Komisi antirasuah KPK menegaskan bahwa sikap masyarakat yang menerima serangan fajar atau politik uang adalah sikap koruptif. Hal itu berkaitan dengan pernyataan Prabowo Subianto yang menilai uang politik saat Pemilu adalah wajar untuk diterima masyarkat.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan hal tersebut menanggapi pernyataan bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto yang menyarankan masyarakat menerima uang yang dibagikan saat serangan fajar karena menurut Prabowo itu adalah uang rakyat.

"Kepada masyarakat, bahwa serangan fajar yang dimaksudkan, misalnya dengan bagi-bagi uang dan sebagainya dalam proses-proses yang sedang berjalan, itu tindakan koruptif," kata Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Baca juga: KPK akan buka semua amplop "serangan fajar" Bowo

Ali menambahkan bahwa dengan menerima uang serangan fajar adalah bibit dari tindak pidana korupsi. Menurut dia, pihak yang membagi-bagikan uang tersebut pasti akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya dengan cara korupsi.

"Pada ujungnya, pada gilirannya, dari hasil kajian dan beberapa perkara yang ditangani oleh KPK, itu motifnya sama, untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Saya kira tidak ingin terjadi kembali hal-hal seperti itu," jelasnya.

Sebelumnya, dalam acara Milad ke-11 Pondok Pesantren Ora Aji di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Jumat (8/9), Prabowo mengatakan bahwa masyarakat boleh saja menerima uang yang dibagikan menjelang pemungutan suara Pemilu 2024. Menurut Prabowo, uang yang dibagikan itu juga merupakan uang rakyat.

"Kita harus jaga kerukunan di antara kita. Kita harus jaga perdamaian dan tadi yang disampaikan Gus MIftah, kalau ada yang membagi-bagi uang, terima saja. Itu juga uang dari rakyat kok. Itu uangnya rakyat. Kalau dibagi, terima saja; tetapi ikuti hatimu, pilih yang kau yakin di hatimu akan berbuat terbaik untuk bangsa, rakyat, dan anak-anakmu," kata Prabowo.

Baca juga: KPK: jangan pilih caleg tawarkan amplop

Sementara itu, kajian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyebutkan bahwa praktik politik uang telah menjadi budaya dan mengonstruksi proses demokrasi.

Akibatnya, biaya politik jadi membengkak dan membentuk celah rawan bagi para calon peserta pemilu untuk bermain "kotor" dengan mencari sumber dana ilegal.

Kemudian, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait Pemilu 2019 mencatat bahwa 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen di antaranya menyebut bahwa politik uang adalah hal wajar.

Baca juga: Nusron Wahid bantah minta Bowo Sidik siapkan amplop "serangan fajar"

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023