Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Tim Panitia Khusus (Pansus) I DPRK Aceh Selatan, Provinsi Aceh, menemukan fakta bahwa sudah semakin parah terjadi kerusakan lingkungan, pendangkalan dan keringnya sungai, sebagai dampak dari kegiatan penambangan bijih besi dan emas di daerah itu.
Ketua tim Pansus I Bidang Pertambangan DPRK Aceh Selatan Tgk Mustarudin saat dihubungi di Tapaktuan, Kamis menyatakan, persoalan yang sangat dikeluhkan masyarakat saat ini adalah debit air di Sungai Menggamat semakin mengecil yang diduga akibat banyak kayu-kayu besar di sekitar lokasi tambang telah mati sehingga tidak ada lagi yang menyerap air.
Selain itu, dampak dari kegiatan usaha pertambangan tersebut juga telah mengakibatkan Sungai Menggamat dangkal karena tertimbun lumpur dan batu, katanya.
Masyarakat setempat memprotes cara kerja pihak perusahaan dalam mengeruk tanah dan batu, karena sisa pembuangannya langsung ditimbun ke alur sungai yang akhirnya di saat turun hujan secara otomatis tumpukan tanah dan batu itu dibawa arus ke sungai sehingga membuat Sungai Menggamat semakin dangkal.
Ketua tim Pansus I Bidang Pertambangan DPRK Aceh Selatan Tgk Mustarudin saat dihubungi di Tapaktuan, Kamis menyatakan, persoalan yang sangat dikeluhkan masyarakat saat ini adalah debit air di Sungai Menggamat semakin mengecil yang diduga akibat banyak kayu-kayu besar di sekitar lokasi tambang telah mati sehingga tidak ada lagi yang menyerap air.
Selain itu, dampak dari kegiatan usaha pertambangan tersebut juga telah mengakibatkan Sungai Menggamat dangkal karena tertimbun lumpur dan batu, katanya.
Masyarakat setempat memprotes cara kerja pihak perusahaan dalam mengeruk tanah dan batu, karena sisa pembuangannya langsung ditimbun ke alur sungai yang akhirnya di saat turun hujan secara otomatis tumpukan tanah dan batu itu dibawa arus ke sungai sehingga membuat Sungai Menggamat semakin dangkal.
"Ribuan masyarakat Menggamat saat ini mengeluh karena kesulitan memperoleh air untuk dikonsumsi dan keperluan MCK. Kondisi debit air sungai saat ini semakin mengecil karena banyak pohon kayu besar di gunung telah mati serta kondisi sungai sudah semakin dangkal akibat tertimbun tanah dan batu dampak dari kegiatan pertambangan biji besi dan emas tersebut," ujarnya.
Legislator dari Partai Aceh (PA) ini menambahkan, hasil peninjauan lokasi yang dilakukan pihaknya beberapa waktu lalu, menemukan bahwa kondisi pendangkalan sungai yang paling parah terjadi di Desa Simpang Tiga Menggamat.
"Sungai di desa tersebut bukan pendangkalan lagi, tapi sudah seperti sengaja ditimbun. Di lokasi itu kami lihat air sudah mengering dan ke sungai dengan daratan hampir sama sehingga ketersediaan air nyaris tidak terlihat lagi," ujarnya.
Selain itu, sambung Mustarudin, pihaknya juga menemukan sejumlah pohon dan tanaman muda seperti pohon durian, pala, pinang, kopi, kakao, cengkeh serta sawit dalam kebun milik warga yang berada di sekitar lokasi tambang telah mati.
Menurut keterangan warga setempat, kata Mustarudin, penyebab pohon serta tanaman muda tersebut mati disebabkan dampak dari usaha kegiatan pertambangan biji besi dan emas di wilayah itu.
"Termasuk terjadinya pendangkalan dan kekeringan air sungai, diduga juga disebabkan dampak dari kegiatan pertambangan. Karena berdasarkan keterangan warga, lokasi pembukaan lahan tambang itu persis berada di kawasan gunung yang menjadi hulu sumber mata air sungai selama ini," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Kebersihan dan Lingkungan Hidup Aceh Selatan Mirjas saat di konfirmasi mengatakan, dalam melakukan aktivitas operasionalnya dua perusahaan tambang yang melakukan penambangan bijih besi dan emas di Menggamat yakni PT PSU dan PT BMU, telah mengantongi izin UKL dan UPL bukan izin Amdal.
"Dalam melakukan kegiatannya, mereka telah mengantongi izin UKL/UPL. Dan yang mengeluarkan izin tersebut adalah Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT). Kami hanya sebatas mengeluarkan rekomendasi lingkungan setelah pihak perusahaan itu melengkapi syarat-syarat sesuai petunjuk teknis pembuatan dokument UKL/UPL," papar Mirjas.
Menurut Mirjas, jika pihak perusahaan itu telah melengkapi seluruh syarat yang ditetapkan, maka pihaknya tidak bisa menolak mengeluarkan rekomendasi UKL/UPL.
Jika selanjutnya dalam proses kegiatan pertambangan, kata Mirjas, kemudian pihak perusahaan itu melakukan pelanggaran atau merusak lingkungan, maka seharusnya pihak yang bertanggungjawab terhadap hal itu adalah perusahaan yang bersangkutan.
"Karena kegiatan perusahaan itu terkait pertambangan, maka seharusnya Dinas Pertambangan yang mempunyai kewenangan serta tanggungjawab untuk melakukan pengawasan, sebab mereka membidangi hal itu," kata Mirjas.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015