Banda Aceh, 28/12 (Antaraaceh) - Sepuluh tahun lampau, Aceh adalah kesenyapan yang mencekam laksana bekas peradaban yang tercemarut.Guncangan gempa tektonik berkekuatan 9,3 SR disusul gelombang tsunami pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 silam adalah musibah kita bersama, tangis, lukadan rasa sakit kita bersama.

Ya, Aceh terperangkap dalam upaya mengafankan ratusan ribu mayat.Ditengah rasa putus asa dangem pasusulan, malam dan siang hari, merekatetap berjalan, menyusuri lorong-lorong kota mencari orang-orang yang mereka cintai.

Bulan berikutnya, televisi dan stasiun-stasiun radio pun takhenti menyiarkand aftar orang-orang hilang.Segera setelah kembali terbit, surat kabar juga dipenuhi daftar panjang identitas orang yang dicari keluarganya.

Saya bukan aktor atau pun artis yang mampu mengeluarkan air mata di depan kamera.Adalah sebuah realitas, bahwa orang Aceh selalu hidup dalam resiko.Masih segar dalam ingatan kita, dibulan pertama sesudah bencana, Pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa daerah yang terkena bencana adalah areal yang dilarang untuk kembali dihuni. Semua orang paham, rawa-rawa merupakan kawasan yang buruk untuk ditempati dan melanjutkan kehidupan.

Zona penyangga di perlukan untuk melindungi penduduk.Tenda-tenda dan barak barak pengungsi disediakan sebagai tempat tinggal sementara. Relokasi merupakan tahap berikutnya.Namun, hari demi hari,makin banyak masyarakat mengabaikan aturan untuk tidak kembali ketempat asal. Bagi orang Aceh, tidak ada tempat lain untuk memulai hidup. Selalu dikemukakan alasan; gempa adalah fakta, yang akan terjadi dimana saja.

Hmm, kegelisahan, ketidak nyamanan dan ketakutan memang menjadi bagian dari kehidupan sebelum dan sesudah Tsunami. Karena itu, banyak masyarakat menolak dipindahkan kebarak penampungan, tempat dimana warga dulu sering ditahan saat operasi militer.

Benar, memulai kembali membutuhkan semangat tinggi dan andil seluruh masyarakat, baik itu sesudah pertempuran atau pun setelah musim kemarau. Berjalan tanpa tujuan bukanlah obat untuk therapy rasa duka.Dan akhirnya, masyarakat tetap memilih kampung halaman.

Tsunami yang memporak-porandakan sendi kehidupan tidak mengubah pendiriannya karena bagi orang Aceh rumah adalah tempat mengenang masa lalu, waktu yang hilang dan ikatan yang pernah ada. Tanah tempat rumah itu berdiri adalah milik keluarga dan asset yang ‘diamanahkan’untuk masa depan keluarga. Rumah adalah bilik kelahiran dan tempat ia di besarkan.

Rumah adalah satu-satunya tempat merajut harapan kepastian.Tempat berkokoknya ayam jantan. Rakyat Aceh paham,membangun sebuah rumah adalah membangun struktur sosial. Membangun kembali permukiman adalah membangun kembali sejarah masyarakat yang hilang.

Tamsilin datu; Kursigo yang tak kan membawa kita kemanapun, nak. Dalam buku setebal 266 halaman ‘The Price of Freedom: The Unfinished Diary of HasanTiro, jugajelastertulis, Hanya orang gila dan dungu yang percaya aku tak akan kembali lagi.

Dunia Masuk Serambi Mekkah Mustahil membangun puing-puing reruntuhan apabila Pemerintahdan GAM masih berseberangan paham.Tsunami Aceh menggelitik nurani yang akhirnya lahirlah ‘damai Aceh’disebuah Mansion tuakota Vantaa, sebuah kota yang berselimut salju, 25 KM diluar kota Helsinki, Finlandia.Sejarah mencatat, mediator dan fasilitatornya adalah mantan kapten Army Reserve yang juga Presiden Finlandia ke-10, MarttiAhtisaari, melalui lembaga non Pemerintah, Crisis Management Initiavite (CMI).

Aceh Damai! Komunitas Tentara dan Sipil internasional masuk.Together helping others. Mereka pun mengepung sudut-sudut tanah indatu, menyalurkan bantuan ‘emergency’ kemanusiaan,hingga bersama-sama melanjutkan fase dan proses Rehabilitasidan Rekonstruksi Aceh.

Perubahan besar telah terjadi.Hariini, Aceh merupakan tempat yang berbeda, hasil kerja keras dan kerjasama yang baik, dari biaya yang besar.Aceh Thanks The World!.Infrastruktur yang rusak telah diperbaiki dan kita harus yakin masa depan lebih baik dari hari ini sebab keyakinan adalah jembatan untuk kembali tegak dan menatap mentari esok dengan optimisme.

Di warung-warung kopi, sambil mengepulkan asap rokok, para ahli hisap saling lempar argumen sesuai pengetahuannya.Tak peduli apakah ia nya ahli komunikasi, ahli budaya, ahli politik, ahli ekonomi, semuanya memuncul kan argumen.Tak ada sidang pleno untuk menetapkan moderator maupun notulen yang mencatat,namun ‘diskusi‘ tetap aja hangat.

Ada yang berkisah tentang atraksi hewan cerdas yang penurut, yakni lumba-lumba,  ada yang berceritaindahnyakepakansayap Garuda, ada yang menyeru untuk meningkatkan sistem peringatan bahaya gempa tsunami, ada yang mendesah kurangnya escape building, ada uraian perilaku dan tindakan manusia yang tidak memelihara nikmat, ada yang membenci perayaan tahun baru,ada pula yang menerjemahkan artibom atom.

Kata pak guru di sekolah,waktu adalah misteri, tak ada yang mampu meramalkan secara pasti.Mereka yang mengaku ‘orang pintar’ hanyalahmereka,menganalisa kemungkinan,mendalami hayalan dan sedikit mengoles bumbu akan kejadian mistis yang dipaksa untuk dihubung-hubungkan. Yang pasti, takadang kenaikan kelas bagi seorang murid tanpa ujian kelas, ucap sang guru, dulu.

Renungan sejenak tentu diperlukan tuk menga yang egoisme diri dan menghentikan aliran pikiran kita yang terbatas,hingga jendela qalbu terbuka dan memancarkan isinya. Secara anatomi dan biokimia, sistem lakrimasi dan air mata juga penting untuk membersihkan dan mencerahkan mata, melegakan perasaan, membunuh bakteri sekaligus mengeluarkan racunnya.

Ya, Sabar dan syukur adalah 2 hal yang harus melekat pada setiap insan karena takkan ada sehelai daun pun runtuh tanpa izin dan kehendak-Nya.Seperti yang didegungkan Ebiet G Ade dalam tembangnya‘Untuk Kita Renungkan”;Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.Suci lahir dan di dalam batin, Tengoklah kedalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat.

Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya.Kita mesti tabah menjalani.Hanya cambuk kecil agar kitasadar, adalah Dia diatas segalanya.Adalah Dia di atas segalanya…hooo...hooohooo

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahiwainnaailaihiraaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Firman Allah dalamQS. Al-Baqarah : 156-157).

Pewarta:

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014