Blangpidie (ANTARA Aceh) - Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) mendukung Peratuan  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)terkait larangan penangkapan lobster dengan ukuran tertentu, karena populasinya perlu dipertahankan.

"Kebijakan KKP mengeluarkan peraturan larangan ada baiknya. Selain mencegah rusaknya terumbu karang dan ekosistem laut juga dapat mencegah putusnya regenerasi lobster dan ranjungan," kata Kepala DKP Abdya, Muslim Hasan di Blangpidie, Senin.

Menurut Muslim, kepiting dan lobster di laut semakin berkurang, karena alat tangkap cangkrang merusak terumbu karang dan ekosistem laut.

Namun, dengan dikeluarnya Peraturan KKP, kelanjutan hidup dan turunan lobster bersama ranjungan menjadi lebih terjamin populasinya hingga masa akan datang.

Demikan juga dengan kebijakan KKP tentang pelarangan pengunaan alat tangkap cangkrang yang menurut dia, kebijakan tersebut sangat tepat sebagai bentuk upaya pemerintah mencegah rusaknya terumbu karang
karena alat tangkap jenis itu dapat merusak ekosistem laut.

Kemudian, Permen KP No 57/2014 tentang transhipment, kata dia, pemindahan ikan dari satu kapal ke kapal lainnya di tengah laut sangat merugikan negara, karena ikan yang ditangkap tidak disinggahi ke tempat pelelangan ikan (TPI) yang telah dibangun pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah.

Selain sangat merugikan negara yang telah merealisasikan anggaran milaran rupiah untuk pembangunan pelabuhan TPI tiap-tiap daerah di pesisir. Pemerintah juga tidak bisa memantau atau menghitung jumlah produksi ikan yang ditangkap nelayan.

"Saya pikir, kebijakan Menteri Susi itu sangat bagus untuk perbaikan. Begitu juga sistem penataan perizinan usaha perikanan. Dengan adanya kebijakan tersebut data perizinan dapat terpantau dengan baik," katanya.

Kendatipun demikian, kata dia, kebijakan Menteri Susi kurang mendapatkan perhatian, karena sistem pemberlakukannya dilakukan serta merta, tanpa memperhitungkan investasi dan kelangsungan pelaku usaha
sektor perikanan yang seharusnya diberlakukan masa jeda supaya tidak merugikan pelaku usaha.

"Seharusnya ada masa jeda berlaku, misalnya 6-12 bulan, sehingga pelaku usaha sektor perikanan dapat mempersiapkan kondisi yang diharapkan oleh kebijakan Menteri Susi. Jadi, dengan adanya kebijakan
itu pelaku usaha perikanan terutama nelayan dan keluarganya tidak merugi," katanya.

Sementara, Kadis DKP Kabupaten Aceh Singkil, Ismed Taufiq saat diminta tanggapanya mengatakan, kebijakan Menteri Susi memang agak menyulitkan para nelayan, karena peraturan pelarangan ekploitasi lobster dibawah 300 gram, sedangkan populasi lobster di atas 300 gram sangat sulit didapatkan nelayan.

"Iya, sangat menyulitkan nelayan, karena Permen KP No 1 tahun 2015 disebutkan, lobster yang dilarang ekploitasi dibawah 200 gram. Sekarang direvisi lagi menjadi dibawah 300 gram. Nah, sekarang populasi di atas 300 gram itu sangat sulit diperoleh nelayan," katanya.

Pun demikian, kata Ismed, kebijakan Menteri Susi tersebut sudah bagus demi keberlanjutan mempertahankan populasi lobster dan ranjungan.

Karena jika terus menerus lobster kecil maupun sedang bertelur diekploitasi nelayan, 5 tahun ke depan kemungkinan lobster di laut Indonesia akan punah.

"Kalau populasinya bisa dipertahankan itu bagus. Kita sangat mendukung peraturan tersebut. Lagipula kebijakan itu bukan untuk selama-lamanya. Mungkin berlakunya hanya 2 sampai 3 tahun, setelah itu dicabut kembali," katanya.

Dalam menjaga populasi lobster dari ancaman kepunahan, Ismed menyarankan agar pihak KKP harus mempertegaskan larangan penggunaan racun potas di laut.

Pemerintah Pusat harus mengimbau para nelayan di seluruh Indonesia menggunakan alat tangkap lobster yang ramah lingkungan.

Pewarta: Pewarta : Suprian

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016