Koalisi Transisi Bersih menyambut positif langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam pengungkapan dugaan korupsi minyak goreng sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk menghukum korporasi "nakal" dan pembenahan industri sawit di Tanah Air.
Koalisi Transisi Bersih melalui siaran pers yang diterima Antara di Banda Aceh, Kamis, menyatakan pengungkapan kasus korupsi dalam pemberian izin ekspor komoditas sawit dan turunannya menunjukkan betapa mudahnya korporasi mempengaruhi kebijakan pemerintah. Korporasi bisa dengan mengubah kebijakan agar bisa melakukan ekspor meski belum memenuhi kewajiban domestik.
Koalisi Transisi Bersih adalah koalisi lembaga non-pemerintah beranggotakan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terbentuk pada awal tahun 2023 yang memiliki visi bersama, yaitu pada 2030 Indonesia mencapai pembangunan rendah emisi dan berkeadilan iklim, melalui optimalisasi sawit rakyat bebas deforestasi, menjaga kedaulatan pangan dan gerakan percepatan transisi ke energi bersih.
Baca juga: Kejagung panggil ulang Airlangga Hartarto untuk pemeriksaan dugaan korupsi minyak goreng
Sebelumnya, Tim Penyelidik Direktorat Penyidikan Jampidsus pada 6 Juli lalu melakukan penyitaan aset Musim Mas Group (MMG), Wilmar Group, dan Permata Hijau Group. Penyitaan ini merupakan bagian dari penetapan tiga perusahaan tersebut sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi minyak goreng.
Penetapan itu hasil penyidikan korporasi setelah hakim pada perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022 memandang perbuatan terpidana adalah merupakan aksi korporasi.
Aset Musim Mas atau Musim Mas Group (MMG) yang disita berupa tanah dengan total 277 bidang seluas 14.620,48 hektare, aset Wilmar Group berupa tanah dengan total 625 bidang seluas 43,32 hektare. Sedangkan aset PT Permata Hijau Group disita tanah dengan total 70 bidang seluas 23,7 hektare.
Kemudian mata uang rupiah sebanyak 5.588 lembar dengan total Rp385.300.000. Selain itu juga mata uang dolar USD sebanyak 4.352 lembar dengan total 435.200 dolar AS, mata uang ringgit Malaysia sebanyak 561 lembar dengan total RM52.000, dan mata uang dolar Singapura sebanyak 290 lembar dengan total 250.450 dolar.
Menurut Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional yang juga juru bicara Koalisi Transisi Bersih, kasus korupsi minyak goreng yang menyeret Musim Mas Group (MMG), Wilmar Group, dan Permata Hijau Group, serta kasus korupsi sebelumnya yakni Surya Darmadi dari Duta Palma Group terkait korupsi perizinan, membuktikan bahwa bahwa hulu-hilir industri sawit mempunyai banyak masalah dan begitu rentan menjadiruang korupsi.
"Oleh karenanya, upaya perbaikan tata kelola dan tata niaga industri sawit wajib segera dilakukan," katanya.
Baca juga: Kejati Aceh sita aset tersangka korupsi peremajaan sawit
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan bahwa salah satu akar masalah rantai pengusahaan industri sawit adalah lemahnya pengawasan terhadap pasar CPO yang cenderung oligopoli, sehingga perilaku kartel kerap terjadi di pasar minyak goreng. Untuk itu, transparansi data dan penguatan penegakan hukum menjadi kunci pengawasan pasar.
Pemerintah juga harus serius membenahi tata kelola sawit Indonesia, salah satunya dengan kembali memberlakukan moratorium pemberian izin, serta melakukan audit korporasi sawit secara transparan.
"Desakan ini sudah berkali-kali disampaikan kelompok masyarakat sipil, termasuk lewat gugatan kelangkaan minyak goreng terhadap Presiden
Joko Widodo dan Menteri Perdagangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta," katanya.
Penetapan tersangka korporasi ini merupakan langkah maju yang dilakukan oleh penegak hukum. Andi Muttaqien, Direktur Satya Bumi mengatakan selain sebagai momentum perbaikan tata kelola, pemidanaan korporasi mampu memberikan efek jera pada korporasi karena dimungkinkannya pidana tambahan terhadap korporasi melalui perampasan atau pengambilalihan korporasi oleh negara, bahkan pencabutan izin usaha.
Perampasan aset tersebut kemudian juga dapat dijadikan momentum untuk menyelesaikan persoalan lingkungan dengan melakukan pemulihan serta konflik agraria di daerah perkebunan kelapa sawit perusahaan tersebut, tambah Andi. Jika negara terus berpihak pada kepentingan oligarki, maka tidak heran jika kasus kelangkaan minyak goreng akan terus berulang. Terlebih saat ini ada pintu pelarian pemasok CPO untuk kebutuhan biodiesel yang jelas-jelas lebih menguntungkan bagi korporasi.
Achmad Surambo dari Sawit Watch mengingatkan bahwa banyak hal kebijakan dan institusi telah dikeluarkan dan dicanangkan oleh Pemerintah, tetapi semuanya belum menyentuh akar-akar pokok masalah dalam tata kelola perkebunan sawit, dimana ketimpangan penguasaan akan terus berlanjut, dan ketidaktransparan juga akan terus berlanjut, bahkan partisipasi publik pun minim.
Pemerintah harus memulai untuk membalik semuanya lewat mengoreksi kebijakan pemupuk ketimpangan penguasaan, membuka data HGU untuk publik, mensharing hasil audit perkebunan sawit yang telah dilakukan, dan lain sebagainya.
Baca juga: Kejari Abdya sita 7.000 hektare tanah HGU PT Cemerlang Abadi
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
Koalisi Transisi Bersih melalui siaran pers yang diterima Antara di Banda Aceh, Kamis, menyatakan pengungkapan kasus korupsi dalam pemberian izin ekspor komoditas sawit dan turunannya menunjukkan betapa mudahnya korporasi mempengaruhi kebijakan pemerintah. Korporasi bisa dengan mengubah kebijakan agar bisa melakukan ekspor meski belum memenuhi kewajiban domestik.
Koalisi Transisi Bersih adalah koalisi lembaga non-pemerintah beranggotakan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terbentuk pada awal tahun 2023 yang memiliki visi bersama, yaitu pada 2030 Indonesia mencapai pembangunan rendah emisi dan berkeadilan iklim, melalui optimalisasi sawit rakyat bebas deforestasi, menjaga kedaulatan pangan dan gerakan percepatan transisi ke energi bersih.
Baca juga: Kejagung panggil ulang Airlangga Hartarto untuk pemeriksaan dugaan korupsi minyak goreng
Sebelumnya, Tim Penyelidik Direktorat Penyidikan Jampidsus pada 6 Juli lalu melakukan penyitaan aset Musim Mas Group (MMG), Wilmar Group, dan Permata Hijau Group. Penyitaan ini merupakan bagian dari penetapan tiga perusahaan tersebut sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi minyak goreng.
Penetapan itu hasil penyidikan korporasi setelah hakim pada perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022 memandang perbuatan terpidana adalah merupakan aksi korporasi.
Aset Musim Mas atau Musim Mas Group (MMG) yang disita berupa tanah dengan total 277 bidang seluas 14.620,48 hektare, aset Wilmar Group berupa tanah dengan total 625 bidang seluas 43,32 hektare. Sedangkan aset PT Permata Hijau Group disita tanah dengan total 70 bidang seluas 23,7 hektare.
Kemudian mata uang rupiah sebanyak 5.588 lembar dengan total Rp385.300.000. Selain itu juga mata uang dolar USD sebanyak 4.352 lembar dengan total 435.200 dolar AS, mata uang ringgit Malaysia sebanyak 561 lembar dengan total RM52.000, dan mata uang dolar Singapura sebanyak 290 lembar dengan total 250.450 dolar.
Menurut Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional yang juga juru bicara Koalisi Transisi Bersih, kasus korupsi minyak goreng yang menyeret Musim Mas Group (MMG), Wilmar Group, dan Permata Hijau Group, serta kasus korupsi sebelumnya yakni Surya Darmadi dari Duta Palma Group terkait korupsi perizinan, membuktikan bahwa bahwa hulu-hilir industri sawit mempunyai banyak masalah dan begitu rentan menjadiruang korupsi.
"Oleh karenanya, upaya perbaikan tata kelola dan tata niaga industri sawit wajib segera dilakukan," katanya.
Baca juga: Kejati Aceh sita aset tersangka korupsi peremajaan sawit
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan bahwa salah satu akar masalah rantai pengusahaan industri sawit adalah lemahnya pengawasan terhadap pasar CPO yang cenderung oligopoli, sehingga perilaku kartel kerap terjadi di pasar minyak goreng. Untuk itu, transparansi data dan penguatan penegakan hukum menjadi kunci pengawasan pasar.
Pemerintah juga harus serius membenahi tata kelola sawit Indonesia, salah satunya dengan kembali memberlakukan moratorium pemberian izin, serta melakukan audit korporasi sawit secara transparan.
"Desakan ini sudah berkali-kali disampaikan kelompok masyarakat sipil, termasuk lewat gugatan kelangkaan minyak goreng terhadap Presiden
Joko Widodo dan Menteri Perdagangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta," katanya.
Penetapan tersangka korporasi ini merupakan langkah maju yang dilakukan oleh penegak hukum. Andi Muttaqien, Direktur Satya Bumi mengatakan selain sebagai momentum perbaikan tata kelola, pemidanaan korporasi mampu memberikan efek jera pada korporasi karena dimungkinkannya pidana tambahan terhadap korporasi melalui perampasan atau pengambilalihan korporasi oleh negara, bahkan pencabutan izin usaha.
Perampasan aset tersebut kemudian juga dapat dijadikan momentum untuk menyelesaikan persoalan lingkungan dengan melakukan pemulihan serta konflik agraria di daerah perkebunan kelapa sawit perusahaan tersebut, tambah Andi. Jika negara terus berpihak pada kepentingan oligarki, maka tidak heran jika kasus kelangkaan minyak goreng akan terus berulang. Terlebih saat ini ada pintu pelarian pemasok CPO untuk kebutuhan biodiesel yang jelas-jelas lebih menguntungkan bagi korporasi.
Achmad Surambo dari Sawit Watch mengingatkan bahwa banyak hal kebijakan dan institusi telah dikeluarkan dan dicanangkan oleh Pemerintah, tetapi semuanya belum menyentuh akar-akar pokok masalah dalam tata kelola perkebunan sawit, dimana ketimpangan penguasaan akan terus berlanjut, dan ketidaktransparan juga akan terus berlanjut, bahkan partisipasi publik pun minim.
Pemerintah harus memulai untuk membalik semuanya lewat mengoreksi kebijakan pemupuk ketimpangan penguasaan, membuka data HGU untuk publik, mensharing hasil audit perkebunan sawit yang telah dilakukan, dan lain sebagainya.
Baca juga: Kejari Abdya sita 7.000 hektare tanah HGU PT Cemerlang Abadi
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023