Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak pada bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Imparsial mengatakan vonis hukuman mati di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.
"Vonis hukuman mati pada era pascareformasi dari masa Presiden Habibie hingga SBY 1998 sampai 2013 terdapat 197 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di berbagai tingkat pengadilan," kata peneliti Imparsial Amalia Suri di Jakarta, Jumat.
Pada periode pertama pemerintah Presiden Jokowi atau rentang waktu 2014 hingga 2019 terdapat 221 vonis hukuman mati. Selanjutnya, dalam kurun waktu 2019 hingga 2021 terhitung sudah ada 115 vonis mati.
Jika membandingkan jumlah vonis hukuman mati pada masa kepemimpinan Presiden Habibie dan SBY, pada masa Presiden Jokowi jumlah vonis mati jauh lebih banyak.
Hal tersebut, lanjut dia, memiliki makna minimnya komitmen pemerintah untuk melindungi hak hidup masyarakat.
Jika dilihat lebih perinci, pada periode kedua Presiden Jokowi vonis mati tersebut diberikan kepada 82 orang atas kasus narkotika, pembunuhan 33 kasus, dan terorisme satu kasus. Dari jumlah itu, kasus korupsi sama sekali tidak ada vonis mati.
Dari 115 vonis hukuman mati tersebut, Pengadilan Negeri (PN) Medan memvonis paling banyak dari pengadilan lainnya sebanyak 16 vonis, kemudian PN Bengkalis 13 vonis, PN Palembang sembilan vonis, dan PN Batam delapan vonis.
"Ada 109 warga negara Indonesia dan enam warga negara Malaysia yang divonis mati setahun terakhir," katanya.
Secara umum, hak hidup seseorang telah dijamin secara tegas berdasarkan konstitusi karena merupakan hak paling dasar. Namun, di sisi lain saat ini Indonesia masih memiliki undang-undang yang melegalkan hukuman mati.
"Jadi, ini sesuatu yang kontradiktif," ujarnya.
Jika dilihat pada tataran global, di akhir 2019 terdapat 106 negara secara penuh sudah menghapus hukuman mati dari tatanan hukum pemerintahannya. Sementara itu, masih ada 36 negara yang masih mempertahankan hukuman mati tetapi tidak melakukan eksekusi selama 10 tahun terakhir.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
"Vonis hukuman mati pada era pascareformasi dari masa Presiden Habibie hingga SBY 1998 sampai 2013 terdapat 197 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di berbagai tingkat pengadilan," kata peneliti Imparsial Amalia Suri di Jakarta, Jumat.
Pada periode pertama pemerintah Presiden Jokowi atau rentang waktu 2014 hingga 2019 terdapat 221 vonis hukuman mati. Selanjutnya, dalam kurun waktu 2019 hingga 2021 terhitung sudah ada 115 vonis mati.
Jika membandingkan jumlah vonis hukuman mati pada masa kepemimpinan Presiden Habibie dan SBY, pada masa Presiden Jokowi jumlah vonis mati jauh lebih banyak.
Hal tersebut, lanjut dia, memiliki makna minimnya komitmen pemerintah untuk melindungi hak hidup masyarakat.
Jika dilihat lebih perinci, pada periode kedua Presiden Jokowi vonis mati tersebut diberikan kepada 82 orang atas kasus narkotika, pembunuhan 33 kasus, dan terorisme satu kasus. Dari jumlah itu, kasus korupsi sama sekali tidak ada vonis mati.
Dari 115 vonis hukuman mati tersebut, Pengadilan Negeri (PN) Medan memvonis paling banyak dari pengadilan lainnya sebanyak 16 vonis, kemudian PN Bengkalis 13 vonis, PN Palembang sembilan vonis, dan PN Batam delapan vonis.
"Ada 109 warga negara Indonesia dan enam warga negara Malaysia yang divonis mati setahun terakhir," katanya.
Secara umum, hak hidup seseorang telah dijamin secara tegas berdasarkan konstitusi karena merupakan hak paling dasar. Namun, di sisi lain saat ini Indonesia masih memiliki undang-undang yang melegalkan hukuman mati.
"Jadi, ini sesuatu yang kontradiktif," ujarnya.
Jika dilihat pada tataran global, di akhir 2019 terdapat 106 negara secara penuh sudah menghapus hukuman mati dari tatanan hukum pemerintahannya. Sementara itu, masih ada 36 negara yang masih mempertahankan hukuman mati tetapi tidak melakukan eksekusi selama 10 tahun terakhir.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021