Psikolog Siti Rahmah menyatakan ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental.
Adapun tips itu adalah menjalani rutinitas yang sehat, tetap menjaga relasi yang positif dengan lingkungan sekitar, dan menyediakan waktu luang untuk diri sendiri.
Pertama, menjalani rutinitas yang sehat dapat dilakukan dengan cara cukup tidur dan beristirahat, mengonsumsi makanan yang sehat, mandi, berolahraga, dan lainnya.
"Hal-hal tersebut mampu memberikan dampak langsung dalam kesehatan mental," katanya.
Kemudian, tetap menjaga relasi yang positif dengan lingkungan sekitar akan membuat individu menjadi semakin berdaya dan tangguh dalam menghadapi lingkungan sekitar dengan menemukan teman-teman yang dapat memberikan dukungan (support system) yang tepat.
"Di sisi lain, kita juga terkadang perlu untuk memilah-milah mana yang menjadi ‘toxic relationship’, sehingga mampu memberikan kontrol terhadap diri sendiri," katanya.
Selain itu, tetap menyediakan waktu luang untuk diri sendiri bisa berupa kegiatan yang merawat diri sendiri, melakukan aktivitas hobi, atau menikmati aktivitas lainnya yang positif.
"Beberapa orang menyebutnya sebagai kondisi ‘me time’ yang berarti bersenang-senang dalam aktifitas sendirian," katanya.
Tambahnya, peran pemerintah juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran kesehatan mental di kalangan masyarakat Aceh melalui upaya-upaya sosialisasi pentingnya menjaga kesehatan mental.
"Di samping itu, ketersediaan sarana dan prasarana juga perlu ditingkatkan agar dapat memberikan dampak positif pada kesehatan masyarakat," katanya.
Masyarakat Aceh masih perlu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang kesehatan mental.
Menurut pengamatannya, masyarakat Aceh sudah memiliki pengetahuan kesehatan mental yang cukup baik karena bisa menemukan bantuan terkait kesehatan mental, terutama di wilayah Banda Aceh. Namun, kesadaran dan pengetahuan ini masih perlu terus ditingkatkan, terutama di luar ibu kota Banda Aceh.
"Karena masih banyak pula kasus-kasus orang yang mengalami depresi hingga trauma, masih diberikan pelayanan yang bukan pada area kesehatan," katanya di Banda Aceh, Senin.
Ia juga menjelaskan bahwa kesadaran kesehatan mental di Banda Aceh memang sudah bertumbuh dan lebih baik daripada kondisi-kondisi sebelumnya. Akan tetapi, tingkat kesadaran tersebut masih belum masuk ke dalam kategori sangat peduli.
"Hal ini karena masih banyak masyarakat Aceh paham dengan kondisi masalah gangguan kesehatan mental, tetapi berupaya menanganinya bukan dengan tenaga kesehatan profesional," katanya.
Sejauh yang ia tangani, gangguan kesehatan mental di kalangan masyarakat Aceh paling dominan terjadi pada rentang usia remaja-dewasa, yaitu usia 13-30 tahun. Kebanyakan dari mereka mengalami masalah kecemasan, depresi, overthinking, phobia, hingga trauma.
Gangguan mental tersebut, kata dia, disebabkan oleh karena adanya tekanan dalam relasi sosial baik hubungan dalam keluarga, pertemanan, sosial, maupun hubungan lainnya.
"Kebanyakan dari sisi remaja mengalami adanya tekanan dalam masalah pendidikan, mulai dari peralihan kembali pendidikan dari kondisi COVID-19, beban pembelajaran, dan masalah motivasi belajar," katanya.
Selain itu, sumber stres yang memicu terganggunya kesehatan mental tersebut juga bisa muncul dari lingkungan rumah, pendidikan, dan lingkungan kerja.
Di sisi lain, kata dia, perlu dipahami bahwa fokus dari kesehatan mental adalah kondisi ketika diri individu tersebut mampu merasa nyaman, tenang, dan tentram. Untuk itu, penjagaannya sama pentingnya seperti menjaga kesehatan fisik.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022
Adapun tips itu adalah menjalani rutinitas yang sehat, tetap menjaga relasi yang positif dengan lingkungan sekitar, dan menyediakan waktu luang untuk diri sendiri.
Pertama, menjalani rutinitas yang sehat dapat dilakukan dengan cara cukup tidur dan beristirahat, mengonsumsi makanan yang sehat, mandi, berolahraga, dan lainnya.
"Hal-hal tersebut mampu memberikan dampak langsung dalam kesehatan mental," katanya.
Kemudian, tetap menjaga relasi yang positif dengan lingkungan sekitar akan membuat individu menjadi semakin berdaya dan tangguh dalam menghadapi lingkungan sekitar dengan menemukan teman-teman yang dapat memberikan dukungan (support system) yang tepat.
"Di sisi lain, kita juga terkadang perlu untuk memilah-milah mana yang menjadi ‘toxic relationship’, sehingga mampu memberikan kontrol terhadap diri sendiri," katanya.
Selain itu, tetap menyediakan waktu luang untuk diri sendiri bisa berupa kegiatan yang merawat diri sendiri, melakukan aktivitas hobi, atau menikmati aktivitas lainnya yang positif.
"Beberapa orang menyebutnya sebagai kondisi ‘me time’ yang berarti bersenang-senang dalam aktifitas sendirian," katanya.
Tambahnya, peran pemerintah juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran kesehatan mental di kalangan masyarakat Aceh melalui upaya-upaya sosialisasi pentingnya menjaga kesehatan mental.
"Di samping itu, ketersediaan sarana dan prasarana juga perlu ditingkatkan agar dapat memberikan dampak positif pada kesehatan masyarakat," katanya.
Masyarakat Aceh masih perlu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang kesehatan mental.
Menurut pengamatannya, masyarakat Aceh sudah memiliki pengetahuan kesehatan mental yang cukup baik karena bisa menemukan bantuan terkait kesehatan mental, terutama di wilayah Banda Aceh. Namun, kesadaran dan pengetahuan ini masih perlu terus ditingkatkan, terutama di luar ibu kota Banda Aceh.
"Karena masih banyak pula kasus-kasus orang yang mengalami depresi hingga trauma, masih diberikan pelayanan yang bukan pada area kesehatan," katanya di Banda Aceh, Senin.
Ia juga menjelaskan bahwa kesadaran kesehatan mental di Banda Aceh memang sudah bertumbuh dan lebih baik daripada kondisi-kondisi sebelumnya. Akan tetapi, tingkat kesadaran tersebut masih belum masuk ke dalam kategori sangat peduli.
"Hal ini karena masih banyak masyarakat Aceh paham dengan kondisi masalah gangguan kesehatan mental, tetapi berupaya menanganinya bukan dengan tenaga kesehatan profesional," katanya.
Sejauh yang ia tangani, gangguan kesehatan mental di kalangan masyarakat Aceh paling dominan terjadi pada rentang usia remaja-dewasa, yaitu usia 13-30 tahun. Kebanyakan dari mereka mengalami masalah kecemasan, depresi, overthinking, phobia, hingga trauma.
Gangguan mental tersebut, kata dia, disebabkan oleh karena adanya tekanan dalam relasi sosial baik hubungan dalam keluarga, pertemanan, sosial, maupun hubungan lainnya.
"Kebanyakan dari sisi remaja mengalami adanya tekanan dalam masalah pendidikan, mulai dari peralihan kembali pendidikan dari kondisi COVID-19, beban pembelajaran, dan masalah motivasi belajar," katanya.
Selain itu, sumber stres yang memicu terganggunya kesehatan mental tersebut juga bisa muncul dari lingkungan rumah, pendidikan, dan lingkungan kerja.
Di sisi lain, kata dia, perlu dipahami bahwa fokus dari kesehatan mental adalah kondisi ketika diri individu tersebut mampu merasa nyaman, tenang, dan tentram. Untuk itu, penjagaannya sama pentingnya seperti menjaga kesehatan fisik.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022