Tenaga Pendamping Usaha Kelautan dan Perikanan (TPUKP) Aceh Hamdani menyatakan bahwa kualitas produk garam Aceh masih perlu ditingkatkan agar dapat memenuhi kebutuhan pasar serta berdaya saing.
"Kita ingin tingkatkan kualitas produk agar memenuhi kebutuhan pasar, dan masuk pasar konsumen," kata Hamdani, di Banda Aceh, Sabtu.
Hamdani menyampaikan, kelompok usaha garam rakyat yang masih eksis di daerah memerlukan pendampingan SNI serta izin edar MD dari BPOM RI, sehingga produk garam Aceh benar-benar mampu bersaing di pasaran.
Hamdani menuturkan, sangat menguntungkan petani jika garam mereka memenuhi kebutuhan konsumen seperti untuk konsumsi rumah tangga, restoran, usaha kuliner, apalagi dapat dipasarkan melalui pasar ritel modern di Aceh.
Sejauh ini, kata Hamdani, banyak petani garam belum memahami tentang standar produk sesuai SNI dan hal lainnya yang harus disiapkan terkait dengan ijin edar. Tetapi selama ini mereka hanya memproduksi garam saja secara turun temurun.
Di sisi lain, lanjut Hamdani, petani garam rakyat sangat menginginkan produknya memiliki kemasan yang bagus dan dapat diterima di tempat penjualan ritel.
Namun, hingga saat ini masih terkendala oleh SNI dan MD BPOM yang tidak kunjung berhasil diperoleh karena berbagai macam kendala.
"Kendala utama yang dihadapi adalah masalah sanitasi dan higienis area produksi serta fasilitas/teknologi produksi yang belum sesuai standar dan nilai keekonomian," ujarnya.
Sebenarnya, kata Hamdani, jika dilihat secara kasat mata kualitas garam Aceh lebih bersih (putih kapas), halus (cocok untuk konsumsi), dan tidak terlalu asin, karena ada garam yang agak rasa pahit, atau pas untuk bumbu tambahan.
Karena itu, kelompok garam Aceh saat ini hanya membutuhkan dukungan, terutama BPOM, perguruan tinggi, dan dinas perindustrian untuk memfasilitasi teknologi produksi, dan peningkatan nilai produk sesuai SNI.
"Jika tidak, maka bisa saja suatu saat petani garam rakyat di sini punah dan terpaksa mencari usaha lain yang lebih menjanjikan. Tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan karena petani garam tidak mungkin mencari profesi lain," katanya.
Hamdani menambahkan, selama ini kelompok garam dari berbagai daerah di Aceh memang telah mendapat perhatian dan pembinaan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) baik dari provinsi maupun kabupaten/kota di tanah rencong.
Metode produksi yang diterapkan saat ini yaitu sistem rebus dan geomembran dengan penyesuaian baik dari sisi infrastruktur maupun lokasi/lahan mengingat pesisir Aceh yang kerap banjir dan angin kencang.
"Oleh sebab itu, dalam rangka melestarikan produk garam rakyat, maka perlu kita tingkatkan daya saing agar tetap eksis di pasar," demikian Hamdani.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022
"Kita ingin tingkatkan kualitas produk agar memenuhi kebutuhan pasar, dan masuk pasar konsumen," kata Hamdani, di Banda Aceh, Sabtu.
Hamdani menyampaikan, kelompok usaha garam rakyat yang masih eksis di daerah memerlukan pendampingan SNI serta izin edar MD dari BPOM RI, sehingga produk garam Aceh benar-benar mampu bersaing di pasaran.
Hamdani menuturkan, sangat menguntungkan petani jika garam mereka memenuhi kebutuhan konsumen seperti untuk konsumsi rumah tangga, restoran, usaha kuliner, apalagi dapat dipasarkan melalui pasar ritel modern di Aceh.
Sejauh ini, kata Hamdani, banyak petani garam belum memahami tentang standar produk sesuai SNI dan hal lainnya yang harus disiapkan terkait dengan ijin edar. Tetapi selama ini mereka hanya memproduksi garam saja secara turun temurun.
Di sisi lain, lanjut Hamdani, petani garam rakyat sangat menginginkan produknya memiliki kemasan yang bagus dan dapat diterima di tempat penjualan ritel.
Namun, hingga saat ini masih terkendala oleh SNI dan MD BPOM yang tidak kunjung berhasil diperoleh karena berbagai macam kendala.
"Kendala utama yang dihadapi adalah masalah sanitasi dan higienis area produksi serta fasilitas/teknologi produksi yang belum sesuai standar dan nilai keekonomian," ujarnya.
Sebenarnya, kata Hamdani, jika dilihat secara kasat mata kualitas garam Aceh lebih bersih (putih kapas), halus (cocok untuk konsumsi), dan tidak terlalu asin, karena ada garam yang agak rasa pahit, atau pas untuk bumbu tambahan.
Karena itu, kelompok garam Aceh saat ini hanya membutuhkan dukungan, terutama BPOM, perguruan tinggi, dan dinas perindustrian untuk memfasilitasi teknologi produksi, dan peningkatan nilai produk sesuai SNI.
"Jika tidak, maka bisa saja suatu saat petani garam rakyat di sini punah dan terpaksa mencari usaha lain yang lebih menjanjikan. Tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan karena petani garam tidak mungkin mencari profesi lain," katanya.
Hamdani menambahkan, selama ini kelompok garam dari berbagai daerah di Aceh memang telah mendapat perhatian dan pembinaan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) baik dari provinsi maupun kabupaten/kota di tanah rencong.
Metode produksi yang diterapkan saat ini yaitu sistem rebus dan geomembran dengan penyesuaian baik dari sisi infrastruktur maupun lokasi/lahan mengingat pesisir Aceh yang kerap banjir dan angin kencang.
"Oleh sebab itu, dalam rangka melestarikan produk garam rakyat, maka perlu kita tingkatkan daya saing agar tetap eksis di pasar," demikian Hamdani.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022