahwa pada perhelatan Pemilu 2019, dari 16 partai politik peserta, namun satu pun tak ada yang lolos dari partai baru memenuhi ambang batas parliamentary threshold.
Menurut Mahfudz, jika melihat perjalanan sejarah Pemilu di Tanah Air, khususnya pasca-reformasi, maka partai politik baru memiliki prospek cemerlang untuk melaju ke parlemen dengan perolehan suara yang bagus.
"Tinggal yang jadi pertanyaan, apakah landscape kepartaian di Indonesia masih memungkinkan? Apakah pasar Pemilu masih memungkinkan eksisnya, munculnya partai politik baru?" katanya pada webinar nasional yang digelar Moya Institute bertema Parpol Baru dan Dinamika Politik Nasional, Kamis (4/2).
Cendekiawam Muslim Prof Azyumardi Azra, menuturkan, partai politik haruslah mempunyai orientasi kepada kepentingan rakyat, bukannya mengutamakan kepentingan politik sendiri serta kekuasaan.
"Parpol baru harus punya strategi khusus jika ingin bersaing dengan parpol lama. Cari cara yang signifikan untuk mendapatkan suara sehingga memenangkan partainya," ucap mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komaruddin Hidayat, memaparkan, dalam dinamika politik nasional sebaiknya partai politik memperlihatkan kompetisi yang baik, beretika, sehingga memang layak disimak dalam politik nasional.
Komaruddin juga mengingatkan bahwa dalam era reformasi yang membuka kebebasan kehadiran partai politik baru, namun justru melakukan serta mengulangi keburukan yang dulu mereka kritisi.
"Akibatnya apa? Respek rakyat atau kepercayaan rakyat pada partai politik itu sangat menurun. Kalau dulu Orde Baru ada floating mass, sekarang reformasi namanya floating parpol," ungkap Komaruddin.
Sedangkan pembicara lainnya, Diplomat senior, Prof Imron Cotan, menyampaikan tentang sejauh mana visi misi dari Partai Gelora Indonesia dapat memikat hati konstituen.
Selain itu, kata Imron, apakah Partai Gelora mampu memberikan pilihan baru dalam Pemilu nanti.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
"Angka 4 persen sebagai parliamentary threshold adalah angka yang cukup efektif untuk menyeleksi partai-partai baru apakah mempunyai kekuatan dalam pentas politik nasional," kata Mahfudz, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta Jumat.
Fakta tersebut, lanjut dia, dapat dicermati bahwa pada perhelatan Pemilu 2019, dari 16 partai politik peserta, namun satu pun tak ada yang lolos dari partai baru memenuhi ambang batas parliamentary threshold.
Menurut Mahfudz, jika melihat perjalanan sejarah Pemilu di Tanah Air, khususnya pasca-reformasi, maka partai politik baru memiliki prospek cemerlang untuk melaju ke parlemen dengan perolehan suara yang bagus.
"Tinggal yang jadi pertanyaan, apakah landscape kepartaian di Indonesia masih memungkinkan? Apakah pasar Pemilu masih memungkinkan eksisnya, munculnya partai politik baru?" katanya pada webinar nasional yang digelar Moya Institute bertema Parpol Baru dan Dinamika Politik Nasional, Kamis (4/2).
Cendekiawam Muslim Prof Azyumardi Azra, menuturkan, partai politik haruslah mempunyai orientasi kepada kepentingan rakyat, bukannya mengutamakan kepentingan politik sendiri serta kekuasaan.
"Parpol baru harus punya strategi khusus jika ingin bersaing dengan parpol lama. Cari cara yang signifikan untuk mendapatkan suara sehingga memenangkan partainya," ucap mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komaruddin Hidayat, memaparkan, dalam dinamika politik nasional sebaiknya partai politik memperlihatkan kompetisi yang baik, beretika, sehingga memang layak disimak dalam politik nasional.
Komaruddin juga mengingatkan bahwa dalam era reformasi yang membuka kebebasan kehadiran partai politik baru, namun justru melakukan serta mengulangi keburukan yang dulu mereka kritisi.
"Akibatnya apa? Respek rakyat atau kepercayaan rakyat pada partai politik itu sangat menurun. Kalau dulu Orde Baru ada floating mass, sekarang reformasi namanya floating parpol," ungkap Komaruddin.
Sedangkan pembicara lainnya, Diplomat senior, Prof Imron Cotan, menyampaikan tentang sejauh mana visi misi dari Partai Gelora Indonesia dapat memikat hati konstituen.
Selain itu, kata Imron, apakah Partai Gelora mampu memberikan pilihan baru dalam Pemilu nanti.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021